Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Dari Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir

DARI “Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” di Bandung, 8 September 1974, Slamet Kirnanto menyatakan, “Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir Ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek!”. Kemudian selaku Jaksa Penuntut Umum, Kirnanto mengajukan empat tuntutan, yaitu: (1) Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya H.B. Jassin dan M.S. Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki; (2) Para editor majalah sastra, khususnya Horison (Sapardi Djoko Damono) dicutibesarkan; (3) Para penyair established (mapan): Subagio, Rendra, Goenawan dan sebangsanya (dan lain-lain) dilarang menulis puisi dan epigon-epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan. Dan bagi inkarnasinya dibuang ke pulau yang paling terpencil; dan (4) Horison dan Budaya Jaya harus dicabut “SIT”-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku. Dan dilarang dibaca oleh peminat sastra dan masyarakat umum sebab akan mengisruhkan perkembangan sastra puisi yang kita harapkan segar dan wajar.

Secara bijak, kritikus H.B. Jassin dalam tulisannya “Beberapa Catatan Bertalian dengan Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir” menjawab tuntutan (pertama) dari penuntut umum Slamet Kirnanto sebagai berikut.
“BICARA tentang diri pribadi, memang saya sebagai pegawai negeri sepatutnya sudah pensiun pada usia 55 tahun dua tahun yang lalu. Tapi karena saya dimasukkan dalam kategori dosen pengajar, maka saya baru akan pensiun pada usia 65 tahun nanti. Tapi tidak sedetik pun saya terpikir akan berhenti sebagai karyawan di lapangan kesusastraan, sekalipun nanti sudah berhenti sebagai pegawai. Sebab lapangan sastra adalah lapangan yang terlalu luas dan terlalu menarik untuk ditinggalkan dan di situ yang diperlukan bukan saja pengarang, penyair, dramawan, kritikus, eseis, tapi juga penerjemah, pengajar, penyusun antologi, penulis sejarah dan buku-buku pelajaran kesusastraan dan dokumentator, yang masing-masing dalam lapangannya sama pentingnya. Cukuplah luas bidang kesusastraan untuk bergerak, menurut kemampuan dan perhatian orang yang telah jatuh cinta kepada kesusastraan sejak di sekolah rendah.


Sebagai dokumentator, saya merasa tidak akan dapat berpisah dengan kesusastraan sampai akhir hayat. Saya merasa gembira menjadi saksi perkembangan kesusastraan Indonesia hampir setengah abad. Bahwa sekarang ini ada keramaian dan hiruk-pikuk antara penyair, bagi saya hanya suatu bukti yang menyenangkan bahwa Angkatan 66 tetap hidup dan waspada mempertanyakan diri. Penyair yang satu mencaci penyair yang lain dan kritikus yang satu menganggap kritikus yang lain tidak becus. Menurut hemat saya, siapa penyair nomor satu bukanlah ditentukan oleh pengakuan penyair bersangkutan sendiri dan bukan pula oleh kritikus, tapi oleh saringan waktu. Tentu saja penyair boleh berkata “akulah penyair nomor satu” dan tentu saja kritikus sastra bisa berkata “berdasarkan penyelidikan dan penilaian saya, si A-lah penyair nomor satu”. Penilaian mereka itu mungkin kemudian ternyata benar, tapi dalam kesubyektifannya mungkin juga tidak dibenarkan oleh waktu. Yang dapat dilakukan oleh masing-masing ialah tanpa pamrih berkarya menurut kemampuannya yang paling puncak dan menyerahkan hasilnya dan penilaian selanjutnya kepada masyarakat dan zaman.

Catatan hari ini, tanggal 21 September 1974, suatu pertanyaan untuk masa depan: Sepuluh tahun lagi, siapakah yang masih bersuara di antara orang yang berkaok-kaok sekarang ini dan apakah prestasi yang telah mereka berikan kepada kesusastraan Indonesia?” – Jakarta, 21 September 1974.
Sumber : Buku “Pengadilan Puisi”, (Pamusuk Eneste, PT. Gunung Agung, Jakarta : 1986 : vi + 74 halaman). – catatan : Dasril Ahmad -- ***

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar