Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Antologi Puisi Enam Penyair Muda Sumbar 1978

Catatan Dasril Ahmad

Alhamdulillah, pengetikan ulang seluruh puisi dalam buku “Antologi Puisi Enam Penyair Muda Sumatera Barat 1978” (BKKNI Sumbar, cet. I, Oktober 1978), telah selesai dikerjakan. Hal ini merupakan langkah awal dalam upaya menerbitkan kembali antologi puisi yang memuat 91 puisi dan 3 esei, masing-masingnya karya Asri Rosdi (15 puisi), Alda Wimmar Irawan Noer--alm (15 puisi), Indra Nara Persada (16 puisi + sebuah esei), Sofia Trisni (15 puisi), Syarifuddin Arifin (15 puisi + sebuah esei), dan Yose Hermand (15 puisi + sebuah esei).

Upaya menerbitkan kembali antologi puisi ini sudah menjadi kesepakatan para penyairnya, mengingat selain kondisi fisik buku antologi (stensilan) itu sudah memprihatinkan, juga buku itu sekarang susah ditemukan, malah ada di antara penyairnya sendiri tak lagi memiliki buku karyanya itu. Padahal, antologi puisi ini juga termasuk (dan menjadi) tonggak penting dalam perjalanan sejarah sastra, khususnya perpuisian, di Sumatera Barat, setelah antologi “Monumen Safari” (Genta, cet. I, 1966) yang memuat karya Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, dan Zaidin Bakry. Betapa tidak, antologi ini menandai kebangkitan kreativitas penulisan puisi di kalangan generasi muda di Sumatera Barat pada dekade 1970-an tersebut.
Antologi Puisi enam penyair Sumbar

Berikut kita nikmati 6 puisi karya 6 penyair yang ada dalam buku antologi puisi tersebut, masing-masingnya “Senanti Asa” (Asri Rosdi), “Soleram” (Alda Wimmar Irawan Noer), “Peristiwa Suatu Pagi” (Indra Nara Persada), “Pagi Satu Syawal” (Sofia Trisni), “Aku Tak Bisa Kekasih!” (Syarifuddin Arifin), dan “Kurindukan Sebuah Malam” (Yose Hermand). ***

SENANTI ASA
/ Asri Rosdi

Senantiasa tangan-tangan halus
menampar dua pahaku
lembut...
Senantiasa bibir-bibir cinta
mengecupku
mesra...
Senantiasa jemari-jemari lentik mencubit
dua pipiku
aduh...
"Ibuu !"
“Kekasihku ..!”

Kayutanam 1977-1978

SOLERAM
/Alda Wimmar Irawan Noer
Untuk : Nina Rianti

dengarlah dik 
dengarlah koor para bidadari
membelai dari bibir sorga
(sesaat kau berhenti menangis)

“Dalam perjalanan ini
biarkan saja angin berbohong
sebab
itulah harapan
yang dapat dibisikkannya.

Dalam perjalanan ini
biarkan saja angin berbohong
sebab
dia pasti berlalu
mencari kembali jejaknya
yang lembut”

dengarlah dengar
dengarlah nyanyian kita sesama
(lalu kita sama – sama terlepas
oleh nyanyian kita sendiri).

Padang, 1978

PERISTIWA SUATU PAGI
/Indra Nara Persada

Suatu pagi, seorang pelacur berjalan pulang
sehabis tugas semalam.
Di sebuah tong sampah dia melihat lalat-lalat
kelaparan karena makanan mereka habis dihanyutkan
banjir. Tiba-tiba lalat-lalat itu menyerbu pahanya. 
Setiba di rumah, pelacur itu tidak terkejut melihat
pahanya tinggal sebelah; dan berpikir :
nanti malam pahanya akan tumbuh kembali.

Januari, 1978

PAGI SATU SYAWAL
/Sofia Trisni

takbir sayup-sayup sampai ke sini
rindu sayup-sayup entah sampai batas mana
tanah kelahiran, rumah gedang nan lah sunyi
bagaimanakah kini?
sayang, aku tak pulang
bukan tak sempat
bukan tak dapat
tapi tak kuasa

takbir sayup-sayup sampai ke sini
pincuran tempat mandi
teratak sebelah hilir
bagaimanakah kini?
aku ingin menyampai salam
minal aidin wal faizin.

1 syawal 1398

AKU TAK BISA KEKASIH !
/Syarifuddin Arifin

Kucirca kanak-kanak tak berhenti
Mengiris semua hidupku
Tapi mereka berminyak wajah
Meninggalkan jejak sepatu baru
Dari tangga-tangga kehidupan

Padahal malam tadi
Aku masih melihat fakir
Menadahkan sebungkah harapan
Meninggalkan jejak duka di gerbang Mesjid
Dari tangga-tangga kehidupan

Dan di pagi yang basah
Mereka lupa mencuci sesuatu
Kini begitu ringannya mengucapkan
“Maaf lahir dan bathin”

Aku kehilangan gairah
Melihat si Buah hati
Kini mengapung di tengah
Fatamorgana uap matanya
Aku tak bisa Kekasih !

1 syawal 1398 H

KURINDUKAN SEBUAH MALAM
/ Yose Hermand

kurindukan sebuah malam
dengan dua puluh dua lilin yang menari
dan seikat bunga yang menyala.

kurindukan sebuah malam
dengan dua puluh dua puisi putih
meneteng keranda ungu,
sementara lima belas ekor gereja
memakai jubah-jubah kesumba.

kurindukan sebuah malam
dengan tujuh sajak biru
yang menyanyikan sebuah kur
mungkin Mozart atau Bimbo
seperti dulu,
waktu mereka habis mimpi
tentang kekasih yang mati muda.

juni ‘78


You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar