Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Surau Gampo ; Cerpen Syarufuddin Arifin

Cerpen Syarifuddin Arifin

Surau tempat aku mengaji sejak kecil itu bernama  Surau Muhajirin. Jamaahnya kebanyakan dari para pendatang, yang membeli sebidang tanah lalu membangun rumah dan keluarga di sana. Aku masih ingat, ketika gotong royong membangun surau tersebut, ikut mengangkat batu yang ditumpuk cukup jauh dari lokasi pembangunan. Setiap malam, usai magrib kami belajar mengaji di sana. Tapi kini  orang mengenalnya sebagai Surau Gampo, surau yang dibangun kembali dari dana spekulasi bantuan untuk korban gempa.

Ya, hampir tiga tahun lalu, daerah kami diguncang gempa yang cukup kuat. Sejumlah perkantoran, hotel, sekolah, masjid dan gereja rubuh. Kami panik. Suara raungan sirene ambulan yang bolak-balik membawa jenazah membuat aku serasa berada dalam kancah peperangan. Tidak mungkin rasanya bertahan hidup di daerah rawan gempa ini. Makanya, sekitar dua bulan sejak gempa yang telah meluluhlantakkan segalanya itu, aku memutuskan untuk pergi merantau.

Sumbangan dari para korban gempa? Bukankah setiap warga yang rumahnya rubuh atau rusak dapat bantuan untuk kembali bisa membangun atau memperbaiki rumahnya sehingga layak huni. Bantuan itu jelas tidak cukup, meski jumlahnya mencapai belasan juta rupiah. Bagaimana mungkin mereka bisa menyisihkan separuhnya untuk menyelesaikan pembangunan kembali surau tersebut?

“Ya, bahkan ada yang hanya menerima sepuluh persen saja dari jumlah bantuan gempa yang seharusnya ia terima,”  kata Abi, guru mengajiku dulu.

Sejak beberapa di antara warga menyerahkan copy kartu penduduknya pada Harun, Abi seperti disisihkan. Menurutnya, ia tidak mau mengaku sebagai korban gempa yang rumahnya rubuh dan tercatat sebagai salah seorang warga yang patut mendapat bantuan dana tunai. Harun mengatakan kalau Abi telah menghianati kesepakatan bersama, yakni berusaha menggaet dana bantuan gempa sebanyak mungkin demi untuk menyelesaikan surau yang terbengkalai.

“Bukan pembangunan suraunya, tapi cara mereka mengumpulkan dana yang saya tak setuju,” kata Abi. Masih menurut Abi, Surau Muhajirin sama sekali tidak rusak akibat gempa, makanya surau itu tidak mendapat bantuan. Rumah-rumah warga di sekitar surau itu pun, tak banyak yang rubuh atau rusak berat. Tapi Harun, salah seorang warga yang juga anggota legislatif itu, membuat laporan kalau korban gempa di daerahnya cukup banyak. Kapan lagi kita bisa membantu tetangga yang hidupnya susah? Buat saja laporannya, nanti biar saya yang akan mengurus, kata Harun ketika itu.

Dan benar saja, entah bagaimana caranya, Harun memang berhasil. Tercatat lebih dua ratus rumah penduduk yang tidak layak bantuan,  ia sulap sebagai rusak akibat gempa. Tidak hanya rumah warga di sekitar surau, tapi sampai ke kampung-kampung tetangga. Termasuk pondok tak berpenghuni dan kandang sapi. Semua calon penerima bantuan tersebut, oleh Harun diwajibkan menyumbang empat puluh sampai enam puluh persen untuk kelanjutan pembangunan surau yang terbengkalai.

“Dana bantuan ini harus kita tarik sebanyak mungkin, siapa tahu nanti surau kita juga bisa punya mobil  jenazah, ambulan,” kata Harun meyakinkan.

***
Cengka salah seorang ketua kelompok korban gempa fiktif yang dibentuk Harun, mengatakan pada Abi atas kekecewaannya. Setelah dana bantuan cair, dia hanya diberi uang lelah saja. Pada hal dari delapan kelompok fiktif, yang masing-masingnya beranggota dua puluh sampai tiga puluh orang korban, bantuan yang diterima Harun  hampir dua milyar rupiah. Masing-masing korban gempa diberi bantuan dalam tiga kategori; rusak berat atau rubuh, rusak sedang dan rusak ringan dengan nominal lima belas, sepuluh dan lima juta.

“Bayangkan, saya hanya diberi dua juta saja. Hanya dua puluh persen dari kategori rusak ringan,” kata Cengka pada Abi.

“Bagaimana dengan saudara kita yang hidupnya susah?”

“ Tukang ojek itu diberi sejuta, lalu pemulung di ujung gang mendapat lima ratus. Janda beranak tiga yang mencuci pakaian itu juga,” kata Cengka menjelaskan.

Abi hanya tersenyum. Empu jari kirinya terus menggeser-geser tasbih di genggamannya. Detak jantung Abi selalu menyebut  asma Allah dalam zikir yang tak kunjung padam.

“Surau itu, dulu kita bangun dengan gotong royong, dengan keikhlasan dari berbagai sumber yang halal. Tidak dengan paksaan, keharusan menyumbang bila ada rejeki. Tidak! Kita membangun rumah Allah Swt. Di surau itulah kita bisa mendamaikan hati dan perasaan yang resah. Di surau itulah kita mendidik dan membina anak-anak agar karakternya terbentuk sebagai umat Islam yang berhati nurani. Jangan jadikan surau sebagai tempat memanipulasi keadaan. Gempa yang lebih dahsyat dalam bentuk lain akan datang menyerbu. Parcayalah,” kata Abi. Tasbih itu terus ia geser-geserkan di antara empu dan telunjuknya. Ia terus berzikir dan berzikir.

Abi menghela nafas, memperbaiki duduknya. “Allah memberi sebagian kamu keutamaan di atas yang lain dalam hal rejeki. Tak ada yang dikecualikan. Karena rejeki itu akan mengalir terus kepada hamba-hamba yang dimilikinya, agar mereka sama-sama menikmati. Apakah mereka telah mengingkari nikmat Allah?” Lanjut Abi, mengutip  salah satu ayat Al Qur’an nul Karim, dalam surat An Nahl. Sinar mata Abi yang teduh itu, seperti menikam jantung Cengka. Apakah kau telah memberikan rejekimu itu kepada orang lain yang membutuhkannya? Cengka membatin.

Cengka merasa terpojok. Pada bagian lain, dari ratusan penerima bantuan, diketahui terjadi berbagai pertanyaan yang tak satu pun bisa menjawabnya. Kecuali Harun. Ia menyadari betapa kukuhnya pendirian Abi, dan sama sekali tidak merasa kecewa, ketika ia disisihkan di surau, sebagai salah seorang guru tuo,  guru pertama yang sudah mengabdi sejak surau itu baru dalam bentuk pondasi saja. Ketika Harun berhasil membujuk semua jamaah, bahkan sampai ke kampung-kampung tetangga, yang akan memberi bantuan uang tunai jutaan rupiah, Abi tetap bertahan. Bagi Abi, surau itu punnya rejeki sendiri, yang didatangkan Allah secara halal. Abi menolak, tapi semua jamaah dan warga lain menerima. Maka terpentallah Abi dari surau tersebut.

Cengka tak berhenti sampai di situ. Sebagai salah seorang ketua Pokmasy, kelompok masyarakat korban gempa, ia terus menjelaskan kepada beberapa anggotanya bahwa mereka telah ditipu. Tidak mungkin, sebagai tercatat korban gempa yang rumahnya rubuh hanya menerima sekitar 20 persen saja dari jumlah bantuan yang diketahui. Maka terjadilah pro dan kontra. Beberapa di antara yang kecewa karena mendapat jatah tak sewajarnya, mulai bernyanyi.

“Tapi kamu sudah tahu sejak awal, kalau ini penipuan. Sekarang, setelah tahu kalau kamu hanya diperalat, malah menghasut yang lain,” jawabku ketika ditelepon Cengka.

“Tidak segampang itu kau menuduhku. Pulanglah, jangan hanya melihat dari jauh,” kata Cengka membujuk agar aku pulang.

Aku kenal siapa Harun. Dia salah seorang pendiri surau Muhajirin yang ikut juga bergotongroyong membangun surau tersebut, selain pintar mengaji suaranya pun cukup bagus. Harun dipercaya mendampingi Abi sebagai guru mengaji. Meski pun, sebagian dari kami – para murid – tidak menyukainya, terutama cara  ia mengajar.

