Meski bertubuh kecil dan kurus, namun lelaki pemilik nama Drs. H. Syafrinal (46) ini, di Fakultas Adab (sastra) IAIN Imam Bonjol Padang terkenal memiliki etos kerja yang tinggi. Selain setia menunaikan tugasnya sebagai dosen sastra Arab, sejak 1998 lalu ia pun dipercaya sebagai Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) di lembaga tersebut, yang menuntut ia harus bekerja ekstrakeras setiap harinya demi memajukan jurusan yang dipimpinnya.
Drs. H. Syafrinal yang fasih berbahasa Arab ini adalah putra Nagari Panampuang, Kecamatan IV Angkek Canduang, Agam, kelahiran 20 Januari 1953. Ia menamatkan pendidikan di Jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 1980, dan diangkat sebagai tenaga pengajar tetap di almamaternya itu sejak 1983. Tercatat selama 2 tahun (1996-1998), suami Nurmainis (guru di SD 18 Perumnas Air Tawar Padang) dan ayah tercinta dari 4 orang anak ini, mengikuti pendidikan program Pascasarjana (S-2) di Jurusan BSA (spesialis Sastra Arab Klasik) pada Fakultas Sastra dan Humaniora, Universitas Mohammad V Rabat, Maroko. “Tetapi sayang, karena gangguan kesehatan, pendidikan itu tak bisa saya selesaikan,” tukasnya lirih.
Drs. H. Syafrinal |
Jadilah kini, Syafrinal yang juga pengurus HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) Komda Sumbar periode 1998-2001 ini, menekuni tugasnya, baik sebagai dosen maupun Ketua Jurusan BSA. Menyangkut tugasnya sebagai Ketua Jurusan BSA, dengan gamblang perspektifnya secara menyeluruh diungkapkannya dalam wawancara yang dilakukan di kantornya, Kamis (1/4/1999) lalu. Petikannya:
- Apa tujuan pendidikan di Jurusan BSA Fak. Adab IAIN Imam Bonjol ini?
Tujuannya ada dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum adalah untuk membentuk sarjana muslim yang memiliki kemampuan akademik untuk menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu bahasa dan sastra Arab. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk menerjemahkan karya-karya sastra Arab (dan buku-buku berbahasa Arab lainnya) ke bahasa Indonesia, dan sebaliknya, menerjemahkan karya sastra Indonesia ke bahasa Arab. Di samping itu, mahasiswa dan lulusan BSA ini juga diharapkan terampil berbicara dan menulis tentang perkembangan sastra Arab, dan menulis kritik tentang karya-karya sastra Arab itu sendiri, baik puisi, prosa maupun naskah drama.
- Tapi kenapa sampai sekarang karya terjemahan sastra Arab dan kritiknya itu tak pernah muncul?
Nah, ini pertanyaan yang cukup berat saya jawab. Sungguhpun demikian, mesti saya kemukakan bahwa selama ini kegiatan menerjemahkan karya sastra Arab itu memang belum menonjol dilakukan. Kendala utamanya adalah, buku-buku referensi yang berisi panduan untuk menerjemahkan itu yang sampai kini belum kita miliki. Padahal, buku itulah yang akan difotokopi oleh mahasiswa yang membutuhkannya.
- Bagaimana dengan koleksi buku karya sastra Arab mutakhir?
Termasuk juga buku-buku karya sastra Arab mutakhir itu, sampai sekarang sulit kita peroleh. Malah, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu bahasa dan sastra Arab yang dipakai sekarang umumnya adalah buku-buku terbitan di bawah tahun 1970-an. Padahal, ilmu dan kajian sastra itu terus berkembang dari tahun ke tahun. Tak heran kalau buku-buku yang dipakai itu sudah lusuh, dan malah sudah ada yang menguning warna kertasnya. Nah, sekiranya buku-buku karya sastra Arab mutakhir itu bisa kita peroleh dengan mudah dan teratur, niscaya kegiatan penerjemahan dapat pula berlangsung gencar dan teratur, baik oleh mahasiswa maupun dosen.
- Kenyataan di atas cukup memprihatinkan. Sebagai ketua jurusan BSA, apa upaya Anda untuk mengatasinya?
Kita upayakan secara bersama-sama (mahasiswa dan dosen) untuk mengatasinya. Mahasiswa menyurati teman-temannya yang kuliah di Jakarta dan Yogyakarta untuk mengirimkan buku-buku karya sastra Arab yang mereka perlukan. Sebahagian dosen secara pribadi sejak dulu aktif berlangganan surat kabar dan majalah tentang bahasa dan sastra Arab yang terbit di berbagai negara Arab. Di antaranya adalah Al Adabul-Islami (terbit di Maroko), Al-Faishal (Riyadh), Al Majallah Al-Arabiyah, Al Mujtama’ dan Al Alamul Islami (Arab Saudi).
Akan tetapi, majalah-majalah terbitan Arab Saudi ini terbatas sekali isinya yang menyangkut sastra Arab. Sementara itu, buku-buku dan majalah yang saya bawa dari Maroko dulu juga difotokopi mahasiswsa untuk dimanfaatkannya. Untuk sementara, itulah baru antisipasi yang dapat kita lakukan menjelang adanya solusi terbaik dari pimpinan institusi, karena hal ini pun telah saya sampaikan pada beliau ketika pembukaan diskusi “Geo-Sastra Arab Modern dan Kontemporer” bulan Maret yang lalu.
- Bagaimana dengan minat mahasiswa untuk menerjemahkan itu?
Minat mahasiswa cukup tinggi. Buktinya, tugas-tugas menerjemahkan yang diberikan kepada mereka selalu mereka kerjakan dengan baik. Cuma, seperti saya katakan tadi, buku-buku karya sastra Arab yang akan diterjemahkan itulah yang terbatas jumlahnya. Dalam penulisan skripsi pun tampak bahwa kecenderungan mahasiswa untuk mengkaji karya sastra Arab lebih besar ketimbang mengkaji bahasa Arab.
- Selain menerjemah, mahasiswa juga diharapkan untuk terampil dalam menulis. Adakah bekal khusus yang diberikan pada mereka secara ekstrakurikuler?
Ada. Kegiatan ekstrakurikuler itu di antaranya adalah pelatihan penerjemahan karya sastra Arab (sekali 6 bulan), menerbitkan koran dinding, dan pelatihan menulis esei dan kritik sastra. Juga, lewat lembaga Studio Sastra Arab dan Islam pimpinan Drs. Yulizal Yunus, kita telah melaksanakan kegiatan-kegiatan seperti ceramah, diskusi dan seminar sastra dengan mendatangkan para sastrawan kreatif dari luar kampus.
Kita tentu masih ingat bahwa sastrawan Indonesia kreatif seperti Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, Harris Effendi Thahar, Darman Moenir dan terakhir Hamid Jabbar, telah kita undang untuk memberikan ceramah dan pelatihan menulis sastra kreatif kepada mahasiswa kita yang saat ini berjumlah 125 orang. Untuk masa ke depan, para sastrawan kreatif tersebut (ditambah dengan sejumlah sastrawan kreatif lainnya) tetap akan kita undang ke kampus ini, untuk memberikan bimbingan dan pelatihan kepada mahasiswa BSA dalam bidang penulisan kreatif tersebut. Artinya, jurusan BSA Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang yang saat ini telah mengantongi akreditasi B (diakui) itu, tetap menyuguhkan yang terbaik bagi mahasiswanya, tidak hanya sekarang, tetapi juga di masa datang. Insya Allah. ***
Padang, 3 April 1999
Pewawancara : Dasril Ahmad