Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Suara Hati Dua Penyair

Oleh: Dasril Ahmad

Menarik  mengikuti pandangan A.A. Navis terhadap Zaidin Bakry dalam kata pengantarnya di buku kumpulan karya “Hati Prajurit Zaidin Bakry” (Forum Sastra Wanita Tamening, 1997). Pada paragraf terakhir tulisannya berjudul “Fenomena Zaidin Bakry, Fenomena Zaman” itu, sastrawan dan budayawan ini menulis, “Jika membaca puisi dan fiksi yang ditulisnya dalam buku ini, nyata benar bobot kepeduliannya terhadap bangsanya.Yaitu kepedulian cendekiawan maupun seniman penyair. Rasa harunya yang mendalam kepada kesengsaraan yang dialami manusia. Rasa harunya yang pahit terhadap prajurit yang gugur terlalu cepat yang hanya mendapat kenaikan pangkat satu tingkat, sedang prajurit yang panjang umur dan mati karena usia tua sempat menikmati pangkat kolonel. Justru oleh rasa kepedulian kepada bangsa itu pulalah barangkali, yang menggerakkan Zaidin Bakry muda memasuki lapangan militer. Karirnya sebagai militer dapat mencapat pangkat kolonel. Tapi bakat seninya seperti sastra, melukis, musik dan drama serta bakat intelektualnya tertinggal setengah jadi.” Tampak jelas pandangan satire Navis terhadap Zaidin Bakry, di samping mengapresiasi karya-karya Zaidin Bakry yang ada di buku “Hati Prajurit Zaidin Bakry”, juga secara “halus” ia menyatiri profesi Zaidin sebagai militer dengan pangkat kolonel dikaitkan dengan profesi lain Zaidin Bakry sebagai penyair dan seniman. 

Pandangan Navis demikian mendapat bantahan serius dari kritikus sastra Prof. Dr. Mursal Esten. Dalam diskusi menandai peluncuran buku “Hati Prajurit Zaidin Bakry” itu di aula kantor Gubernur Sumbar, Senin, 14 April 1997, Mursal Esten menyatakan, fenomena Zaidin Bakry bukanlah fenomena zaman,tapi fenomena manusia, fenomena kemanusiaan. Karya-karya beliau adalah karya-karya,  pikiran-pikiran dan ide-ide brilian yang menembus waktu secara artistik. “Menurut hemat saya, tidak begitu relevan untuk menghubungkan Zaidin Bakry sebagai militer dengan pikiran-pikiran beliau. Tidak aneh, militer yang berpikiran cemerlang, yang jadi penyair dan sastrawan. Max Achtur, kata Pak Zaidin, adalah seorang penyair, memenangkan sayembara penulisan puisi. Ada beberapa jenderal terkenal dulunya yang berpikiran demokrat, berpikiran terbuka. Jadi tidak selalu militer harus begini dan begitu, sedang yang lain secara dikotomis berhadapan di seberangnya. Seorang manusia bisa menjadi seorang militer, penuh disiplin. Sementara pada pihak yang lain menjadi seorang penyair, menjadi seorang seniman tanpa harus kedua profesi itu dipertentangkan. Tidak relevan untuk menghubungkan Zaidin Bakry yang militer dengan Zaidin Bakry yang penyair. Sebagai militer itu profesi yang mulia, dan sebagai penyair itu juga profesi yang mulia. Dan saya kira, Zaidin Bakry telah menunaikan profesinya sebagai militer dengan baik sampai terakhir dengan pangkat Kolonel. Dan dia juga sudah menunaikan tugasnya sebagai seorang manusia, sebagai seorang seniman, menulis dan mengemukakan pikiran-pikirannya.”

Pemikiran bernas dari sastrawan dan budayawan A. A. Navis (1924– 2003) dan Mursal Esten (1941-2003) tentang Zaidin Bakry di atas tidak akan pernah kita peroleh kalau saja Forum Sastra Wanita Tamening (FSWT) Sumbar tidak menerbitkan buku kumpulan karya “Hati Prajurit Zaidin Bakry” pada tahun 1997 lalu. Buku ini merupakan buku sastra ketiga diterbitkan FSWT, sejak forum ini didirikan pada tanggal 15 Maret 1995, yang diprakarsai oleh 5 wanita pengarang di Sumatera Barat yaitu, Sastri Yunizarti Bakry, Nita Indrawati Arifin, Free Hearty, Yvonne de Fretes dan Inriani. Dua buku terdahulu diterbitkan FSWT adalah buku Sepilihan Cerita Pendek  “Perempuan dalam Perempuan” (1995) dan “Kumpulan Sajak Berdua” (1996). Buku “Hati Prajurit Zaidin Bakry” diterbitkan dan diluncurkan dalam momen 75 tahun usia Zaidin Bakry. Justru itu, acara ini jadi menarik, apalagi dalam diskusinya tampil sastrawan Korrie Layun Rampan dan kritikus sastra Prof. Dr. Mursal Esten sebagai pembicara.

