Nama gelar atau takhallus1 yang tercantum di belakang nama kecilnya memperlihatkan bahwa pendekar puisi dan ilmu suluk ini berasal dari Fansur, sebutan orang-orang Arab terhadap Barus, sekarang sebuah kota kecil di pantai barat Sumatera yang terletak antara kota Sibolga dan Singkel sampai abad ke-16 kota ini merupakan pelabuhan dagang penting yang dikunjungi para saudagar dan musafir dari negeri-negeri jauh.
Menurut Prapanca, (dalam Abdul Hadi WM, 1995:10) mengatakan di dalam Nagara Kertagama bahwa Barus merupakan salah satu negeri Melayu yang penting di Sumatera. Sedangkan menurut seorang penulis Arab yang terkenal Sulaiman Al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya Al-‘Umdat Al-Muhriyah fi Dabt Al-‘Ulum Al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia, dan India. Barus, tulis Al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai barat Sumatera.
Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah orang Turki yang bernama Sidi ‘Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera. Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus benzoin putih yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah besar. Begitu pula kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minagkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kampar, Pedir, dan Lampung. Dapat dipastikan bahwa kota yang ramai dengan masyarakat kelas menengah seperti Barus telah terdapat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya sekolah-sekolah agama. Di situ orang dapat mempelajari berbagai bahasa asing, khususnya bahasa Arab dan Persia, dua bahasa penting pada abad ke-16 yang sangat dikuasai oleh Hamzah Fansuri. Mungkin di kota kelahiran inilah Hamzah Fansuri mula-mula mempelajari ilmu-ilmu agama, termasuk tasawuf dan kesusastraan. Sebagai bagian penting dari dunia Melayu dan sebagai pusat perdagangan serta kebudayaan, bukan tak mustahil di kota ini pernah berkemang sebuah dialek bahasa Melayu yang unggul, di samping dialek Malaka dan Pasai. Bahasa Melayu yang dipakai Hamzah Fansuri di dalam karya-karyanya mungkin merupakan contoh terbaik dari ragam bahasa Melayu Barus.
Sayang sekali bukti-bukti tertulis yang dinyatakan kapan sebenarnya Hamzah Fansuri lahir dan wafat, di mana dilahirkan dan di mana pula jasadnya dibaringkan dan di tanam, tak dijumpai sampai sekarang. Dari syair dan dari namanya sendiri sudah dapat diketahui beliau berdomisili di Fansur, dekat Singkel, sehingga mereka dan turunannya pantas digelari Fansur. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri, ayah dari Abdur Rauf Singkel Fansuri. Pada ahli cenderung memahami dari syair bahwa Hamzah Fansuri lahir di tanah Syahmawi, tapi tidak ada kesepakatan mereka dalam mengidentifikasikan tanah Syahmawi itu, ada petunjuk tanah Aceh sendiri ada yang menunjuk tanah Siam, dan bahkan ada sarjana yang menunjuk negeri Persia sebagai tanah yang di Aceh oleh nama Syamawi.
Menurut versi lain bahwa beliau dilahirkan di Syahrun Nawi atau Ayuthia di Siam dan berhijrah serta menetap di Barus. Ayah Hamzah al-Fansuri bernama Syeikh Ismail Aceh pernah menjadi Gubenur di Kota Sri Banoi. Beliau menggantikan Gubenur Wan Ismail yang berasal dari Patani, yang telah melepaskan jawaban karena usianya yang lanjut.
Ibu bapa Hamzah telah meninggal dunia ketika beliau masih kecil. Suasana dan keadaan ini mendorong beliau hidup terpencil dan berdagang atau mengembara dari sebuah negeri ke sebuah negeri. Sewaktu mengembara dan berdagang itu, Hamzah Fansuri telah belajar berbagai-bagai ilmu dalam masa yang lama. Selain menimba ilmu di Aceh, beliau juga telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat). Sumber lain juga menyatakan bahawa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Arab. (Bersambung ke : Yang Pertama Mengubah Syair-Syair)