Atap rumahgadang kami yang terbuat dari ijuk itu kelihatan tak pernah kering, meski pun musim panas. Hampir di setiap sambungan ikatannya ditumbuhi sekat, sejenis benalu dan pada bagian tertentu dibalut lumut. Ketika aku pulang pada hari raya kemaren, kuperhatikan atapnya yang lancip di kiri dan kanannya yang disebut gonjong itu sudah mulai miring, kelihatan agak condong ke kiri. Bila tidak segera diperbaiki, tentulah tiang penyangganya yang mulai lapuk tersebut akan patah.Kemiringan gonjong bagian kiri rumahgadang itu, akan terlihat dengan jelas bila kita berada di teras Surau Iqraq yang jaraknya sekitar limaratus meter arah tenggaranya. “Bila tidak segera direhab, tak lama lagi rumahgadang ini pasti rubuh,” kataku dalam hati, sesaat setelah salat Asar.
“Hei, Tuak Pado rupanya. Kelihatan padi sudah menguning, bila menyabitnya Tuak?” Seorang lelaki setengah baya menegurku. Aku menoleh, mengangguk dan tersenyum.
“Ya, saya pulang bukan untuk sawah itu, karena sudah dipercayakan pada panungkek saya, Mak Karimudo.
Maklumlah, saya mencari makan jauh di rantau orang,” kataku, agak merendah. Panungkek yang kumaksudkan ialah penungkat atau penunjang, yakni semacam wakil atau perpanjangan tanganku di dalam kaum Tuak Bayiak suku Chaniago.
“Haji Thaib Karimudo? Menantu Rohani yang penakut itu?” Kata lelaki tersebut sambil bertanya sinis. Setelah kuperhatikan benar, ternyata lelaki itu Zulfikar, kemenakan Mak Palimo dari suku Tanjung, pihak bako, saudara ayahku. Aku mengangguk-angguk. Entah apa yang kuangguk-anggukkan, yang jelas setelah menyorongkan sandal yang terletak di bibir teras bagian luar, aku pun melangkah, menuju ke pandam pekuburan kaum Datuk Rajo Bayiak dari suku Chaniago.
Di pandam pekuburan itulah banyak berkubur saudara-saudaraku dari pihak ibu, karena sejak dahulu kala, kami memang lebih dekat kepada ibu daripada bapak. Ninik mamak, para lelaki di Minangkabau, lebih memerhatikan kemenakannya dari saudara perempuan ketimbang anak kandung sendiri yang dilahirkan oleh istri yang sah. Karena, si anak juga punya mamak, paman dalam kaumnya. Di daerahku, perempuan lebih disanjung, karena kami memakai garis keturunan menurut garis ibu. Itulah sebabnya, semua harta warisan, pusaka tinggi yang disebut sebagai tambilang basi menjadi hak perempuan yang diatur dan diawasi oleh ninik mamak.
Aku terpaku ketika melihat kuburan Datuk Rajo Bayiak sudah merimba, ditutupi tumbuhan perdu, hingga selalu lembab dan tempat bersarangnya nyamuk. Agak ke selatannya, membujur pusara kemenakan Datuak Rajo Bayiak yang kukenal sebagai Cunyak. Cunyak adalah ibu dari nenek ibuku, artinya nenek dari Nek Saodah, nenekku. Mereka tidak pernah kukenal, kecuali Nek Saodah yang suka bercerita. Tapi di mana pusara Nek Saodah? Aku mencari kuburannya sambil menguak reranting rimba perdu yang saling berkait itu. Dalam hati, apakah kemenakan-kemenakanku tidak lagi mendatangi pandam pekuburan ini menjelang Ramadhan atau ziarah menjelang hari raya kemaren? Tapi pertanyaan itu aku lulur saja. Aku malu pada diri sendiri, apalagi bila didengar orang lain. Bukankah aku telah menyanggupi menyandang gelar datuk dalam kaum Datuk Rajo Bayiak dari suku Chaniago, sejak mamakku, Datuk Padopado meninggal lima tahun silam? Maka sejak itu, artinya semua masalah yang ada di kampung harus segera kuatasi, mencarikan jalan yang terbaik untuk bersama. Bak menarik rambut dalam tepung, rambut tersisihkan, tepung pun tak terserak. Tapi itu nyaris tak kulakukan, karena aku bekerja di kota. Apalagi sejak digadang-gadang sebagai calon bupati yang tak lama lagi akan dipilih secara langsung.
Aku masih ingat cerita Nek Saodah. Menurutnya, leluhur kami dikenal cukup rajin ke ladang. Kampung yang kubanggakan sebagai daerah asalku diteruka oleh Datuk Rajo Bayiak bersama beberapa kemenakannya. Sehingga hutan mandul di perbukitan itu menjadi produktif karena ditanami casiavera, damar, pala, kelapa, dan kopi. Di bagian yang landai, mereka membuat sawah setelah sebelumnya mengendalikan tali air hingga membentuk anak sungai yang jernih dan jinak, bermuara ke sungai besar di bagian bawahnya. Lama kelamaan kampung itu pun tumbuh menjadi daerah agraris yang subur.
Menurut Nek Saodah, Datuk Rajo Bayiak mengerahkan kemenakannya, membuat Rumah Bagonjong sebagai rumahgadang milik kaum, lengkap dengan dua buah rankiang, yang berfungsi sebagai lumbung atau gudang hasil pertanian mereka. Lalu di pinggir sungai, bagian ketinggian yang disebut munggu dibuatlah surau tempat semua kemenakan, menantu dan cucu-cucunya bisa belajar membaca, mengeja tanda-tanda kehidupan melalui ayat-ayat suci Al Quranul Karim. Itulah sebabnya kemudian surau itu bernama Surau Iqraq. Ketika Datuk Rajo Bayiak meninggal, semua kemenakannya sepakat agar beliau dikuburkan di belakang surau tersebut yang kemudian menjadi Pandam Pekuburan kami sekeluarga, sampai sekarang.
“Yang tidak boleh diganggu ialah batu besar di atas bukit itu. Sebab ia berfungsi sebagai penutup mata air yang ada di bawahnya,” kata Nek Saodah. Aku tidak begitu paham apa yang dimaksudkan Nek Saodah. Batu besar itu, masih tetap berada di tempatnya. Kini semakin jelas kelihatan dari bawah, karena beberapa pohon yang menutupinya terasa semakin berkurang bahkan cendrung habis.
Nek Saodah adalah cucu Datuk Rajo Bayiak dari pihak Mak Piah, yang kawin dengan orang Tanjuang dan dikaruniai anak 3 orang yakni; Rakiah, Kahar dan Nuraini. Rakiah yang kupanggil Etek Kiyah menikah dengan seorang jaksa yang bertugas di Medan, nyaris tak pernah pulang. Sehingga hasil sawah dan ladang legarannya dikelola oleh Mak Kahar. Nuraini yang akrab disapa sebagai Cik Ani itulah ibuku. Aku punya kakak dan adik perempuan yang tetap tinggal di kampung. Sedang aku, sejak kuliah di Jawa dan bekerja di kota, menikah dengan perempuan pilihanku yang berasal dari kampung sebelah, pihak kaum Suku Koto. Sesekali saja pulang menjenguk ibu yang sudah tua dan sesekali menjadi imam di Surau Iqraq, surau kaum kami.Gelar Datuk Padopado sebenarnya belum patut tersandang di pundakku, karena masih ada Mak Siri, anak Jauhari, adik Nek Saodah. Tapi karena Mak Siri tidak berpendidikan, maka disepakatilah gelar itu jatuh ke salah satu cucu Nek Saodah, yakni aku.
Sejak aku masih sekolah di pesantren, Mak Siri nampaknya memang tidak suka padaku. Terlebih ketika aku dipercaya sebagai panungkek, pelanjut Datuk Padopado yang dipegang oleh adik Jauhari, mamak kontannya.
Rasa tak senang Mak Siri semakin nampak ketika aku mengatakan kalau menebang kayu di lereng-lereng bukit itu berbahaya bagi kelangsungan hidup kita kelak. Sebab bila batu besar yang menggantung di atas bukit itu jatuh, bukan tidak mungkin kampung itu akan dihondoh tanah longsor dari atas. Tapi Mak Siri tidak mengindahkannya, karena pohon-pohon tua dari jenis marsawa, timbalun, surian, maransi, harganya cukup tinggi. Apalagi untuk menumbangkan kayu-kayu besar itu sudah memakai gergaji mesin, yang bekerja sangat cepat. Kayu-kayu besar satu per satu tumbang, dan gelondongan itu dihanyutkan melalui anak sungai menuju muara di hutan yang berbatasan langsung dengan perkampungan. Mak Siri membuat panglong kayu di sana dan limbahnya dibuang begitu saja ke dalam sungai.
“Inyiak Tuak Bayiak beramanah pada Nek Saodah, jangan menebang kayu di sekitar batu besar itu,” kataku suatu ketika, mengingatkan agar Mak Siri menyisakan pohon-pohon tua tersebut. Tapi dia malah tersinggung.
“Hei, Kapuyuak, kamu itu kemenakanku. Jangan sok mengajari aku pula, baru jadi panungkek datuak,” kata
Mak Siri sambil menahan emosinya. Menyadari hal tersebut, aku sengaja tidak menjawab. Dari caranya menegur, menyebutku sebagai kapuyuak, semacam rayap yang suka mengotori pakaian dalam lemari dan berumah di selokan-selokan, aku sudah paham.Jika dilihat secara fisik, Mak Siri ini kelihatannya cukup keras. Dia pantang disolang, ditunjuk-ajari, apalagi oleh kemenakan yang dianggapnya masih ingusan dan didengar pula oleh orang lain. Tapi, jauh di balik itu, ia merindukan kebangkitan kaum kami secara diam-diam. Tidak ada kemenakan atau cucu kaum Tuak Bayiak yang pantas dibanggakan di tengah gelanggang, baik sebagai alim ulama mau pun pejabat negara atau politikus. Mak Siri ingin mengader siapa saja di antara anggota kaum yang dianggapnya mampu untuk itu.
“Tapi mengapa Mak Siri tidak berpikir, menyisihkan sebagian bunga kayu untuk memperbaiki rumahgadang yang sudah tua dimakan usia?” Pikirku suatu kali. Tapi pikiran itu langsung dibungkam oleh Mak Kahar yang mengatakan rumahgadang adalah milik bersama, kebanggaan bersama. Makanya harus dipikirkan dan dikerjakan secara bersama pula.
“Itulah sebabnya, ia lebih memilih membangun rumah di tanah pusaka istrinya,” kata Mak Kahar pula.
Menjelang menyelesaikan pendidikanku di Mandrasah Aliyah, Mak Siri memanggilku ke rumah istrinya. Sebagai mamak yang sedang dilimpahi rejeki, ia akan membiayai kuliahku sampat selesai. Tentu saja aku senang mendengar niat baiknya tersebut.
“Tak ada di antara kaum kita yang bisa dibanggakan, kecuali kau,” katanya sambil menyalakan rokok. Tak lama kemudian, muncul Nina membawa baki yang berisi dua gelas kopi dan sepiring gorengan. Mak Siri, sepupu ibuku itu punya anak 3 orang. Yang tertua sudah bersuami dan tinggal di Pekanbaru. Nina anak ke dua dan seorang lagi laki-laki, masih di tSanawiyah.
“Silahkan diminum Uda Eri,” kata Nina sambil meletakkan baki di tikar, di hadapan kami duduk bersila. Aku mengangguk. Nina kembali ke dalam sambil meninggalkan senyum manisnya.
“Saya sudah mengatakan pada mamakmu, Kahar. Setamat Aliyah sebaiknya kau lanjutkan ke IAIN di Padang. Soal biaya, jangan kau pikirkan,” kata Mak Siri.
Sebenarnya, niat untuk melanjutkan studiku ke jenjang perguruan tinggi sudah lama ada. Bahkan, aku telah diundang sebuah perguruan tinggi di Jawa, masuk tanpa harus mengikuti test. Tapi aku sengaja memendamnya, karena melihat keadaan dan kemampuan Mak Kahar tidak memungkinkan. Padamulanya aku ragu dengan niat baik Mak Siri. Apa yang telah mereka, Mak Kahar dan Mak Siri – sepakati tentang aku, kemenakannya? Jangan-jangan, secara diam-diam mamak-mamakku itu telah sepakat menjodohkan aku dengan Nina. Di kampungku, hal seperti itu sudah biasa, pulang ke rumah bako.
Selesai kuliah, aku tetap di Jawa, bekerja dan menikah dengan seorang gadis Minang yang kukenal semasa kuliah. Menurut Mak Kahar, Mak Siri sering menyebut-nyebut aku sebagai kemenakannya yang sukses di rantau. Tapi samasekali ia tak berharap aku pulang ke kampung, karena dianggap akan mengganggu pekerjaannya.
Ketika Datuk Padopado meninggal, semua kemenakan dan cucu beliau, terutama dari pihak Nek Saodah sepakat agar saluaknya diserahkan padaku. Tentu saja kaum Datuk Rajo Bayiak dari pihak Jauhari tidak menyukainya, karena mereka merasa aku telah mengenyampingkan Mak Siri.
Untuk mengatasi ketegangan, sebagai penghulu dalam kaum, sengaja kutunjuk Haji Thaib Karimudo, adik kandung Mak Siri sebagai panungkek. Karena aku tinggal di kota, maka semua masalah kaum, terutama legaran sawah dan ladang kuserahkan pada Haji Thaib Karimudo tersebut.Tapi ternyata aku salah pilih. Ketika pulang pada hari raya kemaren, barulah kusadari bahwa ternyata Haji Thaib Karimudo tidak sepenuhnya menjalankan amanahku. Menurut Zulfikar, ternyata ia lebih cendrung mengalah dan berdiam diri saja di rumah istrinya, karena Mak Siri selalu mengancam bila usahanya menebang dan mengolah kayu dihalang-halangi. Itulah sebabnya mengapa pandam pekuburan itu merimba, karena nyaris tak pernah diziarahi secara berkala. Haji Thaib hanya mengurus Surau Iqraq, mengajar anak-anak mengaji dan memberi ceramah agama. Setelah itu ia pulang ke rumah istrinya.
Ingin rasanya aku mendatangi rumah istri Mak Karimudo, menanyakan segala hal yang menjadi masalahnya sebagai panungkek Datuk Padopado dalam kaum kami. Tapi itu tidak mungkin rasanya, karena aku seorang penghulu. Bukankah seharusnya, begitu Haji Thaib Karimudo tahu kalau aku sedang di kampung, ia mendatangiku? Lalu ia menceritakan masalah anak dan kemenakan, jika ada silang sengketa yang patut segera diselesaikan?
“Tapi itu, tidak mungkin. Bukankah Tuak Pado kemenakanya juga?” Kata Zulfikar.
“Ya, tapi aku kan penghulunya?
“Inilah yang jadi masalah. Bagaimana pun, Mak Siri kakak kandungnya,” jawab Zulfikar pula.
Aku terdiam. Percuma rasanya menjadi sarjana dan disegani orang di kota, sementara sebagai pemangku adat di dalam kaum sendiri, aku tak mampu mengatasi masalah. Aku merasakan, kaum Datuak Rajo Bayiak dari suku Chaniago yang dulu cukup disegani di nagari, kini mulai digerus masa secara pelan-pelan. Pandam pekuburan yang merimba, rumahgadang yang sudah ketirisan, rangkiang yang tak terisi setiap panen, dan bahkan konon zakat penghasilan pun jarang dibayarkan.
Kutukan apakah yang akan terjadi atas kaumku ini kelak?
***
Tak ada hujan. Anak sungai yang dulu mengalir tenang dan tak pernah kering mengairi sawah-sawah yang membentang di kiri kananya, tiba-tiba mengamuk. Pada mulanya, di siang yang cukup cerah itu, anak sungai tersebut mengalirkan air keruh. Seperti ada yang mengeruhnya di hulu. Tak satu pun di antara orang-orang kampung yang curiga, kalau mata air yang berada di bawah batu besar di puncak bukit itu sudah terusik. Batu besar itu semakin membenam dan air pun muncrat di sekelilingnya. Makin lama air itu semakin menggenang dan turun ke bawah, menggerus tanah, membongkar akar-akar kayu yang sudah ditebangi. Tak ada yang curiga, sampai sore bahkan menjelang subuh keesokannya.
Persis setelah Haji Thaib Karimudo mengumandangkan azan Subuh di Surau Iqraq, terdengarlah gemuruh air yang cukup dahsyat dari bukit. Bersamaan dengan itu, air meluncur bebas ke bawah membawa ratusan bahkan ribuan kubik material, menimbun ladang dan sawah, bahkan merubuhkan beberapa rumah. Rumahgadang kebanggaan kaum Datuak Rajo Bayiak kelihatan masih berdiri, meski semakin miring, dan gonjong utamanya kelihatan terkulai lemah, tak berdaya.Meski pun berkali-kali ia meneriakkan; “Allah hu Akbar” dari Surau Iqraq, seperti tak ada yang menghiraukan. Pekik pilu dan tangisan warga kampung yang tak berdaya telah menjadikan pagi itu seperti kembali malam. Meski matahari menembakkan cahaya violetnya, namun orang-orang seakan merasakan dinginnya cahaya bulan di kala malam. Banyak yang hilang, terkubur hidup-hidup. Beberapa mayat yang berhasil dievakuasi, disemayamkan di rumahgadang yang sudah miring itu. Setelah diteliti, ternyata yang banyak terbujur kaku itu adalah kemenakan dan cucu-cucuku, kaum Datuk Rajo Bayiak.
Musibah itu datang dengan tiba-tiba, ketika aku sedang dipromosikan sebagai salah seorang calon bupati. Ketika beberapa pendukungku sibuk berkampanye untuk kemenanganku pada pemilihan kepala daerah yang tinggal menghitung hari. Maka, segala kekuatan kukerahkan ke kampung yang dihondoh galodo, bah tersebut. Segera menggali lubang besar di pandam pekuburan kaumku, semua jenazah yang seperinduan, dikuburkan dalam satu lobang.
“Lebih lima tahun, kuburan ini tak diziarahi karena tak ada yang meninggal. Kini kita menguburkan belasan jenazah, darah daging kita sendiri,” kataku dengan nada lemah, lalu menutup wajah dengan ke dua telapak tanganku.
Ketika melangkah hendak meninggalkan kuburan yang baru saja ditaburi beraneka bunga, tiba-tiba saja seorang wanita mengejar dan langsung memelukku. Aku kaget. Perempuan itu kemudian memeluk tanganku, sambil menangis meratapi nasib kaum Datuak Rajo Bayiak, yang tercabik-cabik, karena mamak-mamak mereka tidak lagi mengurus kemenakan, tidak lagi memikirkan keselamatan kampung, bahkan membiarkan rumahgadang kebanggaan kaum itu lapuk dimakan anai-anai.
“Tek Kiyah?” Kataku, dan sesaat setelah aku menyebut nama itu, perempuan tersebut terkulai lemah. Pingsan!
Ya, Tek Kiyah, kakak ibuku yang larut di rantau itu, tiba-tiba muncul. Nyaris tidak dikenal orang sekampung, kecuali Mak Kahar, saudaranya. Konon hatinya tergerak pulang ke kampung bersama anak dan menantu, karena suaminya yang jaksa itu sudah pensiun. Sama sekali tak terbayangkan, kalau rumahgadang sudah condong. Sebab selama ia dirantau, hasil sawah dan ladang legarannya yang diserahkan pada Mak Kahar, dimaksudkan sebagiannya bisa dimanfaatkan untuk merawat rumahgadang, pandam pekuburan dan Surau Iqraq. Karena, bagaimana pun hasil terukaan Datuak Rajo Bayiak itu harus tetap terawat dengan baik.
Bukankah rumahgadang kebanggaan, pandam kuburan dan surau itu merupakan identitas kaum yang tak boleh hilang? Sebagai pewaris, yang berhak atas sawah, ladang dan rumahgadang, Tek Kiyah patut menuntutku sebagai datuk dalam kaum kami. Dalam hati, tuntutan atas hak yang dilancarkan Tek Kiyah itu benar. Tapi, sebagai datuk, bukan karena tidak mampu mengurusnya, karena di antara mamak-mamak yang ada ternyata saling bersikukuh dengan pendiriannya. Bahkan, dari pihak Mak Kari, malah menentang secara terang-terangan.
Baginya, menebang kayu yang dianggap mandul di hutan, di lereng perbukitan adalah usaha yang patut mendapat pujian. “Bukankah dulu, ketika meneruka kampung itu, Angku Tuak Bayiak juga melakukan hal yang sama?” kata Mak Kari dengan suara lantang.
“Tapi beliau tak sebiji pun membawa padi ke rumah istrinya,” jawab Tek Kiyah tak kalah sengitnya, lalu melanjutkan kalau Tuak Bayiak meneruka ladang dan kebun itu langsung menanamnya kembali dengan tumbuh-tumbuhan produktif yang bisa dinikmati secara turun temurun. Pantang bagi lelaki atau mamak yang bekerja menguras tenaga di lahan kaumnya, kemudian hasilnya dibawa ke rumah istri, dimakan bersama anak-anak. Bahkan membeli mobil dan membuat rumah di atas tanah kaum istrinya.
“Lihatlah, kemenakan kalian dijilat dan digunggung lidah air yang ganas itu,” kata Tek Kiyah lagi. Aku tahu, sebenarnya Tek Kiyah juga menyesal, karena mengikuti suaminya merantau sejak ia menikah, lebih tigapuluh tahun lalu. Kemarahan Tek Kiyah sebenarnya tidak hanya pada Mak Siri, tapi lebih terasa menusuk ke hulu hatiku.
Sebagai datuk dalam kaum, yang didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting, aku tak berbuat apa-apa. Bahkan, seperti dengan sengaja menutup mata, atas kesewenang-wenangan Mak Siri membabat hutan di perbukitan itu. Aku malu, sebagai sarjana yang dibiayai dari hasil penjualan hutan, ternyata tak mampu mengatasi masalah yang semakin lama terasa semakin kusut bak sarang tempua. Bukankah seharusnya, sebagai penghulu aku tidak boleh jauh dari kaumku sendiri? Seperti kebanyakan datuk-datuk intelektual lainnya, menetap di kota dan berkiprah mengejar dan mempertahankan kariernya, sementara anak kemenakan di kampung terabaikan.
Ketika ibuku, Nuraini meninggal, itulah Tek Kiyah pulang. Itu pun sudah belasan tahun silam. Karena harus mengikuti suami ke Medan, ia menitipkan amanah pada Mak Kahar, ya aku masih ingat itu. Tapi ternyata Mak Kahar lebih mencintai keluarganya, istri dan anak-anak daripada kemenakannya sendiri. Seperti Mak Kari dan mamak-mamak lainnya.
***
Rumahagadang itu, kini tak hanya miring, tapi seperti letih berdiri lebih seratus tahun lamanya, kelihatan terduduk tak berdaya. Rangkiang yang berdiri di kiri dan kanannya, tak nampak lagi, hilang begitu saja sejak dijilat lidah air yang datang membabibuta. Sejak kampungku dilanda galodo, rumahgadang itu dibiarkan kosong melompong, dikerubuti anai-anai. Gonjongnya yang dulu kekar menantang angin, kini bagaikan dialahkan. Sebagai penghulu, aku pun bagaikan ikut hanyut ke muara, mengharungi lautan menjaring untung.
Sementara sebagian urang sumando, suami dari kemenakan-kemenakanku hanya terpana, bagaikan debu di tunggul kayu yang terus melapuk di makan usia, lalu ditiup angin entah ke mana. Seharusnya, perempuan tidak pergi melaut ke rantau orang, karena sebagai pelanjut keturunan ia harus setia menanti di rumahgadang. Meski bersipongang anjing melolong tengah hari, namun ia tetap menyulam di bandul kehidupannya. Seharusnya, sebagai datuk dalam kaum, aku tinggal dan menetap di kampung, mengawasi kemenakan, mendengarkan berbagai masalah dan segera mencari jalan ke luar yang terbaik. Sejak meninggalkan kampung, nyaris tak pernah aku menghela rambut dalam tepung, sebuah kepiawaian yang harus dikuasai setiap
datuk atau penghulu dalam setiap menyelesaikan masalah dalam kaumnya.
(Padang-Jakarta, 2013)
Keteangan:
1. Ninikmamak = tetua, lelaki dalam kampung
2. Mamak = saudara lelaki dari pihak ibu
3. Nagari= negari, desa.
4. Datuk = pimpinan, yang dituakan dalam kaum, suku (clan)
5. Tambilang basi = warisan dari leluhur dalam bentuk tanah, sawah dan ladang
6. Saluak = sejenis kupiah, songkok tradisi yang menandakan si pemakainya seorang datuk dalam kaumnya, atau penghulu dalam nagari.
7. Rangkiang = lumbung, tabungan dalam bentuk hasil ladang dan sawah, milik kaum
8. Panungkek = wakil, atau perpanjangan tangan penghulu atau datuk
9. Bako = saudara dari pihak bapak
10. Galodo = bah, lidah air yang membawa pasir dan bebatuan ke dalam kampung.
11. Inyiak, angku = kakek dan ke atasnya. Bisa juga leluhur
12. Urang sumando, sumando = ipar, suami dari saudara perempuan dalam kaum, atau suku. dikutip dari Kumcer Cerita Etnis 5 Negara Serumpun, terbitan Wohai 2013, Hal. 176-189
Syarifuddin Arifin; Lahir di Jakarta. Berpendidikan: ST-KIP, Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia. Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran) Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, Maling Kondang (2012) diterbitkan Teras Budaya, Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala. Dan Sauk Seloka (2012) terbitan Dewan Kesenian Jambi.
Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu, (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), Gamang (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar. Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang. Menguak Atmosfir (2004) dimuat Majalah Wanita Kartini. Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984. Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004.
Beberapa kali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002) Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.