Saya beruntung  diundang FSWT pada acara diskusi buku “Hati Prajurit Zaidin Bakry” di aula kantor Gubernur Sumbar waktu itu. Dikatakan beruntung karena dengan acara tersebut saya memiliki buku puisi Zaidin Bakry sekaligus mempunyai catatan lengkap pembicaraan Korrie Layun Rampan dan Mursal Esten dalam diskusi itu, yang sampai sekarang masih saya simpan. Justru itulah, meski telah 18 tahun berlalu, diskusi sastra yang menurut saya penting ini tidak akan terlupakan. Betapa tidak, sejak tahun 1976 saat mulai aktif menulis esei-esei sastra di koran, saya telah mengetahui bahwa Zaidin Bakry adalah prajurit ABRI yang juga seniman. Ia menulis puisi, cerpen, naskah drama dan juga bermain drama. Namun saat itu saya belum menemukan karya-karya beliau, termasuk puisi. Meski diketahui kalau puisi-puisi  Zaidin Bakry diterbitkan dalam antologi “Monumen Safari” (Genta, 1966) bersama puisi Chairul Harun, Rusli Marzuki Saria dan Leon Agusta, namun sampai kini pun saya belum pernah menemukan buku antologi itu. Tapi syukurlah, beberapa kali saya menemukan puisi-puisi Zaidin Bakry dimuat di ruang budaya harian Haluan, termasuk 2 puisi berjudul “Balada Nostalgia” dan “Desi, Oh! Desiku yang Sepi” (BMI Haluan, Senin, 19 Agustus 1975, halaman VII), yang kliping korannya masih saya simpan sampai sekarang. Puisi “Desi, Oh! Desiku yang Sepi” menurut saya termasuk puisi Zaidin Bakry yang bagus, di samping puisi “Merapi”, “Hati Prajurit” dan “Warna-Warni Hari, Kasih” yang ada dalam buku “Hati Prajurit Zaidin Bakry” tersebut.
                                          ***
PANDANGAN Navis dan Mursal seperti di atas merupakan penilaian wajar dan objektif dalam melihat eksistensi Zaidin Bakry dari aspek berbeda. Navis menginginkan agar Zaidin Bakry fokus di bidang sastra dan melepaskan dunia militer, sedangkan Mursal melihat tak perlu dipertentangkan antara profesi penyair dengan militer, karena keduanya adalah profesi yang mulia. Bagi saya, kedua tokoh ini merupakan tokoh hebat, panutan, dengan pikiran-pikirannya yang brilian, tak kurang hebatnya dengan Zaidin Bakry. Di awal tahun 1990-an dulu, beberapa kali saya mewawancarai A.A. Navis tentang masalah sastra untuk dimuat di ruang budaya harian Haluan. Pada setiap wawancara, beliau selalu mengingatkan, “Kalau tidak bisa memperbaiki dunia, janganlah tambah merusaknya.” Itulah sepotong nasihat Navis yang sampai kini masih segar di ingatan saya.

Sejalan dengan pandangan Navis dan Mursal, saat ini kita melihat Zaidin Bakry yang lahir di Kuraitaji, Pariaman, pada 4 Januari 1922 ini adalah figur hebat yang kiprahnya fenomenal di berbagai bidang; sastra,militer, politik, pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. Di bidang sastra, beliau termasuk seorang dari sedikit sastrawan Indonesia yang militer, di samping sastrawan lainnya, di antaranya; Toha Mochtar, Trisnoyuwono, Pramoedya Ananta Toer, Toto Sudarto Bachtiar. Idrus Ismail dan Nugroho Notosusanto. Bidang pemerintahan, politik dan sosial kemasyarakatan digeluti Zaidin Bakry setelah beliau pensiun dari militer dengan pangkat kolonel. Di masa purnatugas sebagai militer itulah, Zaidin Bakry aktif di lembaga pemerintahan, politik dan sosial kemasyarakatan, di antaranya: staf ahli Bappeda Sumbar bidang budaya (1973 –1977), anggota DPRD Sumbar selama tiga periode (1977-1992), Ketua Dewan Harian Daerah Angkatan ’45 Sumbar (1966 –1980), dan Kasmada Hansip Sumbar (1968 –1972). Di samping itu, Zaidin Bakry juga aktif menulis artikel tentang sejarah, agama, adat dan budaya. Beberapa kali beliau tampil sebagai pembicara di berbagai seminar tentang sejarah, agama, adat dan kebudayaan tersebut di berbagai tempat. Navis menilai, setelah Zaidin Bakry tidak lagi aktif sebagai militer karena pensiun dengan pangkat kolonel, kualitas intelektualnya kian menjadi jelas di kala menghadiri berbagai diskusi. Dengan kualitas intelektual yang tinggi, Zaidin Bakry pada waktu itu tampil sebagai tokoh sukses, hebat dan tentu saja dikagumi.
suara hari dua penyair
Kumpulan puisi
Ironisnya, meski Zaidin Bakry saat itu sukses dan dinilai hebat, namun kehebatan beliau tidak serta-merta mendatangkan kebanggaan bagi keluarga, karena masih ada di antara anak beliau yang merasa “gamang” dan khawatir di balik kesuksesan dan kehebatan Papanya itu. Terkesan merendah, putri beliau Free Hearty (Bundo Free) misalnya, mengakui, “Bagi Uni, Papa Zaidin Bakry begitu besar dan hebat, sehingga merasa khawatir bahkan untuk memakai nama beliau di belakang nama Uni, takut berat ke belakang nanti, hehe. Itu alasannya yang Uni jawab ketika beliau tanya kenapa tidak memakai nama beliau di belakang nama Uni, seperti saudara-saudara yang lain. Namun saat pelantikan Uni jadi Doktor Sastra Budaya seperti yang dicitakan beliau, Papa berbisik, sekarang kamu sudah bisa pakai nama Papa di belakang namamu kan?” Hal itu diungkapkan Free Hearty mengomentari postingan saya “Pembicaraan Korrie Layun Rampan terhadap Kumpulan Karya ‘Hati Prajurit Zaidin Bakry’, di media sosial facebook, Selasa, 7 Oktober 2014 lalu. 

Beda dengan Free Hearty, adiknya, penyair Sastri Bakry malah mengaku sengaja memakai nama Bakry di belakang namanya karena menuruti amanah Papanya itu. “...hanya saya sendiri yang memakai nama belakang Bakry di belakang nama, karena sesuai dengan amanah Papa yang berharap saya mengikuti jejak beliau di bidang politik, seni budaya dan pemerintahan, dan saya memang mengikuti jejak beliau. Saya terpilih menjadi anggota DPRD Sumatera Barat periode 1997 – 1999 pun saya yakini karena kebesaran nama beliau. Walau tak sehebat beliau, saya tetap akan mempraktikkan ilmu yang beliau amanahkan kepada kami; sederhana, jujur, dan tidak memakan hak orang lain (korupsi). Nama besar beliau adalah doa bagi saya. Insya Allah,” tulis Sastri Bakry dalam komennya masih di postingan dan media sosial yang sama.

Tampaknya, profesi Sastri Bakry yang lahir 20 Juni 1958 ini benar-benar mengikuti jejak Papanya, yakni di lembaga legislatif, pemerintahan, seni-budaya dan organisasi kemasyarakatan. Selain menulis sajak, cerpen dan novel, ia juga seorang penyanyi. Sajak-sajaknya telah banyak diterbitkan dalam berbagai buku antologi, dan buku puisi tunggalnya adalah “Sastra Sastri dalam Puisi” (Fam Publishing, 2013). Dua novel karyanya adalah “Kekuatan Cinta” (Jendela, 2009), dan “Hatinya Tertinggal di Gaza” (Grasindo, 2011). Namun, karena panggilan jiwa seni dalam dirinya, kegiatan-kegiatan di organisasi kemasyarakatan pun terkadang diarahkannya ke seni-budaya. Seperti halnya ketika ia menjadi Ketua Himpunan Wanita Karya (HWK) Sumbar, wanita energik ini menggelar acara spektakuler “Gelar Baca Puisi 20 Tokoh Wanita Sumatera Barat” di sebuah hotel berbintang di Padang pada tgl. 12 April 1997. Dalam acara ini, Sastri Bakry mengajak tokoh-tokoh wanita, pejabat pemerintahan, seniman dan budayawan di Sumatera Barat untuk membaca puisi. “Dunia puitika semestinya tak cuma milik para penyair. Kita semua sebelumnya telah melarutkan diri jauh ke dalamnya, dan itu hampir berlangsung sepanjang rentang usia kita masing-masing. Keseharian yang kita jalani adalah puisi itu sendiri. Gagasan, rencana, harapan dan aktivitas yang kita perankan, bahkan nilai-nilai dan empati yang kita sikapi, merupakan manifestasi langsung dari penjelajahan puitika yang sesungguhnya”, kata Sastri Bakry dalam sambutannya ketika pembukaan acara.

Dengan seabrek kegiatannya itu pula, tak heran kalau Gamawan Fauzi (waktu itu Gubernur Sumbar) dalam endorsment novel “Kekuatan Cinta” (Jendela, 2009) menulis, “Sastri Bakry wanita cerdas dan kreatif, penuh dengan gagasan dan imajinatif, tak ingin menyia-nyiakan waktu, selalu berkarya dan berbuat. Adakalanya kita menemukan Sastri dalam banyak kegiatan, bukan hanya sebagai kepala Bawasda kota, tapi sebagai seniman tarik suara, sastra, kerjasama internasional, berbagai kegiatan perempuan, dan banyak lainnya. Ada baiknya Sastri mendalami satu di antara banyak kiprahnya agar lebih fokus dan terukur kemajuannya, apalagi waktu akan membatasi setiap orang untuk menjadi segalanya”.

                                          ***
KITA mengapresiasi upaya menerbitkan buku antologi puisi karya Zaidin Bakry dan anaknya Sastri Bakry yang berjudul “Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati” ini. Betapa tidak, keinginan untuk menerbitkan buku antologi puisi, merupakan keinginan luhur dan mulia setiap penyair, yang dapat dipandang sebagai upaya kongkrit dan kreatif untuk mendokumentasikan puisi-puisinya yang boleh jadi selama ini telah dipublikasikan di berbagai media atau malah lama mendekam di laci meja. Ke arah pendokumentasian puisi inilah, sepertinya penyair ingin memelihara secara apik dan telaten semua ekspresi dari pengalaman intuitifnya tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang diungkapkan secara imajinatif dan artistik ke dalam puisi. Dalam hal ini Sastri Bakry menyatakan, “Saya hanya ingin berpuisi dari hati dan pikiran saya. Tentang cinta, tentang bencana, tentang korupsi, tentang kemunafikan, tentang kesombongan, tentang kekuasaan, tentang kezaliman, tentang perjuangan, tentang kemiskinan, dan tentang apa saja yang saya rasakan, terutama ketika berpikir tentang hari akhir.” (Sastra Sastri dalam Puisi, 2013: 8).  

Membaca puisi Zaidin Bakry dan Sastri Bakry dalam buku ini, kita jadi sependapat dengan sastrawan Subagio Sastrowardoyo, bahwa penyair bersuara dalam sajak. Ia ingin membayangkan dirinya di dalam kata-kata. Ia tidak puas sebelum dirinya terucapkan dengan sepenuhnya di dalam sajak. Karena itu ia ingin tak putus-putusnya menulis sajak. Karya-karya yang terserak di dalam majalah atau kumpulan sajak merupakan persaksian pengalaman-pengalaman, terutama pengalaman batinnya, yang mengacu pribadinya. (Sosok Pribadi dalam Sajak, 1980, 7) Begitulah, puisi-puisi Zaidin Bakry dan Sastri Bakry dalam buku “Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati” ini lebih merupakan ungkapan suara hati dari pengalaman intuitif, sebagai respon pribadi penyairnya terhadap berbagai hal yang dipahami dan dihayati dengan sepenuh hati di dan dari negerinya. Meski dibatasi waktu dan ruang kreativitas yang berbeda, namun ungkapan suara hati dua penyair ini tak terbendung menggema di dan untuk bangsanya yang (sepertinya) kini sudah hidup di negeri tanpa hati. Menarik, ungkapan hati Sastri Bakry dalam sebait puisinya “Negeri Tanpa Hati” berikut: “Perlahan...suatu saat bom itu akan meledak jua/ Di tengah kecamuk negeri tanpa hati/ Yang berpikir selamat karena bersama bukan karena kebenaran/ Padahal itu hanya kebenaran yang kebetulan” *** (Padang, 16 Maret 2015).

*) Esei yang ditulis Dasril Ahmad, kata pengantar penerbitan buku puisi “Hati Prajurit di Negeri Tanpa Hati” karya Zaidin Bakry dan Sastri Bakry (FAM Publishing, Pare, Kediri, Cet. I, April 2015, 206 halaman).

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar