Kreativitas sastra muncul tidaklah ditentukan oleh latarbelakang pendidikan dan profesi seseorang. Dalam sejarahnya, banyak sastrawan (terkenal) di Indonesia yang sama sekali tidak berlatarbelakang pendidikan bahasa dan sastra, dan juga tidak berprofesi sebagai guru dan/atau dosen bahasa dan sastra. Namun, kita pun tidak mungkin menutup mata, bahwa juga ada sastrawan dan/atau kritikus sastra yang muncul dari kalangan akademisi sastra, yang sekaligus juga berprofesi sebagai guru dan/atau dosen bahasa dan sastra. Meskipun jumlahnya relatif sedikit, namun eksistensi mereka patut diapresiasi, seperti halnya eksistensi seorang Refdinal Muzan, sarjana pendidikan bahasa Inggris (1997) FPBS IKIP Padang, yang kini berprofesi sebagai guru dan penyair.
Saya pertama kali bertemu Refdinal Muzan adalah ketika menjadi juri Lomba Baca Puisi “Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional” (FLS2N) SMP tingkat Sumbar 2015 di Asrama Haji Parupuk, Tabing, Padang. Waktu itu, Refdinal hadir sebagai guru yang mendampingi siswanya berlomba. Kemudian ketika menjadi juri Lomba Baca Puisi siswa SMP se-Sumbar pada “Pekan Sastra 2016” di Balai Bahasa Provinsi Sumbar, Sabtu (6/8/2016) lalu, saya kembali bertemu dengan Refdinal Muzan yang hadir mendampingi anaknya berlomba. Ketika rehat lomba, Refdinal menghadiahi saya buku puisinya “Salju di Singgalang” (AG. Litera, Yogyakarta, 2013, vii + 210 halaman). “Buku ini telah lama terbit, memuat puisi-puisi sederhana saya. sengaja saya bawa sebuah sebagai hadiah untuk pak Dasril,” katanya.
Selain itu, dalam rentang waktu 2011 – 2013, puisi-puisi Refdinal Muzan (penyair yang lahir di Padang, 15 Mei 1966 ini) juga dimuat dalam, setidaknya, tujuh buku antologi puisi yang terbit di berbagai kota di Indonesia. Di samping menulis puisi, Refdinal Muzan juga “jago” dalam membaca puisi, karena dari doeloe dia sering meraih juara dalam lomba baca puisi di berbagai tempat di Sumbar. Itulah sebabnya, kepada saya, dia pernah mengemukakan ide, hendaknya Balai Bahasa Sumbar tidak hanya menggelar lomba baca puisi untuk siswa, tetapi juga untuk guru bahasa dan sastra se-Sumatera Barat.
Dalam pengamatan saya, Refdinal Muzan termasuk seorang dari sedikit guru bahasa di Sumbar yang menggeluti dunia sastra, khususnya puisi. Kok begitu? Iya, selama ini pernah dikeluhkan, sulitnya mencari guru bahasa yang (juga) menyenangi sastra. Sesuai kurikulum, pelajaran bahasa dan sastra di SMP dan SMA masih digabungkan pengajarannya dengan guru yang sama, maka dominan guru lebih menguasai materi pelajaran bahasa Indonesia ketimbang sastra. Banyak guru bahasa yang “buta sastra” dan perkembangannya, sehingga mereka mempunyai apresiasi sastra yang tak kunjung meningkat alias “jalan di tempat”. Mereka hanya mengajarkan pengetahuan sastra (bukan apresiasi sastra) kepada siswa, sehingga minat baca dan apresiasi sastra siswa pun tak kunjung meningkat. Namun, Refdinal Muzan tidaklah guru yang demikian. Sebagai guru (bahasa Inggris lagi) ia justru kreatif menggeluti sastra, terutama menulis puisi dan mengajari/melatih siswanya teknik-teknik membaca puisi yang baik untuk lomba. Justru itulah, saya mengapresiasi buku puisi Refdinal Muzan yang telah terbit selama ini, termasuk 101 puisi (bertitimangsa 2013, 2014, dan 2015) yang akan diterbitkannya dalam buku puisi berjudul “Dandelion” ini. Sebagai bentuk apresiasi itu juga, saya menerima baik permintaannya untuk menulis kata pengantar penerbitan “Dandelion”, meskipun tenggat waktu yang ia berikan relatif pendek, yaitu 4 hari.
Buku “Dandelion” mengungkapkan konsep puitika kepenyairan Refdinal Muzan secara jelas dan tegas. Di satu sisi sajak-sajak di buku ini dominan adalah sajak-sajak yang mengekspresikan keresahan jiwa penyairnya terhadap fenomena alam dengan menggunakan citraan waktu dan penamaan berbagai benda secara intuitif. Sajak-sajak begini cenderung dipandang sebagai sajak romantis, di mana penyair bebas menumpahkan perhatiaannya kepada alam dengan beragam pesona keindahan dan (juga) tragedinya. Namun di sisi lain, dalam sajak berjudul “Aku Merindukan Puisi” (halaman 21), penyair menegaskan kerinduan hakiki dari seorang guru terhadap dunia puisi yang sesungguhnya telah digelutinya dengan setia sejak SMA sampai sekarang.
Sajak-sajak yang mengungkapkan kerinduan dengan segenap nuansanya selalu menimbulkan pesona, dan membuka kemungkinan interpretasi yang seluas-luasnya dari kita. Kita terpesona karena nada kerinduan di dalam sebuah sajak, pada hakekatnya juga kerinduan kita sendiri, setidaknya kerinduan yang pernah kita alami dengan sepenuh jiwa dalam hidup ini. Penyair Sutardji Calzoum Bachri ketika berceramah di Taman Budaya Padang, 26 September 1987 lalu mengungkapkan bahwa jika belakangan banyak penyair kita yang menulis sajak-sajak sufistik, itu semata bertolak dari kerinduannya kepada Tuhan. Demikian hebatnya gejolak kerinduan pada Tuhan itu, menurut Tardji, kondisinya dapat diidentikkan seperti kerinduan sebuah seruling yang ingin kembali ke rumpun bambu. Jika kerinduan seperti itu bergejolak pula di hati penyair, maka tak dapat tidak si penyair akan termotivasi kuat untuk terus berkarya. Tentu hal ini tak terkecuali juga memotivasi penyair Refdinal Muzan, guru yang selalu merindukan puisi ini. Semoga...! *** (Padang, 21 Agustus 2016).
*) Kata Pengantar untuk buku puisi “Dandelion” karya Refdinal Muzan