Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Lebaran

Cerpen Dasril Ahmad

LELAKI tua itu menghabiskan sore di pinggir kali berair keruh di belakang gubuknya. Sinar mentari yang mengintip lewat celah-celah pohon bambu di pinggir kali itu, baginya tak lagi terasa lembut. Jangat tua dan keriputan miliknya kini tak tahan lagi dengan sinar mentari, meskipun di sore hari. Lembutnya sinar mentari sore itu dirasakannya cukup tajam menusuk dan membakar jangatnya. Untuk sekejap dirasakannya juga sinar mentari itu bagai anak nakal yang tiba-tiba berlompatan kian- ke mari seolah akan menikam dan menerjang kuat jantung dan hatinya.Dalam keadaan demikian, ia selalu merindukan agar senja lekas datang. Tetapi tiba-tiba kesadaran lain pun muncul di hatinya, bahwa sebenarnya ia telah lama membenci senja, yang belum juga kunjung memberikan ketenangan hidup baginya.
lebaran sendiri

Di ujung sore, di bibir senja hidupnya itulah,ia selalu berkelahi dengan pikiran-pikirannya sendiri, yang terasa sulit diselesaikan untuk sekadar mencari kedamaian. Kekacauan pikirannya itu pula yang selalu menyeretnya untuk bertempur dengan waktu. Lebaran tahun lalu ia mengaku kalah, dan berharap semoga lebaran di tahun-tahun mendatang kemenangan akan diraihnya. Tetapi harapannya selalu tak mengena. Kekalahan demi kekalahan yang menimpanya membuat ia kehilangan kepercayaan diri, sehingga kemenangan baginya tak lebih sekadar utopis saja. Ternyata, ia tak kuasa membenahi nasib sendiri, apalagi untuk membenahi nasib orang lain ke arah yang lebih baik.

Meski ia telah berusaha sejak usia muda mengisi hidupnya secara bermakna, baik untuk kepentingan dunia maupun akhirat, namun kebahagiaan hidup yang ditafsirkannya sebagai kemenangan itu, belum juga mampu diraihnya hingga kini. Ia tidak mau menyalahkan siapa-siapa. Ia takut berdosa jika menyalahkan seseorang atau beberapa orang di luar dirinya, tetapi ia juga tak berani mengakui dirinya bersalah. Ia cuma menyadari bahwa dalam rentangan hidupnya, ia telah banyak berbuat untuk kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat kelak.

Di dunia ia hidup sebagaimana layaknya hidup dan kehidupan manusia normal lainnya. Ia punya istri, malah jumlahnya lebih dari satu, dan punya sejumlah anak yang beberapa di antaranya dinilainya telah menjadi ‘orang hebat’ dan hidup terpandang di rantau orang. Sementara itu, untuk kehidupan akhirat ia merasa telah banyak juga berbuat. Sejak usia muda, Ia rajin ke masjid, shalat, puasa, berzakat, mengaji dan lain-lain bentuk ibadah. Ia rajin menolong orang dalam kesulitan, meskipun dirinya sendiri pantas pula mendapat pertolongan, tak dihiraukannya. Malah beberapa tahun sebelum ia mampu membangun sebuah gubuk di pinggir kali berair keruh itu, ia malah menginap di masjid. Saat itu ia bertugas sebagai garin, mengumandangkan adzan, melantunkan iqamad dan tak jarang langsung menjadi imam dalam shalat berjamaah dengan bekal kemampuan hafal beberapa ayat pendek yang dibacanya pelan-pelan agar tidak salah melafaskannya. Dengan kegiatan-kegiatannya yang berhikmah itu, ia menganggap dirinya sudah pantas memetik kebahagiaan di hari tua hidupnya kini. Tetapi entah kenapa, baginya, kebahagiaan itu serasa masih jauh panggang dari api.

Hantaman kuat pikiran-pikiran masa silamnya membuat kakinya berat untuk bangkit dari duduk di pinggir kali berair keruh itu, tatkala diyakininya sebentar lagi suara beduk berbuka puasa terakhir ramadhan tahun ini akan berkumandang dari masjid kecil di mana ia dulu pernah lama menjadi garin di situ. Dengan gigih ia berusaha bangkit dan kakinya kemudian tertatih-tatih melangkah menaiki tangga gubuknya. Senja yang ditakutinya mempergegas langkahnya untuk menyurukkan diri di dalam gubuk. Tetapi belum sampai langkahnya mencapai bilik kecil di gubuk itu, tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah-langkah orang mendekati gubuknya, yang diikuti ucapan Assalamualaikum dari luar gubuknya. Ia berdiri dengan perasaan masygul dan pikiran tak menentu. Hatinya kecut! Dalam keadaan seperti itu, sesungguhnya ia tak ingin diganggu, tak ingin ada orang datang mengusiknya. Tapi, tiba-tiba hatinya riang, ketika di otaknya terlintas, jangan-jangan yang datang adalah anak-anaknya yang sudah beberapa kali lebaran tak pernah lagi menjenguknya. Lelaki tua itu kini amat merindukan anak-anaknya pulang untuk berkumpul bersamanya menyambut hari kemenangan ini. 

