Kritikus sastra yang juga Guru Besar Ilmu Sastra Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP), Prof. Dr. Hasanuddin WS, M.Hum menyatakan, karya sastra selalu berada dalam ketegangan antara tradisi dan modernitas, konvensi dan invensi, dan kemudian kembali lagi ke tradisi. Dalam ketegangan itulah, pengarang menghasilkan karya-karya sastra yang baru. Malah, semakin tinggi tingkat ketegangan yang dirasakan pengarang, semakin tinggi pula kreativitas sastra yang dihasilkannya.
“Oleh karena itulah, proses ketegangan antara tradisi dan modernitas dan kembali ke tradisi menyebabkan hasil kesusastraan akan berkaitan dengan masalah konsep estetika atau puitika dari karya yang dihasilkan tersebut,” tegas Hasanuddin WS dalam makalahnya berjudul, “Tegangan Antara Tradisi dan Modernitas dan Kembali ke Tradisi: Kajian tehadap Novel dan Novel-Rabab Kusut karya Ismet Fanany”, yang disajikan dalam Seminar dan Peluncuran Buku Novel dan Novel Rabab “Kusut” karya Ismet Fanany di Teater Tertutup FBS-UNP, Kamis ( 22/10/2015) lalu.
Hasanuddin WS lebih jauh menyatakan, bagaimanapun radikalnya perkembangan suatu kesusastraan, perkembangan itu tidak mungkin melepaskan diri secara sempurna dari tradisi sebelumnya. Fenomena ini menandakan adanya suatu gejala tertentu yang mungkin muncul dari keinginan untuk tetap mempertahankan tradisi di satu pihak dan upaya untuk melakukan pembaruan di pihak lain. Begitu juga, di sisi lain, proses penyalinan, saduran atau terjemahan sastra hasil kreasi tidak dapat tidak bersifat longgar dan lincah. Hal ini disebabkan karena karya sastra individual itu justru ditandai oleh penyimpangan/ pelanggaran konvensi. Justru, di tangan pengarang konvensi jenis sastra itu tidak pernah dipenuhi seratus persen, melainkan selalu ada kelonggaran dan kebebasan tertentu. Namun, setiap penciptaan karya sastra (termasuk juga penyalinan, saduran, atau terjemahan) menetapkan terwujudnya dua jenis kenyataan dan norma, yaitu norma jenis yang dilampauinya, yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang diciptakannya. “Tidak mungkin memisahkan antara tradisi lisan dan tulisan terutama untuk penelitian sastra-sastra Indonesia, sebab sampai sekarang di berbagai kebudayaan suku bangsa, sastra lisan masih tetap diciptakan dan dihayati oleh masyarakat sebagai satu-satunya bentuk sastra ataupun berdampingan dengan bentuk sastra tulisan,” ujarnya.
Seminar dan Peluncuran Buku Novel dan Novel Rabab “Kusut” |
Dalam konteks inilah, Hasanuddin WS menegaskan bahwa unsur tradisi yang dominan mewarnai novel-novel awal sastra modern Indonesia adalah tradisi sastra lisan “kaba” Minangkabau. Menurut dia, pengarang-pengarang di awal sastra modern Indonesia, 99% adalah berasal dari etnik Minangkabau. Dominasi pengarang asal etnik Minangkabau di dalam kancah sastra modern Indonesia berkonsekuensi dominannya warna tradisi Minangkabau itu di dalam novel-novel awal sastra modern Indonesia. Bukanlah hal yang aneh jika novel-novel Indonesia pada masa itu dipengaruhi oleh tradisi kaba (bakaba). “Novel-novel di awal sastra modern Indonesia seluruhnya berangkat dari unsur tradisi kaba Minangkabau. Kalau novel itu mengkritik, menghujat dan menginspirasi, misalnya, jauh sebelumnya kaba juga sudah lama mengungkapkan hal itu,” tandasnya.
Prof. Dr. Hasanuddin, WS. M.Hum |
Dalam hal ini, ia melihat bahwa tegangan antara tradisi dan modernitas tersebut menghasilkan suatu karya sastra modern Indonesia (novel) di mana unsur tradisi (kaba) menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Aspek estetika dibangun secara bersama-sama oleh unsur modernitas dan tradisi. Terjadi transformasi yang menghasilkan formula estetika yang luar biasa. Tegangan antara penggunaan bahasa lisan bahasa Minangkabau (kaba) menjadi bahasa tulisan bahasa Melayu/Indonesia (novel).
Begitu juga, novel “Kusut” (Angkasa, Bandung, 2015: 482 halaman) karya Ismet Fanany, menurut Hasanuddin WS, merupakan karya sastra modern Indonesia yang masih cocok dan pas berdasarkan konsep estetika kaba. Ismet Fanany sebagai salah seorang pengarang sastra modern Indonesia asal etnik Minangkabau, sebagaimana pengarang sastra modern Indonesia asal Minangkabau lainnya (sebut saja misalnya A.A. Navis, Chairul Harun, Abrar Yusra, Wisran Hadi, Darman Moenir dan Gus tf Sakai) di dalam menghasilkan novel sesungguhnya masih meneladani atau mengikuti jalan yang telah dilakukan seniornya, yaitu para pengarang masa Balai Pustaka. Sebagaimana “Siti Nurbaya”, “Azab dan Sengsara”, “Sengsara Membawa Nikmat”, “Kemarau”, “Warisan”, “Tanah Ombak”, “Tamu”, “Bako”, dan “Empat Ular”, maka novel “Kusut” Ismet Fanany dari segi isi dan teknik sulit dipisahkan dari keterpengaruhan pada tradisi kaba (bakaba). Pengaruh kaba (bakaba), khususnya kaba Minangkabau takklasik selalu mewarnai novel-novel Indonesia karya pengarang asal etnis Minangkabau.
“Tampaknya pengarang novel Indonesia asal etnik Minangkabau tidak akan mungkin terlepas dari tradisi sastra Minangkabau tersebut. Bisa diibaratkan, kalau kaki kanannya melangkah jauh ke modernitas, maka kaki kirinya terpaku kuat pada akar tradisi. Nah, terjadilah ketegangan hebat antara tradisi dan modernitas ini sebagai pemicu proses kreativitas sastranya,” jelas Hasanuddin WS menjawab peserta dalam sesi diskusi.
Konsep estetika kaba yang pas dalam novel “Kusut” Ismet Fanany ini, menurut Hasanuddin adalah pada teknik penceritaan, tampak tokoh cerita disoroti satu persatu. Posisi pencerita (baca; pengarang) di dalam narasinya, seperti fungsi tukang kaba dalam kaba atau fungsi janang dalam randai. Anggapan bahwa novel “Kusut” karya Ismet Fanany ini sebagai suatu bentuk kritik sosial, sesungguhnya juga terdapat di dalam penceritaan kaba. Tidak ada kaba yang tidak mengemukakan perubahan-perubahan sosial budaya Minangkabau. Kaba dapat dikatakan sebagai dokumen yang mencatat fenomena pergeseran nilai-nilai sosial budaya Minangkabau yang tidak akan pernah berhenti berubah. “Sekali air bah, sekali pula tepian berubah”.
Mengenai novel “Kusut” Ismet Fanany sebagai karya sastra modern yang kemudian bertransformasi kembali ke dalam tradisi kaba (bakaba) Minangkabau dalam bentuk novel-rabab “Kusuik” yang didendangkan oleh Alkawi, dinilai Hasanuddin WS sebagai sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa ketegangan antara tradisi dan modernitas di dalam kreativitas sastra menghasilkan fenomena keinginan untuk tetap melakukan pembaharuan di satu pihak dan upaya untuk mempertahankan tradisi di pihak lain.
Dalam hal ini, Hasanuddin WS melihat bahwa novel-rabab “Kusuik” ini merupakan transformasi hasil dari ketegangan antara tradisi dan modernitas. Unsur cerita yang disampaikan merupakan unsur cerita dari cerita novel hasil kreativitas individu (cerita dari novel “Kusut” karya Ismet Fanany). Alkawi sebagai tukang kaba tidak tampil sebagaimana tukang kaba tradisional yang cenderung mengenakan pakaian tradisional Minangkabau. Sebagai tukang kaba, Alkawi ditampilkan sebagaimana ia tampil dalam kesehariannya, dan novel-rabab “Kusuik” ini direkam dalam bentuk DVD disertai ilustrasi adegan yang dilakukan oleh berbagai pemeran untuk membantu penikmat (audiens) memahami cerita. Menyaksikan lebih seksama, pertunjukan novel-rabab “Kusuik” ternyata tidak sama sebagaimana pertunjukan rabab (barabab) tradisi, melainkan sebuah pertunjukan rabab (barabab) Minangkabau modern (kreasi, invensi).
“Ini bukan kembali ke tradisi, tapi sebuah inovasi (bentuk baru) yang terjadi berkat campur-tangan sains dan teknologi. Tampak keinginan Ismet Fanany untuk mengkritisi kesenian tradisi Minangkabau saat ini yang mesti disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Namun, tampak juga keinginan Ismet Fanany untuk bermain-main. Tapi siapa pengarang dunia yang tak bermula dari bermain-main, yang tak bermula dari mimpi?” tukas Hasanuddin WS masih menjawab peserta.
Seminar dan peluncuran buku yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Kajian Humaniora FBS-UNP dengan Penerbit Angkasa Bandung ini berlangsung meriah, diikuti sekitar 200 peserta dari kalangan sastrawan, seniman, dosen, guru dan mahasiswa. Dekan FBS-UNP, Prof. Dr. M. Zaim, M. Hum dalam sambutan ketika pembukaan mengharapkan agar kegiatan seperti ini hendaknya menjadi agenda rutin Pusat Kajian Humaniora FBS-UNP, yang bermanfaat untuk menggelorakan kegiatan sastra di tengah masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa. Sekretaris Pusat Kajian Humaniora, Prof. Dr. Ermanto, S.Pd., M. Hum menyatakan, selama 16 tahun usia Pusat Kajian Humaniora ini memang belum banyak kegiatannya, tapi ke depan, insya Allah, akan diaktifkan kembali kegiatan-kegiatan sastra dan budaya yang relevan dengan tujuan Pusat Kajian Humaniora ini. Semoga..! (Ditulis oleh Dasril Ahmad) ***