SELAIN guru bahasa Indonesia, Drs. Indra Jaya Nauman sejak tahun 1986 adalah Instruktur Pemantapan Kerja Guru (PKG) Pengajaran Bahasa (dan Sastra) Indonesia di Sumatera Barat. Dengan jabatan itu, tahun 1992 putera Lubuk Basung, Agam, kelahiran 4 Mei 1958 ini berkunjung ke Australia, untuk melihat langsung pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra bagi siswa sekolah menengah selama 3 bulan di negeri Kanguru itu. Sementara profesi guru bagi alumnus D-3 FPBS IKIP Padang (1980) dan S-1 Universitas Terbuka (1989) ini dimulainya di SMP Negeri 2 Sungai Limau, Kab. Padang Pariaman (1980-1985), kemudian di SMP Negeri 19 Bungus, Teluk Kabung, Padang (1986-1990), dan di SLTP Negeri 1 Padang (1990- kini).
Peraih juara III nasional lomba menulis esei sastra diadakan Pusat Bahasa (1993) dan juara III nasional lomba menulis buku bacaan nonfiksi SLTP (1995) ini, ternyata juga menulis sejumlah buku ajar bahasa Indonesia. Di antaranya adalah buku “Mari Berbahasa Indonesia” (untuk SLTP) dan “Mahir Berbahasa Indonesia” (SMU) yang diterbitkan Erlangga, Jakarta, serta buku “Cermat Berbahasa Indonesia” (SLTP dan SMU) diterbitkan Usaha Ikhlas, Bukittinggi.
Indra Jaya Nauman |
Itulah sebabnya, berbincang tentang pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan ayah 3 anak dari pasangan hidupnya Desmawarti (guru SLTP Negeri 4 Padang) ini, menjadi amat menarik, seperti yang dilakukan di SLTPN 1 Padang, Rabu (5/11/1997) lalu. Petikan selengkapnya.
Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah masyarakat sampai kini masih dipersoalkan. Apakah hal ini akibat kurang berhasilnya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah?
Saya kira tidak sepenuhnya hal itu disebabkan oleh berhasil-tidaknya pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Pengajaran bahasa mungkin dikatakan berhasil kalau ukurannya adalah perolehan nilai anak didik itu bagus. Akan tetapi, ukuran ini sangatlah relatif kalau dikaitkan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di tengah masyarakat. Apalagi dewasa ini kelihatan dominan bahwa kepedulian masyarakat terhadap bahasa Indonesia semakin berkurang. Mungkin saja hal ini timbul karena masyarakat kita terlalu berpandangan materialistik, sedangkan cermat berbahasa Indonesia belum menentukan ke arah pencapaian pandangan yang demikian.
Bagaimana pengajaran sastra dikaitkan dengan upaya peningkatan apresiasi sastra para siswa?
Memang harus kita akui bahwa pengajaran sastra di sekolah dewasa ini belum berhasil meningkatkan kemampuan apresiasi sastra para siswa. Tetapi pengajaran sastra itu tak harus selalu dinilai gagal. Dalam hal ini, kita juga harus melihat bahwa sebenarnya tenaga ahli tentang pengajaran sastra Indonesia itu dewasa ini (khususnya di Sumatera Barat) boleh dikatakan belum ada.
Apakah kondisi ini juga disebabkan karena kurikulum?
Kaitannya jelas ada. Kalau kita lihat, kurikulum pengajaran sastra tahun 1970-an dulu menjurus ke pengenalan sejarah sastra, sehingga produknya adalah orang-orang yang tahu tentang sejarah sastra, sementara sikapnya sendiri terhadap sastra belum terbentuk. Kemudian pada kurikulum tahun 1980-an menjurus ke pengenalan teori dan struktur karya sastra. Dalam hal ini, siswa diperkenalkan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri, seperti; tema, amanat, gaya bahasa, alur dan lain sebagainya, termasuk pengertian-pengertian dari unsur-unsur tersebut.
Nah, barulah pada kurikulum 1994 yang berlaku sekarang mulai dicanangkan pengajaran sastra yang apresiatif. Sesuai dengan tujuannya yaitu untuk menumbuhkan apresiasi sastra di kalangan siswa, maka dalam kurikulum ini telah hilang bau-bau kesejarahan dan pengertian-pengertian serta teori sastra. Kurikulum ini telah mulai menjurus ke upaya mengapresiasikan karya sastra. Tapi bagi saya hal itu sama saja dengan “Rumah Tampak Jalan Tak Tentu”. Maksudnya, tujuan sudah jelas, tapi bagaimana mewujudkannya?
Kendalanya?
Iya, sampai kini belum ada dikembangkan metodologi pengajaran sastra itu, sehingga pengajaran sastra di kelas kembali “lari” ke masalah sejarah dan teori serta struktur (mencari tema dan amanat). Artinya, kadar apresiasi dengan sendirinya menjadi rendah. Padahal, kalau bicara tentang metodologi pengajaran sastra itu tak terlepas dari apa yang akan diajarkan, bagaimana mengajarkannya dan bagaimana mengevaluasinya.
Begitu juga, sampai kini sastra masih dianggap sebagai bahagian dari pengajaran bahasa –yang dilaksanakan sebagai bagian yang integral dalam pengajaran bahasa--, sehingga bentuknya lebih mengarah pada keterampilan pengajaran bahasa saja. Hal ini merupakan suatu kendala yang berarti. Apalagi dalam pengujian di EBTANAS, soal-soal untuk sastra itu masih berpijak pada sejarah dan pengetahuan secara umum, yang terkait langsung dalam soal-soal bahasa Indonesia. Sebenarnya, kalau tuntutannya adalah apresiasi, yakni anak-didik bisa merespon tentang persoalan masyarakat dari karya sastra yang dibacanya, maka pengujiannya haruslah mengarah kepada sikap, tidak secara kognitif, seperti apa yang dilakukan selama ini. Pengujian mengarah pada sikap itu sesungguhnya agak susah kalau dilakukan secara tertulis.
Kalau begitu, Anda ingin agar kurukulum 1994 ditinjau lagi?
Setidaknya begitulah. Khusus untuk pengajaran sastra, kurikulum 1994 itu perlu disempurnakan lagi. Pengajaran sastra hendaklah dipisahkan dari pengajaran bahasa Indonesia. Karena sebaiknya pengajaran sastra itu harus berdiri sendiri. Jadi di dalam kelas sastra itu lebih mengarah kepada pengajaran berbentuk semacam diskusi atau bengkel sastra, yang memberi peluang besar kepada anak didik untuk merespon, menanggapi, menelaah dan menilai sebuah karya sastra yang dibacanya. Dalam bengkel ini, mereka tidak usah lagi dijejali dengan pengetahuan, sejarah, teori dan struktur karya sastra, tapi lebih dititikberatkan pada aspek pemahaman, analisis dan responsif dari karya sastra tersebut.
Seperti yang saya saksikan di Australia. Para siswa di sana disuruh membaca novel-novel klasik, kemudian mereka disuruh untuk menampilkan adegan yang ditemui dalam novel tersebut, sesuai dengan bakat yang mereka miliki. Maka, ada mereka yang menampilkan adegan itu dalam bentuk anekdot, lukisan, nyanyi dan sebagainya. Ini memperlihatkan bahwa mereka betul-betul tekun membaca dan memahami karya sastra itu, sehingga mampu menampilkan persoalan yang diungkapkan dengan cara mereka sendiri, sebagai salah satu wujud apresiasi sastra mereka.
Memang, metodologi pengajaran sastra seperti ini bisa lebih dinamis, santai, tanpa ada beban mengejar nilai EBTANAS. Maksud saya, dengan metodologi itu, soal sastra tak usah dimunculkan lagi dalam EBTANAS –karena biasanya selama ini soal-soal sastra itu hanya berputar tentang sejarah dan pengetahuan saja--, tapi nilainya diambil dari ujian apresiasi sehari-hari, termasuk tugas yang diberikan. Maka, soal yang muncul dalam EBTANAS itu nanti cukup hanya soal bahasa Indonesia saja.
Bukankah dengan demikian nanti pelajaran sastra bisa dipandang tak penting lagi?
Kalau dikelola dengan baik, saya yakin, pelajaran sastra tidak akan disepelekan. Sebab, ukurannya bukan masalah penting atau tidaknya, melainkan adalah masalah disenangi atau tidak. Nah, kalau pelajaran sastra itu disenangi, tentu peminatnya akan ramai.
Menurut Anda, bagaimana upaya agar metodologi itu bisa dimasukkan dalam kurikulum?
Saya rasa, memang, sudah saatnya metodologi pengajaran sastra semacam itu masuk dalam kurikulum mendatang. Salah satu upayanya, misalnya, kita harapkan agar HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia) mau merekomendasikannya kepada tim perekaya kurikulum Depdikbud RI. Semoga..!***
Padang, 5 Nopember 1997, Pewawancara : Dasril Ahmad
*) Dari “Budaya Minggu Ini” Harian Haluan, Padang, Selasa, 16 Desember 1997