“Waalaikumsalam. Siapa itu?” sahutnya dari dalam gubuk ketika mendengar pintu gubuknya tak henti diketuk. Ia masih tetap tegak mematung dengan perasaan masygul.
“Kami, Pak!”
“Siapa dan ada keperluan apa di senja ini?”
“Bukalah pintu, Pak. Kami datang membawa pesan dan bingkisan baik untuk bapak.”

Lelaki tua itu terdiam sejenak. Pikirannya bekerja keras menafsirkan makna perkataan tamu yang belum diketahuinya itu. Seketika ia ingat Farid, anak sulungnya yang kini telah jadi sarjana dan hidup terpandang di rantau orang. Suara tadi begitu asing di telinga tuanya. Mungkinkah itu suara Farid kini? Faridkah yang datang membawa pesan dan bingkisan baik untukku? Ia membatin! Dengan perasaan lega lelaki tua itu bergegas menuju pintu. Hatinya girang karena dihantui oleh bayangan kedatangan Farid, anak kesayangannya. Ia sangat rindu kepada Farid, dan kerinduannya ini pulalah menurutnya dapat dijadikan obat untuk meraih kemenangan di hari lebaran dalam hidup senjanya kini.

“Masuklah Farid, anakku! Kenapa sangat lama kau meninggalkanku yang telah tua ini hidup seorang diri di sini?” suara lelaki tua itu lirih meluncur tanpa sadar dari bibirnya. Wajahnya tiba-tiba sumringah sambil tangannya bergegas bergerak menjamah daun pintu untuk membukanya. Meski telah dipaksa sekuat tenaga, namun pintu itu belum juga terbuka. Lelaki tua itu akhirnya sadar, bahwa pintu depan gubuknya rusak, tak bisa dibuka. Selama ini untuk ke luar masuk gubuk, ia selalu lewat pintu belakang. Oleh karena itu, ia bergegas ke belakang, mengambil linggis untuk mengungkit agar pintu yang madar itu dapat lekas terbuka. Segera pula lelaki tua itu bekerja membuka paksa daun pintu depan gubuknya itu dengan bantuan linggis. Ia amat cekatan bekerja melinggis pintu gubuk itu agar bisa segera dibuka. Ia sudah semakin tak sabar untuk bertemu dengan Farid. Ia ingin segera memeluk Farid dan melepaskan rindunya sehabis-habisnya kepada anaknya itu. Ia tak peduli terhadap suara derak-derik pilu dari daun pintu tua itu, sebelum akhirnya daun pintu itu terbuka lebar menyambut senja.

Angin senja menampar wajah lelaki tua itu. Matanya berusaha mengenali sosok tamu yang berdiri di depannya. Mereka adalah dua orang lelaki muda. Seorang mengenakan baju koko putih, berkain sarung kotak-kotak dan berkopiah hitam lurik-lurik, di tangannya tergenggam sesuatu. Dan seorang lagi berkemeja batik lengan pendek sambil memegang buku kecil di tangan kanannya. Setelah mata lelaki tua itu mampu mengenali sosok tamunya, hatinya kembali merasa kecut. Jiwanya merintih kecewa, karena yang datang ternyata bukanlah Farid, anak yang sangat disayanginya dari perkawinannya dengan Nina, isteri pertamanya.

“Kalian siapa?” tanyanya masih dengan nada kecewa.
“Kami utusan dari masjid kita,Pak.”
“Utusan dari masjid?” tanyanya heran seraya menatap tajam. “Lalu, apa maksud kedatangan kalian kali ini? Apakah mau minta zakat fitrah dariku atau mau menyuruhku lagi memungut zakat ke rumah-rumah seperti tahun-tahun lalu?”
“Tidak, Pak. Berbahagia dan bersyukurlah kita , pak, karena esok kita mau berlebaran. Kita akan menyambut hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Kami diutus pengurus masjid untuk mengantarkan pembagian bingkisan lebaran ini untuk bapak, karena bapak sangat layak menerimanya.
“Apakah kalian kira aku ini fakir-miskin atau pengemis?” timpal lelaki tua itu tiba-tiba dengan suara meninggi.
“Sama-sekali tidak, Pak. Tetapi …”
“Tidak, aku tak mau menerima bingkisan lebaran yang kalian antarkan ini. Ini sama saja dengan penghinaan terhadap diri dan penghidupanku,” bantahnya sambil berkacak-pinggang. Kedua lelaki amil-zakat itu terkesima, sambil terdiam mereka beradu pandang seraya menyimpan keheranan di hati masing-masing.
“Kalau begitu pendirian bapak, baiklah! Kami juga sekadar mengantarkan,” jawab lelaki amil -zakat yang pakai kain sarung kotak-kotak gemetaran.
“Ya, bawalah kembali bingkisan ini. Katakan pada pengurus masjid yang dermawan itu, bahwa aku tak berhak menerima zakat, bingkisan lebaran atau apapun namanya di saat menjelang lebaran ini. Aku tak ingin diperlakukan begini. Aku, kendati telah tua, tetapi masih kuat dan masih menyimpan butir-butir kebanggaan dalam hidup ini. Aku tak layak dipandang sebagai fakir-miskin, karena aku bukanlah orang miskin. Aku termasuk seorang bapak yang berbahagia, karena beberapa anakku yang telah bertitel sarjana kini hidup terpandang dan kaya-raya di rantau orang. Kalian harus tahu itu..!” ujarnya arogan dengan suara gemetar. Kedua lelaki amil-zakat itu mengangguk dan segera meninggalkan lelaki tua itu. Mereka kembali ke masjid menanti masuknya saat-saat berbuka di hari terakhir puasa Ramadhan itu. 

DI SEPANJANG malam lebaran semua orang di kampung itu bersuka-ria. Suara takbir dan tahmid memuji kebesaran Allah, tak henti-hentinya berkumandang gemuruh di segala penjuru kampung. Semua orang muslim yang beriman telah berhasil melaksanakan puasa sebulan penuh, berperang melawan hawa-nafsu, dan kini mereka siap merayakan hari kemenangan; hari IdulFitri. Tetapi tidak demikian perasaan yang bergejolak di hati lelaki tua itu. Bibirnya yang sewaktu menjadi garin dahulu tak putus-putusnya mengumandangkan takbir dan tahmid dari masjid, kini menjadi kelu! Bukan hanya itu, hatinya pun masih tetap merintih kalah. Ia masih belum merasa menang, selagi tak kuasa mengendalikan pikiran-pikiran masa silamnya yang membuatnya selalu bertempur hebat dengan waktu.

Ketika fajar Idul Fitri muncul, lelaki tua itu masih sadar bahwa ia belum juga sempat mengucapkan kalimat takbir dan tahmid barang sepotong pun. Jangankah hendak melafaskan kalimat suci dan mulia pertanda kemenangan itu, terniat pun belum di hatinya. Di bibir fajar kemenangan itu, ternyata ia masih bergelut dengan pikiran, jiwa dan waktu yang tetap dipandangnya sebagai sumber dari kekalahan hidupnya sendiri. Ia tiba-tiba menemukan dirinya menjadi makhluk aneh, tidak sebagaimana yang ia temukan dan rasakan selama ini. Ia bahkan kemudian menemukan dirinya hidup tidak lagi mempunyai daging, darah, jantung dan hasrat yang akan membawanya ke jenjang kemenangan. Ia senantiasa kalah..! Dalam perasaan kalah itu, tiada yang lain bermain di ingatan dan di pelupuk mata lelaki tua itu, kecuali wajah anaknya, Farid. Andai saja Farid hadir bersamanya di saat lebaran tahun ini, tentulah sinar kemenangan akan menerpa hidup dan penghidupan tuanya, yang dapat pula sedikit mengurangi perkelahiannya dengan diri, pikiran dan perputaran waktu yang telah meluluhlantakkan hidupnya selama ini.

Tiba-tiba lelaki tua itu terpekur. Ia kembali memasrahkan diri untuk menyambut lebaran tahun ini dengan kekalahan, tanpa seorang pun keluarganya; istri-istri, anak-anak, serta cucu-cucunya datang mengunjunginya di gubuk tua di pinggir kali berair keruh itu. Seiring gema takbir dan tahmid, lelaki tua itu hanya bisa meneteskan air mata kesedihan di gubuk tua di pinggir kali yang airnya tak kunjung jernih itu. Namun nyalinya masih belum ciut. Ia memohon kepada Tuhan, sebelum matanya terkatup untuk selama-lamanya, semoga Tuhan mempertemukannya dengan keluarga, terutama dengan anak-anaknya yang tak pula ia ketahui persis berapa jumlahnya dan namanya satu persatu, kecuali Farid. Tetapi lelaki tua itu bukan tidak sadar, bahwa di kepalanya selalu bergayut pertanyaan, masih sudikah anak-anaknya menemuinya, setelah dulu ia dengan kasar meninggalkan ibu-ibu mereka? *** (Padang, 25 Mei 1987)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar