Oleh :Dasril Ahmad
Tulisan ini sama sekali tak berpretensi terhadap pesta demokrasi Pemilihan Kepada Daerah (PILKADA) kota Padang, Oktober2013 mendatang, dan juga tidak ada maksud agar walikota Padang terpilih nantinya haruslah orang yang pandai membaca puisi dan/atau mempunyai apresiasi yang baik terhadap sastra. Akan tetapi tulisan ini saya tulis semata untuk mengungkapkan (sekaligus mengenang) kembali peristiwa masa lalu (yang mungkin berguna untuk masa kini dan masa mendatang) bahwa di tahun 1990-an dulu, pada peringatan Hari Jadi Kota Padang (7 Agustus),dalam pidato resminya di depan anggota legislatif, walikota Padang selalu membacakan puisi (tentang kota Padang) karya penyair urang awak sendiri. Kemudian, untuk lebih menyemarakkan peringatan Hari Jadi Kota Padang tersebut, diselenggarakan pula lomba baca puisi untuk umum, pada malam hari, di halaman depan kantor Balaikota Padang.
Bolehlah disebut kehidupan berkesenian di kota Padang tatkala kota ini dipimpin oleh walikota H. SyahrulUdjud, SH (1983 – 1993) relatif kondusif dan semarak. Walikota yang terkenal merakyat atau dekat dengan rakyat tanpa pandang status itu, ternyata punya perhatian dan apresiasi yang baik terhadap kesenian. Ia tidak hanya membina dan mengembangkan kehidupan berkesenian di kota Padang lewat kebijakan di belakang meja, tetapi juga kerap berkunjung ke Taman Budaya Padang (meskipun tidak kunjungan resmi) untuk bersilaturrahmi /berdialog dengan para seniman, yang biasanya diakhiri dengan kebiasaannya “menepuk-nepuk” bahu si seniman, pertanda keakraban beliau dengan para seniman tersebut di sana.
Walikota energik ini ternyata juga punya apresiasi baik terhadap sastra, khususnya puisi. Dalam even resmi seperti peringatan Hari Jadi Kota Padang, ia selalu mengakhiri pidato resminya dengan pembacaan puisi, yakni puisi yang mengungkapkan sosok kota Padang karya penyair urang awak juga, seperti Leon Agusta dan Rusli Marzuki Saria. Saya masih ingat, dalam rangkaian acara peringatan Hari Jadi Kota Padang ke-323 tahun 1992 lalu, walikota Syahrul Udjud menyampaikan dua kali pidato resmi. Pertama, pidato resmi yang disiarkan lewat RRI Padang pada Kamis (6/8/1992) pukul 17.40 Wib, seusai siaran warta berita daerah (yang kemudian disiarkan ulang lewat pemancar yang sama besok paginya pukul 06.40 Wib, masih seusai warta berita daerah). Kedua, pidato resmi pada upacara peringatan Hari Jadi Kota Padang ke-323 itu sendiri, yang disampaikan Jumat (7/8/1992) pagi di Gedung Pertemuan Bagindo Azizchan, Padang.
Saya, waktu itu, tak hanya sekadarmendengarkan pidato dan pembacaan puisi walikota itu lewat radio, tetapi juga menyimak serius dan malah merekam-utuh isi pidato dan puisi yang beliau bacakan itu. Ternyata walikota Syahrul Udjud juga “pintar” (dalam tanda petik) baca puisi dengan vokal yang baik pula. Entahlah, bagaimana ekspresi dan penampilan beliau waktu itu ketika membacakan puisi tersebut di depan anggota legislatif kota Padang. Inilah petikan bagian akhir pidato dan sebait puisi “Padang Kota Tercinta” karya Leon Agusta, yang dibacakan walikota Syahrul Udjud saat itu.
“Akhirnya sebagai penutup,izinkanlah kami merilis cuplikan sajak yang ditulis saudara Leon Agusta beberapa waktu lalu yang mengungkapkan cinta kasihnya terhadap kota Padang; Padang Kota Tercinta, menjelang dewasalah engkau sayangku/ cintaku pada kembara telah kupautkan di jantungmu/ Di sini aku berburu, mengejar keindahan abadi/ Dalam kepaduan warna-warni antara sedih dan setia/Antara mutiara pikiran-pikiran generasi muda/ Dengan air mata orang tua-tua/ yang tengadah dari kursi goyangnya/ Takjub, menyelami dunia ini melangkah ke mana? Dirgahayu Padang Kota Tercinta. Semoga Tuhan memberikan berkah dan rahmat-Nya bagi kita semua. Amin”.
Jarang ditemui seorang walikota pada pidato resminya saat peringatan hari jadi kota di depan anggota legislatif langsung membacakan puisi yang berisikan kecintaan terhadap kota yang dipimpinnya. Akan lain halnya kalau puisi itu dibacakan oleh seorang pelajar, atau seorang pembaca puisi terbaik di kota Padang, yang memang sudah tak asing lagi kita saksikan. Hal ini memperlihatkan bahwa ternyata puisi memang berguna, tak hanya bagi semaraknya dunia kesenian dan kebudayaan, tetapi juga dalam kegiatan-kegiatan formal di lembaga pemerintahan. Penyair Rusli Marzuki Saria pun suatu kali pernah mengungkapkan pengalamannya bahwa puisi mampu menenangkan suasana yang sedang bergejolak. “Waktu saya jadi anggota DPRD Padang dulu, aksi demonstrasi mahasiswa selalu saya lawan dengan membacakan puisi, yang tak disangka kemudian bisa menenangkan suasana. Jadi baca puisi itu mampu menenteramkan suasana yang tengah bergejolak” katanya.
Memasyarakatkan Puisi
Pada tiga tahun terakhir (1991 –1993) masa jabatan walikota Syahrul Udjud, untuk memeriahkan Hari Jadi Kota Padang selalu digelar Lomba Baca Puisi untuk umum yang diadakan malam hari di halaman depan kantor Balaikota Padang. Gerakan walikota Syahrul Udjud ini, dinilai sebagai sebuah gerakan positif, terutama dalam upaya memasyarakatkan puisi di tengah kehidupan masyarakat di kota Padang. Ternyata pelaksanaan lomba baca puisi ini disambut antusias sebagian besar masyarakat untuk menyaksikannya. Meski dilaksanakan malam hari, namun pengunjung/penonton yang datang membludak, memadati halaman sampai ke trotoar jalanraya di depan kantor Balaikota di Jalan M. Yamin, Padang tersebut.
Kegiatan lomba baca puisi (untuk umum) pertama di halaman kantor Balai Kota Padang ini diadakan tgl. 9 dan 10 Agustus 1991. Lomba dalam rangka memeriahkan Hari Jadi Kota Padang ke-322 dan HUT RI ke 46 ini, memperebutkan tropi bergilir, tropi tetap, piagam dan sejumlah tabanas, diikuti peserta membludak sampai 100 orang (dari pelajar, mahasiswa, sampai PNS Balaikota sendiri). Masyarakat pun ramai antusias menyaksikannya, meskipun harus berkelahi melawan dinginnya udara malam yang mengelitik kulit. “Jumlah peserta bisa membludak sampai 500 orang, kalau kami tidak membatasinya,” kata ketua panitia Drs. Mafri Amir waktu itu.
Sementara penyair Rusli Marzuki Saria yang juga anggota DPRD Padang (1986 – 1991) ketika memberikan sambutan pada pembukaan acara malam itu, menyatakan sangat senang menyaksikan lomba baca puisi di tempat terbuka itu. Penyair“parewa” yang akrab dipanggil Papa ini mengungkapkan, dalam lomba baca puisi yang penting diperhatikan adalah suasana puisi itu sendiri. Bila suasana sudah dikuasai, pembacaan pasti bagus dan menarik. “Kegiatan ini membuktikan bahwa baca puisi tidak mutlak harus di Taman Budaya Padang saja. Malah di tempat terbuka seperti ini rasanya lebih meriah, semarak dan lebih memasyarakat, karena lomba baca puisi memeriahkan Hari Jadi Kota Padang ini bisa langsung disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat Padang Kota Tercinta,” ujar penyair yang dua puisinya “Padang Kotaku” dan “Beri Aku Tambo Jangan Sejarah” termasuk puisi yang ikut dibacakan dalam lomba ini.
Begitu juga, dari sisi lain, suasana dinamika kota Padang ternyata juga terungkap lewat setting arena lomba yang disiapkan panitia. Ketika itu, di bawah pemerintahan walikota Syahrul Udjud, kota Padang berlimpah piala Adipura (penghargaan di bidang kebersihan). Maka di arena lomba, panitia memajang sapu, marawa tiga warna (kuning, hitam dan merah), dan gerobak sampah. Panitia lomba, Arizal Oce (alm) waktu itu mengungkapkan, benda-benda ini sengaja ditampilkan sebagai setting, karena melambangkan keberhasilan kota Padang meraih Adipura, penghargaan sebagai kota terbersih di Indonesia. “Ini penting ditampilkan, karena itulah kunci keberhasilan kita merebut penghargaan Adipura tersebut,” ujar Oce yang di tahun 1980-an termasuk seorang ‘master’ baca puisi di Sumatera Barat.
Sebagai juri, saya bersama penyair Sofia Trisni dan Alda Wimmar (alm), menetapkan 25 peserta menjadi finalis, beberapa di antaranya ada yang pegawai Balaikota Padang sendiri. “Ini amat menggembirakan Pak Wali, karena ternyata pegawai Balaikota Padang ada juga yang pintar baca puisi dan lolos sebagai finalis,” kata panitia lainnya Rizal Moenir dengan bangga menilai keberhasilan rekannya sesama pegawai Balai Kota Padang waktu itu. Setelah melalui penilaian yang alot, dewan juri akhirnya menetapkan juara I,II, dan III adalah Aidil Usman (Teater Kapur Indarung), Yulriva Zola P (SMA Adabiah Padang), dan Maman Yuherman (UBH Padang). Juara harapan I dan II adalah Adek Sukma dan Rica Elita (keduanya dari SMAN 2 Padang). Hadiah bagi juara langsung diserahkan walikota Syahrul Udjud pada acara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan RI ke-46 , 17 Agustus1992, di GOR H. Agus Salim Padang, sebuah apresiasi luar biasa dari walikota terhadap juara lomba baca puisi ini.
Untuk kepentingan pemasyarakatan sekaligus peningkatan rasa cinta masyarakat terhadap puisi, baca puisi memang tepat dilakukan di tempat terbuka seperti di halaman depan kantor Balaikota Padang itu. Di tempat terbuka seperti itu, minat masyarakat untuk menyaksikan dan menikmati baca puisi akan timbul spontan, ketimbang diadakan di gedung/aula kesenian. Pada dua tahun berikutnya (1992 dan 1993) masih berlangsung lomba baca puisi memeriahkan hari Jadi Kota Padang di halaman depan kantor Balaikota Padang tersebut. Setelah itu sampai kini, kegiatan ini bagai tenggelam ditelan bumi. Tak tahulah kita apa sebabnya sampai begitu. Kita tentu berharap untuk memeriahkan hari jadi kota Padang di tahun-tahun mendatang, pemko Padang hendaknya kembali mengagendakan kegiatan serupa. Tak ada maksud lain, kecuali untuk lebih memasyarakatkan puisi dan seni baca puisi, terutama bagi para pelajar, sehingga untuk lomba baca puisi Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Sumbar nanti, pelajar kota Padang tak lagi ‘keteteran’ menghadapi pelajar dari Kab/kota lainnya di Sumbar untuk mewakili Sumbar ke tingkat nasional. Di samping itu, kegiatan ini juga berdampak positif bagi peningkatan apresiasi sastra masyarakat di Padang kota Tercinta.
*** (Padang, 28 Agustus 2013).
- Dasril Ahmad, penulis sastra tinggal di Padang
- Dimuat Harian Pagi PADANG EKSPRES, Minggu, 01September 2013