Catatan Dasril Ahmad
Membaca kembali catatan kebudayaan berjudul “Bahasa-Bahasa Indonesia” ditulis oleh Sapardi Djoko Damono dalam majalah sastra HORISON No. 10 Tahun 1982 sangatlah menarik. Betapa tidak, dalam tulisan ini Sapardi selintas mengungkapkan tentang pengaruh Sumpah Pemuda terhadap penggunaan Bahasa Indonesia di dunia sastra dan kecenderungan sikap penerbit terhadap bahasa dari buku-buku sastra yang akan diterbitkannya. Dalam tiga paragraf akhir dari tulisan sepanjang 2 halaman itu, Sapardi menyatakan sebagai berikut:
“Sesudah perang, setelah Balai Pustaka (BP) menjadi milik Republik kita, ternyata ada perubahan cukup jelas dalam sikap penerbit itu terhadap bahasa. Kalau sebelum perang kita bisa mengatakan ada Bahasa Melayu BP, sulit untuk membuktikan bahwa sesudah perang pun ada Bahasa Indonesia BP. Yang ada, misalnya, Bahasa Indonesia kesunda-sundaan dalam Atheis karya Achadiat atau Bahasa Indonesia kejawa-jawaan dalam beberapa karya Pramoedya Ananta Toer. Dan semakin “tua” bahasa kita ini, semakin menjadi baku dan sekaligus menjadi kaya ragamnya. Ada badan pemerintah yang bertugas menyebarluaskan pembakuan bahasa, antara lain lewat televisi; namun tak habis-habisnya juga usaha anak-anak muda di kampus-kampus dan sekolah-sekolah untuk menciptakan bahasa mereka sendiri, prokem atau apalah namanya, yang tentunya juga tercakup dalam Bahasa Indonesia seperti halnya bahasa-bahasa yang dipakai di pasar, di MPR, di seminar ilmiah, di tempat tidur, dan di dalam syair lagu populer. Semuanya Bahasa Indonesia, bahasa yang diacu oleh keputusan Kongres Pemuda tahun 1928 itu.”
Sapardi Djoko Damono |
“Anjuran untuk selalu mempergunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar ada gunanya dituruti, termasuk oleh pengarang. Kalau di pasar jangan mempergunakan bahasa seminar, kalau di MPR jangan menggunakan bahasa prokem. Kalau menulis? Gunakanlah bahasa Indonesia yang mana saja yang bisa berfungsi sebaik-baiknya sebagai amanat, nasihat, citra, gambaran situasi, watak, dan sebagainya. Nilai karya sastra antara lain terletak pada berfungsi atau tidaknya bahasa yang dipilih pengarang: kalau fungsinya rendah, suatu karya sastra bisa terasa kenes atau menjengkelkan atau tak keruan ujung pangkalnya. Masalah yang dihadapi oleh karya-karya Yudhistira ANM Masardi, Teguh Esha, Y.B. Mangunwijaya, dan Linus Suryadi AG, misalnya, dari satu segi terletak pada berfungsi atau tidaknya bahasa yang telah dipilihnya.”
“Dan memang masalah pengarang adalah memilih: Bahasa Indonesia hanya satu, tetapi banyak. Tidak ada satu pun di antara yang banyak itu yang paling benar dan baik, namun kita diharapkan mempergunakannya dengan benar dan baik.” (Oktober 1982. Sapardi Djoko Damono) *