Berbicara tentang sastra memang amat menarik karena sastra merupakan suatu dunia yang di dalamnya ada kehidupan. Banyak hal yang dapat dibicarakan melalui sastra. Dalam sebuah karya sastra kita dapat melihat berbagai dunia dan ilmu pengetahuan, sedangkan dalam berbagai ilmu pengetahuan kita belum dapat melihat sastra. Inilah menariknya.
Sebuah karya sastra yang baik dan menjadi monumental akan selalu dapat dibicarakan, dikaji dan diteliti tanpa usang. Membaca sebuah karya sastra hari ini akan beda dengan membaca sebuah karya sastra yang sama esok harinya, sehingga Hang Tuah, Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya dan lain-lain tidak bosan dan habisnya orang bicarakan. Setiap kali dibaca sebuah karya sastra akan ada saja hal baru yang muncul, begitulah seterusnya.
Bagi kita pengumpul dan pecinta buku akan menjadi kaya seumur hidup baik secara isi dari karya tersebut maupun secara koleksi, sebab mengoleksi buku sastra berarti mengoleksi kebudayaan atau bahasa yang tak pernah habis.
Apa benarkah sastra itu?
Sangat banyak defenisi tentang sastra dari berbagai pendapat. Kalau ditulis mungkin akan menghabiskan kata-kata. Masing-masing kita juga punya defenisi sendiri, tergantung dari mana kita mendefenisikan karya tersebut. Saya mencoba mendefenisikan karya sastra ini adalah suatu yang punya tokoh atau rekaan. Selain dari itu berarti bukan sastra karena beda karya sastra dengan yang lainnya adalah tokoh atau rekaan itu.
Bagi pengarang sastra merupakan tempat “berlindung” karena pengarang bisa bicara apa saja dan bila dituntut mereka berdalih itu sastra. Walaupun seorang sastrawan menulis sebuah peristiwa faktual yang benar-benar terjadi dalam masyarakat, orang akan tetap membacanya sebagai sebuah karya fiktif. Sekiranya kita berandai-andai, bahwa Soeman Hs. hidup masa sekarang dan menyaksikan peristiwa konflik antara Bupati Kampar dengan para guru yang terjadi baru-baru ini lalu dia menulis peristiwa itu sedemikian dramatis dan tragis dalam sebuah cerpen orang tidak akan dapat menuntut Soeman Hs. Akan tetapi bila seorang wartawan menulis peristiwa tersebut tidak faktual dalam sebuah berita, maka wartawan tadi dapat dituntut karena membuat berita tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Jadi sebuah karya yang berasal dari sumber yang sama akan mempunyai dampak yang berbeda ketika karya itu ditulis dengan niat yang berbeda. Satu diniatkan sebagai karya sastra dan yang lainnya diniat sebagai berita.
Sastra bahasa yang indah. Sastra tidak menjadi indah bila tanpa bahasa. Bahasa dapat indah tanpa sastra. Yang menentukan indahnya bahasa bukan sastra, tetapi sebaliknya yang menopang keindahan sastra adalah bahasa. Menurut Islam yang pertama ada itu adalah Kalam atau bahasa. Akan tetapi uniknya, di Yunani bahasa digunakan sebagai medium untuk mengungkapkan persoalan-persoalan filsafah secara sastrawi. Baca Homerus misalnya. Homerus adalah karya sastra pertama di dunia yang ditulis oleh Aristoteles. Begitu juga di negeri kita ini, pelajaran-pelajaran moral, pendidikan, hubungan antar manusia diungkapkan secara sastrawi. Baca saja misalnya pantun bidal, mamang atau kaba. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa secara tradisional digunakan secara sastrawi.
Kesusasteraan adalah hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan atau bahasa tulis yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat. Sangat sulit memang seorang sastrawan menciptakan suatu masyarakat imajinatif dalam sebuah karya sastra tanpa mengindahkan masyarakat objektif yang berada di luar sastra. Dalam sastra konvensional tidak pernah kita temukan kehidupan, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang bertentang dengan kehidupan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat objektif. Tidak ada suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat imajinatif yang tidak terdapat dalam masyarakat objektif. Kalaupun ada itu disebut absurd. Akan tetapi, dalam sastra absurd pun tidak semua kejadian dalam masyarakat imajinatif yang bertentangan dengan masyarakat objektif, kecuali untuk sebagian kecil kejadian. Baca saja misalnya karya Iwan Simatupang “Merah Merah”. Dalam novel ini, seorang tokoh jatuh dari gedung tinggi ketika terik panas matahari. Dia jatuh di atas tubuh seorang gadis yang ketika lewat di sana. Di atas aspal jalan yang panas itu dia menimpa tubuh gadis itu dan kemudian langsung bersetubuh. Dia tidak mati dan gadis itu pun tidak mati. Peristiwa itu dalam kehidupan nyata tidak akan pernah terjadi. Ini bertentangan dengan realitas yang sebenarnya. Tetapi dapat dibenarkan dalam realiatas imajinatif. Absurd memang, karena karya itu merupakan karya sastra absurd.
Secara ringkas dapat dirumus pengertian kesusasteraan sebagai berikut.
- Seni bahasa (STA)
- Tafsir hidup, seperti hidup itu tergantung dalam pikiran orang yang menafsirkan (W. H. Hudson)
- Keindahan yang dilahirkan oleh bahasa ialah bahasa kesenian, bahasa atau seni sastra (Madong Lubis)
- Penjelmaan Pribadi yang luhur dengan kata/bahasa dalam bentuk yang tepat (A. Samidi)
- Suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren)
Banyak karya sastra yang diterbitkan dalam bentuk buku, namun distribusinya masih kurang. Penerbit masih mempertimbangkan nilai bisnis ketimbang mempertimbangkan peningkatan apresiasi masyarakat. Oleh karena itu, oplah penerbitan buku sastra relatif kecil karena diragukan akan habis terjual. Akibatnya distribusi penjualan buku-buku sastra hanya terbatas di kota-kota besar dan toko-toko buku tertentu saja. Jikalau kita membutuhkan sebuah buku sastra kita tidak mendapatinya disembarang tokoh buku. Harus dicari pada toko buku tertentu, seperti Gramedia atau Angkasa kalau di Padang. Di toko-toko kecil kita tidak akan menemukan buku sastra.! Oleh karena itulah apresiasi sastra di masyarakat relatif rendah karena kurangnya karya sastra terdistribusi. Penyebab lain adalah kurangnya apresiasi pengajar sastra (baca Horison Desember 2003).
Beberapa usaha telah dilakukan untuk meningkatkan apresiasi sastra kepada masyarakat namun hasilnya masih kurang, seperti yang dilakukan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca). Malahan mahasiswa sastra dan pengajar sastra banyak yang tidak membaca karya sastra.
Soeman Hs. telah memulai bersastra, namun kurang terlanjutkan oleh pengarang berikutnya terutama tentang cerita detektif dan humor. Cerita detektif dan humor hanya kita jumpai dalam bentuk media audiovisual. Tidak adanya penerus Soeman Hs. barangkali disebabkan tidak banyak generasi kita yang meminati masalah detektif dan humor. Menggarap cerita detektif memerlukan banyak pengetahuan, baik yang berkaitan dengan psikologi, intelijen dan masalah-masalah medis. Artinya, menulis cerita detektif, tidak saja dituntut ketrampilan menulis, menyusun adegan-adegan sehingga menarik untuk dibaca tetapi juga keahlian lain yang berkaitan dengan dunia kejahatan. Hal yang semacam tidak tidak dimiliki oleh generasi kita sekarang.
Menulis humor ini apalagi. Kita bisa saja menertawakan orang atau diri sendiri, tetapi kita tidak bisa membuat orang tertawa ketika membaca tulisan kita. Kalaupun mungkin, orang mungkin akan tertawa dengan apa yang kita tulis. Karena kita tidak ingin ditertawakan orang, maka generasi kita kurang meminati menulis karya-karya yang dapat menyebabkan orang tertawa. Oleh karena itu, Soeman Hs. tetap sendiri dalam kesendiriannya. Marilah kita renungkan makna kesendirian itu sendiri-sendiri, sebaris-sebaris, tanpa kata dan suara. ***