Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Refleksi Ateis

Oleh: Darman Moenir

Achadiat K. Mihardja yang dilahirkan di Cibatu, Garut, Jawa Barat, pada 6 Maret 1911, berpendidikan AMS-A Solo, Fakultas Sastra dan Filsafat UI, menulis novel Atheis (diterbitkan pertama kali Balai Pustaka, 1949). Kamus Besar Bahasa Idonesia  mengeja ateis. Itu bermakna orang yang tidak percaya pada keberadaan Tuhan. Sebagai sebuah novel, Atheis kemudian menjadi terkenal dan penting dalam blantika sastra Indonesia. Atheis memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI 1969. Menurut Pamusuk Eneste dalam Buku Pintar Sastra Indonesia, R.J. Maguire menerjemahkan Atheis ke dalam bahasa Inggris, dan Syuman Djaja mengangkat Atheis ke layar perak pada 1974.

Saya tak ingat kapan pertama kali membaca Atheis, mungkin ketika masih di SMP atau sesudah itu. Saya tak tahu persis sudah berapa kali saya membaca Atheis setelah menyadari dan diinggatkan oleh Prof. Dr. Mursal Esten, bahwa novel ini inspiratif untuk menulis kreatif.

Prof. Dr. Hasanuddin W.S, M.Hum. dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia mencatat, Atheis termasuk roman psikologis. Novel ini menceritakan kegoncangan jiwa seorang pemuda yang pernah taat beragama. Namun, sebagai akibat lugu, Hasan, pemuda itu, terpengaruh pemikiran kaum materialis atas filsafat kebendaan sehingga ia kehilangan keyakinan terhadap ketuhanan dan meninggalkan norma agama. Latar cerita etnik Sunda.

Tokoh Hasan, ketika bersekolah di MULO, berkenalan dan menjalin hubungan asmara dengan gadis cantik bernama Rukmini. Hubungan mereka kandas setelah orang-tua Rukmini menjodohkan Rukmini dengan saudagar kaya. Hasan patah hati, frustrasi. Hasan lalu masuk aliran tarekat sehingga dia kian taat beragama.

Ketaatan itu goyah setelah Hasan jumpa Rusli, teman masa kecil. Rusli datang bersama Kartini, janda cantik dan modern yang menganut asas pergaulan bebas. Wajah Kartini amat mirip dengan Rukmini. Tak pelak, Hasan pun jatuh hati pada Kartini. Dengan latar kehidupan beragama yang kuat, Hasan coba meyakinkan Rukmini untuk meninggalkan pola hidup bebas-merdeka itu. Hasan gagal.

Rusli yang menganut paham materialias kemudian bahkan sukses meyakinkan Hasan. Kaum materialis beranggapan, sebagai kepercayaan, agama sulit dijangkau akal nyata, terutama untuk mempercayai keberadaan Tuhan. Tuhan tidak hadir secara fisik di hadapan manusia. Pada awalnya Hasan masih tidak terpengaruh. Namun, setelah Rusli memperkenalkan Hasan kepada Anwar yang ateis, keyakinan Hasan goyah. Anwar sangat pandai mencuci otak Hasan. Pelan tetapi pasti, Hasan meragukan keberadaan Tuhan. Salat lima waktu sering diabaikan Hasan.

Pada akhirnya kehidupan Hasan benar-benar bebas, mengikuti gaya hidup Rusli, Anwar dan Kartini. Hasan kemudian menikahi Kartini tanpa mengikuti aturan Islam, tanpa angku kadi, tanpa penghulu. Mereka mengandalkan pernikahan suka sama suka belaka. Tetapi rumah-tangga mereka tidak mulus. Kartini hidup bebas. Hasan cemburu kepada Anwar. Hasan menuduh Kartini sudah berselingkuh dengan Anwar.

Dan, rasa keagamaan dan kebutuhan terhadap keberadaan Tuhan kembali bangkit pada diri Hasan. Dia tidak hanya merasa berdosa terhadap orang-tuanya tetapi juga terhadap Allah SWT. Dengan kesadaran penuh lalu Hasan menceraikan Kartini. Ia pulang kampung, ingin sujud, minta maaf pada orang-tua. Sang ayah sedang sakit keras, tetap tidak memaafkan Hasan. Hati Hasan hancur lebur lagi.

Hasan mencari Anwar. Hasan menganggap, Anwarlah yang menghancurkan dirinya. Di sana, pada saat itu sedang terjadi jam malam tetapi Hasan tetap mencari Anwar. Sebelum jumpa Anwar, Hasan tertembak! Hasan meninggal di tempat. Namun ia sempat mengucapkan Allahu Akbar beberapa kali sebelum wafat.

Atheis, novel Achdiat itu, karya fiksi. Hasan tidak sama dengan Aleksander Aan, seorang CPNS di Pemkab Dharmasraya, yang mengaku ateis. Kesadaran untuk tak mengakui keberadaan Tuhan itu bahkan sudah ada para diri Aleksander Aan sejak di SD. Ini mengingatkan saya pada seorang cewek, kalau tidak salah bernama Jane, yang saya jumpai di Oregon, Amerika Serikat, pada 1988. Dalam omong-omong santai di sebuah restoran dengan sekitar 40 sastrawan dari berbagai penjuru dunia, pembicaran kami sampai kepada masalah agama. Serta-merta Jane berujar, “Sorry, Mr. Moenir, I am an atheist.”

Saya tidak kaget terhadap Jane sebagaimana saya juga tidak kaget mengetahui pengakuan Aleksander Aan. Liku-liku kehidupan Hasan yang fiktif di Atheis menjadi konkret. (Itulah peran sastra.) Mungkin dan bolehkah ditelusuri liku-liku jalan hidup Aleksander Aan, sebagaimana juga Jane? Mungkinkah Aleksander Aan bisa kembali ke jalan Allah SWT, seperti Hasan? (*)

(Dimuat Haluan, Sabtu, 21 Januari 2012)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar