BERTUMPAK-tumpak sawah di negari itu bernama Sawah Subarang. Subarang berarti seberang. Sawah-sawah itu berada di seberang. Pembatas adalah jurang yang tidak dalam. Di dasar jurang itu ada sungai kecil. Di hulu sungai, di ketinggian, kaki gunung, ada mata air yang tidak pernah berhenti membersitkan air. Air itu mengairi sawah-sawah yang terhampar. Timbal-balik tebing jurang rimbun oleh pepohonan. Sana-sini ada jalan setapak, termasuk jalan ke sawah. Dan sesungguhnya terdapat banyak kelompok pesawahan lain. Masing-masing punya nama. Ada Sawah Lakuak, Sawah Burai, Sawah Baliak, Sawah Sikaladi. Ada pula Sawah Simanganak, Sawah Pamantangan, Sawah Banda Baru, Sawah Banda Tunggang. Masing-masing punya makna tersendiri. Tumpak-tumpak sawah itu berdendang banyak dan panjang, melagukan kehidupan beberapa ratus anak manusia. Dendang itu kadang-kadang terbantun dalam bentuk gumam, siul, bisik, atau tarikan nafas yang panjang dan dalam.
“Ini peninggalan nenek kita,” ujar Banun.
“Ya,” jawab Marajo, adik Banun, datar.
Banun tahu, dengan hampir seratus ketiding panen padi setiap musim, kehidupan dia dan tiga orang anaknya menjadi terbantu, terhidupi. Ketiga anak Banun lelaki, sudah beristri semua, bahkan sudah mendatangkan enam orang cucu.
Banun tahu persis, tanpa penghasilan dari Sawah Subarang, tidak mungkin dia memberi makan anak-anaknya.
Kini, Marajo tidak tega lagi membiarkan kakaknya, sepuluh tahun lebih tua, masih ke sawah. Marajo sering mendampingi, biarpun dia bukan tidak punya pekerjaan rutin. Pekerjaan Marajo adalah juga bertani, ke sawah dan ke ladang. Pori-pori yang membersitkan peluh di sekujur tubuh Marajo beraroma tanah dan jerami.
Itu pula yang dilakukan mendiang suami Banun, bergelar Malin Putiah.
Persis sebagaimana rata-rata lelaki di negari itu, Malin Putiah adalah seorang petani. Seorang petani sejati, bila boleh dirumuskan. Saat masih lajang, Malin Putiah sudah menggarap pertanian, sawah dan ladang. Dan semangat Malin Putiah untuk bertani kian menggebu setelah menyunting Banun, seorang gadis jombang. Betapa lagi setelah mereka mendapatkan tiga orang putra. Malin Putiah dan Banun memang mengisi hari-hari mereka, bersama terik mentari khatulistiwa, dengan cangkul, sabit, luluk, pematang, miang, tanaman padi, kacang tanah, ulat dan puspa ragam sayur. Berselang-seling, padi dan kacang tanah panen dua kali setahun. Malin Putiah pun mengerti cara mengenyahkan pianggang dan hama tanaman. Pernah punggung kaki kanan Malin Putiah terluka sebagai akibat mata cangkul. Juga pernah jari telunjuk tangan kiri terluka sabit tajam. Tidak terhitung kali Malian Putiah, di musim kemarau, harus mengurus air pada malam hari, berebut air dengan petani-petani lain yang juga memerlukan.
Bertani, bagi Malin Putiah, selalu menjanjikan dan memberikan kehidupan yang layak.
Malin Putiah memutus kaji, berkalkulasi, dalam sekali musim panen yang akumulatif menghabiskan waktu selama enam bulan, dia berharap mendapat hasil yang mampu menghidupi rumah-tangganya, untuk makan-minum, selama setahun. Hasil panen pada musim berikut dapat dia gunakan untuk menyekolahkan anak. Bukan tidak pernah pada masa musim kemarau, sebagai contoh, hasil panen tidak memadai. Pada musim kemarau hama wereng bahkan juga tikus memangsa tanaman. Pada kondisi seperti itu dia menggunakan hasil panen yang sengaja dia simpan setelah sebagian digunakan untuk biaya sekolah anak-anak. Berselang-seling, Malin Putiah bertanam padi dan kacang tanah.
Namun, celaka, tanpa diduga, kecelakaan fatal terjadi ketika selepas zuhur pada satu hari Malin Putiah kembali mencangkul tanah berair di Sawah Subarang. Gerimis, memang, tetapi biar hujan pun bahkan bukan merupakan penghalang Malin Putiah dan Banun untuk berhenti bekerja. Mendung memberat, dan mendadak petir menggelar! Suasana seperti itu bukan tidak sering terjadi. Namun kilat yang mengantarkan arus listrik melintas di permukaan sawah dan mengenai tubuh Malin Putiah. Tubuh Malin Putiah terlempar beberapa meter, dan terjilapak di permukaan sawah yang digenangi air berwarna cokelat kehitaman. Tubuh petani itu kaku, sebagian hangus. Dalam hitungan tidak sampai lima menit kemudian Malin Putiah tewas. Banun selamat tetapi menjadi sangat terpukul. Sahabat Malin Putiah sesama petani yang menyaksikan segera memberi tahu beberapa orang di negari untuk menggotong jasad ke rumah, dan menguburkan mayat itu sebelum malam.
Itulah awal kehidupan Banun menjadi janda. Pelan-pelan berbulan-bulan dan setahun-dua-tahun kemudian Banun menerima kenyataan itu sebagai takdir. Nasib bisa diubah tetapi takdir harus diterima. Sawah Subarang menjadi saksi abadi bagaimana Banun melanjutkan kehidupan dengan tetap bertani. Anak-anaknya yang relatif berpendidikan lumayan bagus membantu sang ibu tetapi ketika mereka juga sudah beristri dan bekerja – tidak pula di negari negari mereka, tidak menjadi petani, Banun bekerja seorang diri. Pagi, siang, dan petang, Banun ke sawah. Banun benar-benar menyesap keringat sendiri. Banun tidak ingin menyusahkan orang lain. Namun Marajo juga tidak rela membiarkan kakaknya berkuras-bertungkus-lumus seorang diri. Pula, Malin Putiah tidak meninggalkan warisan, kecuali semangat untuk hidup mulia dan bermartabat, bekerja keras, pantang menyerah, dan ikhlas memberi.
***
ARAH barat, pesawahan itu berjenjang, bermenginduk, berpematang, di kaki bukit, dan subur. Gunung Merapi yang menjulang selepas bukit itu berkepundan, setiap hari mengeluarkan abu dan debu yang kemudian, sesampai di permukaan tanah, lamat-lamat, dari satu ke lain musim, menjadi pupuk. Pupuk alam itu andal. Tidak pernah petani Sawah Subarang dan sawah-sawah lain menggunakan pupuk pabrik yang merusak humus dan kesuburan tanah. Pemandangan sekitar alangkah indah. Ada larik-larik puisi yang belum sempat dituliskan penyair. Ada bidang-bidang alam memukau yang belum sempat dikanvaskan pelukis. Ada musik-musik alam yang belum dinotasikan. Udara pun segar, sangat segar, cenderung dingin, terutama pada malam hari.
Dan peninggalan nenek kita seperti diujarkan Banun mengandung cerita panjang tentang sebuah sistem kekerabatan dan kemasyarakatan yang sering dirawikan tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Nenek dan ibu Banun menerima warisan itu dari ibu dan ibunya lagi dalam garis keturunan perempuan. Dan harta warisan, sawah-sawah itu, tidak pernah jatuh ke tangan saudara dan anak lelaki. Marajo, saudara laki-laki seayah-seibu dengan Banun, sama sekali tidak berhak terhadap harta pusaka tinggi. Dan harta pusaka tinggi dengan demikian diwarisi dan diserah-terimakan secara turun-temurun, hanya oleh anak perempuan yang satu ke anak perempuan berikut. Misalkan ada tiga anak perempuan, maka ketiga anak itu berhak sama. Beda dengan pusaka rendah berupa penghasilan dan atau pembelian sepasang suami-istri selama berumah-tangga, pusaka tinggi tidak pernah dan memang tidak boleh diserah-terimakan kepada anak lelaki. Pusaka tinggi berupa tanah ulayat tidak mungkin diperuntukkan kepada siapa pun kecuali anak perempuan.
Pembelian dan penghasilan suami-istri, sebuah keluarga, tidak pernah dan memang tidak mungkin dijadikan dan dianggap harta pusaka tinggi. Itu pusaka rendah, pencarian dan penghasilan bersama sepasang suami-istri. Dan Banun tidak memiliki pusaka rendah. Rumah kecil, bukan rumah adat tradisional bergonjong, yang dia tempati selama ini, juga merupakan pemberian dari almarhumah ibunya. Mungkin bukan pemberian, tetapi sepeninggal ibunya, Banun dan suami dan anak-anaknya tetap tinggal di sana. Ya, ke mana lagi harus bertempat-tinggal. Suami-istri Malin Putiah-Banun tidak mampu membangun rumah.
***
BERSAMA Marajo pada pagi itu Banun menambak sawah yang baru saja selesai dibajak sehari sebelumnya. Pembajakan, dengan jalan mengupah seorang pembajak mahir dan berpengalaman dan punya jawi besar, kuat dan bertenaga, makan waktu tiga hari. Sawah dibajak secara tradisional dengan menggunakan tenaga jawi untuk menarik sepasang bilah bambu dan mata pisau pembajak di bagian pangkal bawah yang oleh petani setempat disebut tali bajak. Dan setelah dibajak secara merata, pematang sawah ditambak, ditutupi dengan tanah lembek agar tidak terjadi ketirisan. Penambakan dilakukan dengan tangan kosong. Seonggok demi seonggok tanah basah diambil dengan kedua telapak tangan dan ditempel dan diratakan di pematang dalam posisi miring, landai. Banun, Marajo dan para petani di kampung kami amat terampil menambak. Petani-petani itu bagaikan pematung yang cekat dan kreatif membentuk, menata dan mengolah tanah liat sehingga berubah menjadi sebentuk karya astistik yang tidak tepermanai.
“Persis di sini Malin ditembak petus, ” ujar Banun datar ketika mereka istirahat di munggu utara, di batas terakhir pematang Sawah Subarang. Sedatar apa pun pengucapan Banun tetapi setetes-dua-tetes air mata bening meleleh juga di pipinya. Banun tersedu. Memang, Banun tidak mungkin melupakan peristiwa bagaimana petus menyambar, melemparkan dan menghanguskan tubuh Malin Putih ke permukaan sawah. Seolah masih terngiang di telinga Banun ledakan petir yang amat keras, dahsyat.
“Ya, Banun,” balas Marajo. “Takdir.”
“Takdir,” ulang Banun pelan.
“Tetapi sawah ini?” tanya Marajo.
“Bagaimana?”
“Kamu sudah tua, Kak Banun,” ujar Marajo.
Marajo mengungkap, bahwa kakaknya itu tidak punya anak perempuan. Dengan demikian tidak ada lagi pelanjut penerima warisan. Saudara lelaki pun tidak berhak menerima warisan berupa tanah ulayat. Marajo tahu diri, dia sama sekali tidak berhak menerima warisan pusaka tinggi itu.
“Bagaimana kalau dijual?” usul Marajo.
“Dijual?” tanya Banun mendekat, melangkah dalam luluk, memandang Marajo heran.
Marajo bukan tidak mengerti keheranan kakaknya. Marajo tahu persis, di negari mereka harta pusaka tinggi tidak boleh dijual dengan alasan apa pun, kecuali untuk tiga hal. Pertama, mayat terbujur tidak terkafani. Untuk pembeli kain kafan, penjualan boleh dilakukan. Kedua, rumah adat ketirisan. Ini bermakna, bila atap rumah gadang bergonjong itu tiris, lalu tidak ada uang pembeli ijuk penyisip ketirisan, maka penjualan boleh dilakukan. Ketiga, dalam keluarga tersua gadis gadang yang belum bersuami. Tidak dirawikan batas usia kegadangan gadis itu: tiga puluh, empat puluh tahun? Bagaimana bila ada perempuan yang memilih untuk hidup tidak pernah bersuami? Dan, memang, ajaran ini menyiratkan, bahwa lelaki dibeli. Sekarang, apalagi pada masa dulu, transaksi itu memang terjadi di negari beradat itu.
Di negari mereka, fenomena perempuan yang belum bersuami di usia lanjut masih jadi soal pelik dan getir .
“Tidak mungkin dijual, Marajo. Untuk apa?” tanya Banun pasti.
Banun memang perempuan yang tidak mau menggadaikan, apalagi menjual pusaka tinggi dan harga diri. Orang-tua Banun pernah berujar, pada harta itu sesungguhnya juga tersimpan harga diri dan kehormatan.
‘Harga dan kehormatan diri sama sekali tidak boleh dijual,’ sebut ibu Banun.
Pada waktu itu Banun masih remaja. Banun tidak pernah melupakan. Banun memang pernah diingatkan oleh ibunya untuk taat kepada aturan.
Dalam perjalanan waktu, Banun masih mengolah Sawah Subarang. Usia yang kian senja tidak memungkinkan Banun berbuat banyak tetapi semangat hidupnya tidak berkurang. Setiap pagi Banun meninggalkan rumah yang tidak terlalu jauh dari sawah. Subuh, Banun menyiapkan bekal makanan dan minuman untuk dibawa ke sawah dan dimakan pada siang hari. Banun tidak menyandang cangkul. Benda-benda alat pertanian itu dia tinggalkan di dangau kecil di pematang sawah. Dan, dia dibantu oleh Marajo.
Sampai Banun meninggal dunia, Sawah Subarang masih digarap oleh Marajo.
Padang, 24 Maret 2016
negari = desa. Negari, bukan negeri, bukan negara, dalam bahasa Minangkabau nagari.
jombang = cantik
terjilapak = terkapar
petus = petir
gadang = tua, besar
Darman Moenir (64 tahun), sastrawan, tinggal di Padang, menulis novel Bako (meraih Hadiah Utama Sayembara Roman DKJ 1980), tujuh kali cetak ulang oleh Balai Pustaka. BP juga menerbitkan novel DM Dendang, Aku Keluargaku Tetanggaku. DM pernah mengikuti International Writing Program di Iowa City, AS, 1988.