Selain itu, Harun juga pemain randai, kesenian tradisi yang aku minati. Kami sering latihan di belakang surau, usai mengaji dan salat Isa, sampai larut malam. Suaranya yang merdu dan punya kekuatan magis bila mendendangkan gurindam sebagai bagian pergantian adegan dalam cerita randai yang kami mainkan, seakan membelah malam yang dingin. Di kejauhan terdengar sayup-sayup irama-irama tradisi yang penuh dengan pesan-pesan filosofis, lalu dendang simarantang tenggi  yang dipakai sebagai penutup, cukup mampu bertahan dalam ingatanku. Grup randai kami cukup terkenal, makanya  sering diundang ke daerah lain, bahkan dibina oleh salah satu partai. Kemudian, melalui partai itulah Harun bertarung, ikut sebagai salah seorang calon anggota legislatif.

Gempa yang cukup mengejutkan, tiba-tiba mengguncang daerah kami. Ratusan, bahkan ribuan jiwa manusia melayang karena tertimbun, dihimpit reruntuhan gedung,  terkurung berhari-hari dalam mall atau karena jantungan. Masih jelas dalam ingatanku, sesaat setelah gempa hujan lebat pun turun membasuh segalanya, tak berhenti sampai menjelang subuh. Tak ada penerangan, semua lampu mati, karena beberapa gardu listrik rusak berat. Keesokannya, matahari memancarkan kekecewaan. Semua orang dengan tiba-tiba jadi penganggur. Seminggu, bahkan sebulan kemudian, aku masih saja melihat airmata mengucur dari rasa sedih yang mendalam.  Itulah sebabnya, aku memutuskan untuk pergi merantau, meninggalkan kedua orangtua dan saudara-saudaraku.

“Beberapa hari lalu, Harun memotret surau kita itu,” lanjut Cengka masih melalui telepon. Menurutnya, Harun sengaja melakukan pemotretan sebagai laporannya, bahkan masih sempat membujuk jamaah dan warga sekitar, kalau dia sedang memperjuangkan status surau agar segera menjadi masjid.

“Pada hal, kau kan tahu, pondasi dan tiang-tiang coran, hasil sumbangan dan gotong royong kita bersama, jauh sebelum gempa. Paling ya, Harun hanya mengganti atap dan membuat gobah baru,” kata Cengka menghasut, dan melanjutkan cilotehnya; “Sekarang istrinya membuka butik baru di Mall. Itu kan salah satu cara untuk menyembunyikan kekayaannya, agar tak tercium pihak kejaksaan,” tambahnya..

Tak ada yang bisa menyimpan bau busuk. Bagaimana pun, yang namanya bau busuk tetap akan tercium. Maka menyeruaklah bau itu ke mana-mana. Orang-orang yang kebetulan lewat di samping surau, akan menutup hidungnya, karena tak sudi menghirup udara di sekitar surau itu. Termasuk jamaah dan warga yang mengaku korban gempa dan telah menyumbang untuk pembangunan surau tersebut, bahkan, entah siapa yang memulainya, nama surau pun berubah menjadi Surau Gampo.

Surau Gampo? Sejak kapan nama surau itu berubah?

***

Itulah sebabnya, aku sengaja datang ke rumah Abi, guru mengajiku di masa kecil dulu. Abi masih merindukan untuk bisa kembali ke surau seperti dulu. Salat berjamaah, lalu mengajar anak-anak mengaji, berkisah tentang mukjizat para nabi. Bagaimana pun busuknya surau ini, saya tidak akan pernah menutup hidung. Karena ini rumah Allah, rumah yang selalu dilimpahi berkah. Terkutuklah orang-orang yang telah menghinakannya, kata Abi.

Sejak Harun berstatus tersangka dan ditahan kejaksaan, butik istrinya di Mall itu pun mulai meredup dari cahaya yang cukup glamour. Bahkan status keanggotaannya di legislatif pun dicabut.

Padang, 2014
Syarifuddin Arifin; Lahir di Jakarta. Berpendidikan: STKIP, Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia. Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran)  Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.

Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, Maling Kondang (2012) diterbitkan Teras Budaya, Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh  Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala. Dan Sauk Seloka (2012) terbitan Dewan Kesenian Jambi. Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu, (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar. Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang. Menguak Atmosfir (2004) dimuat Majalah Wanita Kartini. Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984.  Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004. Beberapakali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002). Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar