Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Berkaca Bayang-Bayang

Oleh : Dasril Ahmad

MENGAKUI kekurangan diri sendiri lebih terpuji dari pada memuji keberhasilan diri kita sendiri juga. Tetapi menyadari kecurangan diri sendiri lebih susah dari pada menyadari diri kita ini bersih. Adalah seorang mubaligh berkata, jarang orang curang bicara tentang kecurangan(nya), jarang pula manusia bersih menyebut tentang kebersihan(nya) dalam hidup ini. Kita semua sama-sama mahfum akan hal itu. Mana pula seorang maling berani menyatakan dirinya berbuat salah terhadap orang lain. Mana pula seorang baik berterang-terang menyatakan dirinya selalu bersih. Itu mustahil, kata bung dulu. 

Tetapi, sajak-sajak tidak demikian. Perhatian penyair nyaris setimpal. Yang baik diusahakan senantiasa ditulis baik, yang buruk pun demikian. Nantilah dulu, apakah si penyair itu sendiri masuk dalam  kelompok yang mana. Sajak-sajak lebih memberikan interest kepada realitas yang hidup dan berkembang dalam kehidupan manusia secara merata dan universal.  Penyair pada gilirannya berdiri sebagai pengamat, yang mengamati dinamika sosial dalam segala aspeknya, kemudian dengan kemampuan estetika mengungkapkan hasil pengamatannya itu lewat sajak. Tetapi secara imajinatif, penyair pun sanggup membuat realitas itu tumpang-tindih,jungkir-balik, yang bila disimak kemudian akan terasa juga benarnya. Yang buruk dinyatakan baik, begitu pula sebaliknya. Ini semata dimaksudkan bahwa dalam sebuah persoalan selalu terbuka kemungkinan untuk diberikan beragam  penafsiran kelak. Sastra, kata bung lagi, selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan untuk penafsiran tersebut.

bayang-bayang diri
Berkaca pada bayang-bayang
Untuk tidak mengundang kerumitan, sering penyair berani mengacai bayang-bayangnya sendiri. Timbul godaan, apakah bayang-bayang masih cukup kuat untuk membayangkan diri sendiri? Tetapi bayang-bayang juga tak konsisten. Ia gampang berubah menuruti perputaran waktu. Waktulah kini yang jadi penentu cermin tempat kita mengaca. Di situ ada canda, ada keceriaan, kebahagiaan dan juga ada dusta dan kumuraman. Di langit pun ada bulan dan bintang-gemintang yang senantiasa menyinari hidup kita. Tapi bagaimana pula wujudnya bila ia tertutup awan? Itu kan fenomena alam, katamu sekali waktu. Maka, penyair pun kembali berpaling dan akrab dengan alam. Alam itulah kini tempat penyair mengacai dirinya. Juga mengacai bayang-bayangnya dirinya sendiri. 

Tetapi tidak cuma dalam rangkuman keromantisan alam. Sajak-sajak terkadang juga berontak terhadap keculasan. Benih-benih kecurangan dan ketidakadilan pun menyentuh kalbu sebuah sajak. Sajak-sajak demikian biasanya disebut orang dengan sajak protes. Ia bisa memprotes lingkungan di luar diri penyair, tapi acap pula protes itu ditujukan ke dalam diri penyair sendiri. Demikianlah, penyair kini memprotes dirinya sendiri; bayang-bayang dirinya sendiri. Maka, tak dapat tidak penyair kini kembali ajukan protes terhadap sosok bayang-bayang dirinya sendiri, sebagai anggota sosial masyarakat di lingkungan hidupnya. 

Ketika menghadapi sajak-sajak yang diturunkan minggu ini, masing-masingnya “Keberanian” karya Henri Joni, “Di Mana”  karya Yuhendrison dan “Diam” karya Tini, persoalan yang dinukilkan di atas kembali berada di pelupuk mata kita. Kita diajak untuk memahami segi-segi kehidupan yang meski sudah lumrah, tapi di tangan penyair-penyair kita ini jadi bernuansa kembali. Ada keraguan, kecemasan dan kerinduan dalam sajak-sajak mereka. Tetapi yang menarik adalah gaya pengungkapan mereka yang sederhana, penuh metafora dan simbolisasi yang memberi keleluasaan bagi pemahaman kita. (Padang, 18 September 1991).

*). Esei  “Pengantar Sajak”  (Dari Koleksi Tulisan Lama). Dimuat “RMI” Haluan Minggu, 10 Nopember 1991. 

Sajak-Sajak “Remaja Minggu Ini”, Haluan Minggu, 10 Nopember 1991
keberanian
/henri joni
maka aku pun ingin lebih berani
daripada bayang-bayangku yang meha hebat ini
sebelum bayang-bayangku itu sendiri
menjadi bayang-bayang yang sebenarnya
                                               
Juli ‘91

di mana
/yuhendrison

Di mana canda itu..
Kau simpan dikeruk hatimu
Di mana ceria kita..
ditutupi kelopak mata sendu
Di mana bahagia itu..
Terkucil di antara kalem dan bisu
hatimu
Awan kelabu basah bersama bulan
nan suram
Di malam kelam

Maret 1991


diam
/ tini
Diam..!
Mengapa harus diam
sedangkan tikus-tikus menggerogoti
sampah-sampah yang elit.

Bakteri-bakteri dan hama mengeluh
Karena jatah untuk memenuhi kebutuhan
semua dirangkuh oleh tikus-tikus rakus
yang bertampang tak berdosa dan jujur

Diam..!
Aku akan diam jika engkau akan adil
Aku akan diam jika engkau jujur
Aku akan diam jika engkau mendengar keluhanku
Aku akan diam jika engkau memperhatikanku
Aku akan diam jikaengkau tidak memandang hinaku
Aku akan diam jika engkau tidak membeda-bedakanku

Diam..!
Diam dan diam jika engkau mendengar keluhanku
Jeritanku !
Tangisku !
Suara hatiku yang dahaga

Pasaman, 1991

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar