Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Pementasan Robohnya Surau Kami : Fanatisme Membuka Peluang Manusia Terkutuk

Oleh : Indra Martini

Fanatisme bagian dari konsekuensi logis dari kemajemukan sosial atau heterogenitas dunia, kata para ahli. Melahirkan apa yang dinamakan in group atau out group. Fanatisme dalam persepsi ini adalah sebuah bentuk solidaritas terhadap orang yang sepaham dan tidak menyukai kepada orang yang di luar pahamnya. Tidak suka kepada apa yang tidak disukainya (dislike of the unlike).

Sikap fanatik kadang dapat muncul sebagai bias dari seseorang yang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis karena adanya kerusakan sistem persepsi.

Melihat kenyataan hidup sekarang ini, kiranya inilah yang berkembang dan berbiak di tengah-tengah masyarakat. Akibat berbagai kepentingan, in group atau out group, perbedaannya semakin tajam. Dan bagi beberapa orang atau kelompok, hal ini dipelihara, untuk memuaskan kebutuhannya dalam berbagai aspek.

Teater sebagai realitas masyarakat yang dibawakan ke panggung, kiranya memang perlu lebih terbuka untuk memperlihatkan apa-apa yang terjadi secara aktual di tengah-tengah masyarakat. Ini adalah kerja yang tak akan pernah berhenti. Bagian dari fungsi teater untuk membuka kesadaran manusia terhadap kehidupannya.

Realitas inilah yang diangkat Rumah Sastra Drama “imaji” dengan naskah “Robohnya Surau Kami”, dengan Sutradara Muhammad Ibrahim Ilyas, yang mengambil ide naskah dari Cerpen A.A. Navis, Sabtu (21/05-16), pekan lalu, di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat. Dibantu Yudhistira Alin sebagai Penata Musik dan Dwi Oktaviantika sebagai Pimpinan Produksi. Serta didukung oleh Penata Lampu (Efrizal), Dokumentasi (Nursiwan Isa), Stage Manager (Jefi Rozi Trianda), Artistik (Hendro Saputra, Muhammad Fauzan), Property (Vovy Ingkra, Franky Pratama Putra, Kostum (Hermayati Trisna, Chichilia Berlinda), Penata Rias (Fatmawati, Net Asmawati), dan Penata Gerak (M. Ramdhan). Setidaknya, bagi saya, keseimbangan hidup di dunia dengan kehidupan yang lebih abadi nantinya, mutlak ada. Fanatisme perlu didudukan dalam porsi salah benar. Inilah yang saya tangkap dalam pementasan malam itu. Selain, bagaimana bersikap sebagai individu dalam kerangka group.

Fanatisme akan bermasalah ketika seseorang fanatismenya menjadi membabi buta. Fanatisme yang membabi buta akan melahirkan sikap agresif, menimbukan konflik, dan perseteruan.

Fanatisme buta membuka peluang bagi orang lain untuk melakukan hal-hal yang diluar nalar kepada orang-orang diluar kelompokya. Bahkan bisa menjadi lebih terkutuk. Apakah karena fanatisme buta kita terhadap sesuatu, akan menjadikan kita sebagai manusia terkutuk ?

Sengaja dalam kesempatan ini tidak melihat secara teknis terhadap penampilan malam itu, karena, menurut saya; apa yang terjadi di panggung adalah sebuah realitas yang perlu dipahami. Karena itulah teater. Saya tidak akan bicara lagi soal vokal, bloking pemain, ekspresi, tata cahaya atau pun musik pendukung. Karena bagi saya, semuanya sudah ditampilkan dengan pernak-pernik kelebihan dan kekurangannya. Namun satu hal lagi yang saya catat, permainan grouping yang telah lama saya rindukan, terobati.
Saya jadi ingat permainan grouping Grup Teater “Semut” ketika membawakan naskah “Mega-Mega” karya Arifin C. Noer yang disutradarai oleh Edi Anwar akhir 1984. Permainan grouping itu menarik dan sangat membahagiakan. Dalam “Robohnya Surau Kami” dimainkan secara baik oleh murid-murid MTsN Lubuk Buaya.

Selamat dan terima kasih kepada “imaji” dan “dayung-dayung” sebagai produsen pementasan “Robohnya Surau Kami” dan “Dendang Lain Waktu”. ***

* Indra Martini, pernah menyutradarai beberapa naskah dengan Grup Teater Lentera-nya. Termasuk Sutradara Terbaik dalam Festival Teater Kosgoro Sumbar 1988

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar