Sungai yang mengalir di ujung kampung itu, menyimpan banyak kenangan masa kecilku. Bersama teman sepermainanku, kami sering mandi-mandi di tepiannya, arah ke hulu. Menjelang magrib tiba, langit menjingga di barat sana. Mentari tersenyum, menyaksikan gerimis menirai warna, mengurai warna lewat awan tipis yang mengandung gerimis. Mentari meredupkan sinarnya, lalu duduk bersila di kaki langit, dengan wajah memerah singit. Gemericik air di pancuran menuju irigasi yang membasahi hamparan sawah, seperti menggiring irama kehidupanku berangkat dewasa. Dan, hmmmm senyum gadis itu, Parita, usai mencuci kain di tepian, dengan betisnya yang putih, kain batik basah yang lengket di sana.
Duduk sendiri di bandul jendela, menyaksikan keruhnya air di Kali Ciliwung, bak sampah warga sekitarnya, mengingatkanku pada sungai yang jernih, dingin dan airnya mengalir jinak di kampungku. Ingat Parita bersama kaum ibu-ibu lainnya, yang melakukan protes atas rencana penanaman pohon pinang di sepanjang bantaran sungai itu. Mereka mendesak Pak Desa, agar tidak meniru penanaman pinang di sepanjang bantaran sungai yang telah dilakukan di Kota Padang. Karena buahnya yang sekeras batu itu nantinya akan menimpa mereka yang beraktifitas di tapian. Bukankah tapian sungai sering dimanfaatkan ibu-ibu untuk mencuci dan mandi? Bahkan di kala subuh, mereka sering melepas atau menutup aliran air ke parit-parit yang sudah dibuat para lelaki untuk mengairi sawah mereka yang membentang luas, berjenjang-jenjang.
“Tapi buahnya bisa dikumpulkan dan dijual atau kita olah sendiri,” kata salah seorang pemuka masyarakat.
“Dan kepala kami akan berdentang-dentang, ditimpa pinang sekeras batu itu?”
“Gerakan sejuta pohon harus kita laksanakan. Ini program pemerintah, agar kampung kita ini tetap hijau,”
“Untuk mengatisipasinya, justru Pak Desa, juga datuk-datuk di sini hendaknya melarang mesin gergaji menumbangkan pohon-pohon di kaki gunung itu,”
“Sebaiknya kaum ibu-ibu jangan banyak cincong. Yang menantang, berarti melawan pemerintah,”
“Ya, di Kota Padang justru tidak hanya di sepanjang bantaran sungai, bahkan di pinggir jalan pun pinang ditanami,”
Aku tidak tahu, kenapa pohon pinang tidak jadi ditanam di sepanjang bantaran sungai tersebut, karena aku sudah meninggalkan kampung, merantau ke Jakarta, tinggal di sebuah rumah petak, bangunan liar di bantaran sungai yang sempit dan sumpek. Konon di Kota Padang, yang telah menanam ribuan bibit pinang itu ternyata gagal. Pohon-pohon pinang yang ditanami banyak yang mati karena tidak dirawat. Satu dua ada yang tumbuh dan berbuah. Buahnya jatuh dan menimpa mobil yang lewat di bawahnya. Ini membuat sejumlah warga kota jadi berang dan diam-diam merusaknya bahkan ada yang menebang dengan terang-terangan.
Kini, sungai di kampungku itu seakan lupa pada muaranya, menuntun air mengalir tak tahu arah. Tanpa basa-basi, airnya yang keruh, seperti menggila masuk ke mana-mana, mengganggu kehidupan yang sejak dulu sudah tertata dengan rapih. Airnya telah meratakan pematang-pematang sawah, mendobrak irigasi yang dulu bagaikan talang indah, mengalir jinak, meliuk bagaikan ular, meluncur ke hilir. Sementara di utara sana, gunung yang tegak berdegap konon secara berkala memuntahkan abu vulkanis ke udara, terbatuk-batuk lalu bagaikan orangtua yang sudah bongkok, ia meludahi perkampungan kami. Ia melontarkan dahaknya yang kental ke sawah ladang kami, hingga semua penghuni kampung terhirup virusnya, ikut-ikutan muntah-muntah, batuk-batuk, demam, panas dingin, ingusan, penyumbatan saluran pernafasan. Ibu-ibu muda dan anak-anaknya, mendiami tenda penampungan, masa depan mereka seperti berhadapan dengan kegulitaan.
Pantaskah aku yang sudah mandiri dan berkecukupan di kota ini hanya diam saja? Tentu saja tidak. Tapi, tahukah mereka, sanak-saudara dan beberapa teman sepermainan masa kecilku yang masih tetap tinggal, berkeluarga, beranak, bermenantu itu kalau sesungguhnya aku juga diserang nganga sungai yang melebar, menyeruak sampai ke dalam kamar? Kota ini, rantau yang telah mendewasakanku, sungainya juga kebingungan mencari muara. Keruhnya menggemuruh menghanyutkan segala duka. Seperti juga gunung yang batuk-batuk di kampungku dan sungainya mengalirkan lahar dingin hingga mendatarkan sawah dan ladang yang menghampar di kiri dan kanannya.
Hujan tak begitu lebat, tapi air di sungai itu meluap. Aku mendengar suara sungai, seakan menjawab pertanyaanku yang tak terucapkan.
“Aku menggemuruh rusuh, mencari muara yang kalian telan,” kata sungai berwajah keruh.
“Tapi, bukankah mereka telah membuatkan bendungan untuk air bersemayam?”
“Bendungan spekulasi yang kalian pendam? Tidak. Air yang kualiri merindukan laut,”
“Kandungan yang kau alirkan dalam, menjadikan kami karut-marut”
“Kalian lupa, kalau air akan terus mengalir, tak akan bisa ditahan ke hilir,”
“Kenapa kau nyinyir? Bukankah kau yang mogok mengalir?”
“Karena sampah dan segala kotoran kalian hamburkan ke dalam tubuhku,” kata sungai mulai memburangsang, menantang tantanganku yang sunsang.
Ya, ya, aku tahu itu. Tetanggaku, atau hampir semua warga di lorong-lorong sekitar bantaran Kali Ciliwung tempat aku tinggal, kehilangan pembuangan yang nyaman, hingga sambil lalu ia melemparkan sampah ke dalam sungai. Tak ada lagi kebeningan sungai di kota. Tidak seperti bening dan dinginnya sungai di kampungku. Dulu setiap pagi, aku sering mengusap daun berselimut embun. Air yang berasal dari kumpulan tetes-tetes embun itu, jatuh dari ujung daun, lalu lepasan dari akar kayu yang kekenyangan ditambah dari mata air kecil bermanik-manik di setiap pori tanah yang lereng dan landai. Aih, aku merindukan embun yang melayang dingin menyungkup tubuhku ini. Aku merindukan tetes-tetesnya yang menggelantung di ujung daun
Kebeningan air yang dingin, dulu semasa kecil, sering aku minum tanpa harus memanaskannya sampai lebih seratus drajat celsius sebagai syarat mutlak untuk membunuh kuman yang ada dan hidup dalam air. Tidak, air yang menetes dari ujung daun, adalah air yang bersih, karena ia berasal dari embun. Penguapan daun dari udara yang sudah terkontaminasi oksidan. Nyaris tak ada sampah yang sengaja dilemparkan warga kampung ke dalam daerah aliran sungai, sebagaimana yang sering kulihat di kota tempat aku tinggal kini.
Bahwa air bisa membersihkan dirinya sendiri, aku sudah tahu. Namun ia terlalu lama mengurai sampah, apalagi sampah-sampah muntahan pabrik, kemasan makanan berbahan plastik. Di musim panas, sungai menyusut, dan air tak mengalir. Diam di antara gundukan sampah yang membusuk, lalu memelihara jentik-jentik nyamuk, membiakkan berbagai sumber penyakit.
Di kampungku, sungai menyediakan dirinya untuk kami mandi, berak, kencing bahkan mencuci pakaian. Ikan-ikan berenang dan alangkah girangnya bila melihat ada yang jongkok di jamban, karena ia akan berebut makanan yang masih hangat. Siklus alam berputar secara wajar. Ikan-ikan pun terkadang ingin ditangkap dan disantap. Dengan liar, ia berusaha sembunyi di balik batu, atau pura-pura menelan umpan yang diberikan padanya. Yang paling tidak disukai ikan-ikan itu ialah bila tiba-tiba ada yang menebarkan racun, semacam putas. Karena ikan-ikan itu akan merasakan perih di sekujur badannya, matanya memerah. Ia akan lari ke balik dedaunan yang membusuk atau ke balik batu, jauh di balik rongga-rongga tanah ke dasar sungai. Tapi sang eksekutor yang sadis dan kejam, malah mengejarnya, membalik batu-batu itu, mengeruh air. Lari ke hilir? Di bawah pun sudah dipagar dengan jaring dan tangguk bermata kecil, mereka mengubrak abrik bebatuan dan kerikil, menjaring segala yang lewat.
Tapi kini, sungai di kampungku juga sudah meluruhkan debu ke pangkuannya, bagaikan sepasang merpati yang bermesraan dengan gunung yang tubercolocis itu.
Gila, nasib sungai di mana-mana sama saja. Tak peduli sungai di kota atau sungai di desa. Sungai yang seharusnya menyediakan tempat untuk air agar bisa mengalir, hanya bisa menggenang di antara ceruk-ceruk berbagai benda padat. Air akan membandel, dan akan jinak bila kita mengerti apa kehendaknya. Lihatlah! Sungai di kampungku, telah menyejahterakan warganya. Sepadang sawah terhampar, menguning mengandung bulir-bulir padi, gabah yang bikin petani sumringah. Air yang bersih, bening dan dingin itu mengalir jinak di sepanjang irigasi dan talang-talang bambu. Tapi Gunung Marapi yang berdiri kokoh arah barat kampungku itu, menderita penyakit paru-paru. Secara berkala, ia batuk-batuk, lalu mengepulkan debu ke udara, bahkan akhir-akhir ini sering memuntahkan lahar dingin, memenuhi daerah aliran sungai hingga tumpah bahkan menghantam tanggul, meretas dan merubuhkannya.
Seperti juga api, yang membuat kita hangat dan akan membakar bila sigulambai tak terjinakkan. Sepantun angin yang membeliung, membadai atau melimbubu memorakporandakan segala ada. Lalu, angin akan meniup seruling dengan irama panjang berjela-jela, mendinginkan hati dan kepala bila kekuasaannya kita jaga.
**
Aku duduk di bingkai jendela. Di seberang sungai yang membelintang di samping rumah kontrakanku ini, kulihat orang-orang membersihkan rumahnya, menyelamatkan perabotan masing-masing agar tak sempat dijilati air yang membanjir. Dan gadis itu, mengenakan celana pendek dengan atasan tank-top, kulihat sibuk mengemasi barang-barang keperluannya. Tak disadarinya, di betisnya yang berpori halus dan mulus itu menempel secarik gombal bermotif batik. Aih, aih aku ingat gadis idaman, Parita yang sering mencuci di tepian sungai di kampungku.
Tapi gadis di seberang sungai itu tentu bukan Parita yang selalu menutup auratnya. Kalau pun aku sempat mencuri pandang, menikmati keindahan betisnya di tepian tak lebih karena kenakalan air yang mengalir membasahai bagian bawah tubuhnya yang kencang itu. Usai mencuci, Parita membawa cuciannya, jalan melenggok di pematang, menyisiri jalan setapak menuju rumahnya dan ia akan tersenyum bila kami berselisih jalan. Hmmm senyumnya merekah di bibir tipis alami tanpa pewarna.
“ Udahan mencucinya, Rit?”
“Ya, cuma sedikit Bang,” jawabnya.
Aku terlambung mendengar suaranya yang lirih itu. Meski pun dengan kalimat pendek, namun mendarat mulus di telingaku, terasa dingin terus menelusuri relung-relung hati ini. Tapi, dalam diskusi-diskusi di kelompoknya, Parita dikenal sebagai gadis yang cukup kritis, dia tak pernah diam seperti teman-temannya yang lain, bila ada sesuatu yang tidak ia sukai.
“Sungai di kota dan kampung kita ini karakternya berbeda. Kalau kita samakan, itu namanya kesalahan total,”
“Maksudnya?”
“ Sungai kita sudah jinak, dengan santun ia mengairi sawah dan ladang kita,” kata Parita sambil menyebutkan kalau di kampung tak perlu pohon pelindung, Karena di sepanjang bantaran sungai dengan sendirinya sudah dipelihara dengan menanam tanaman produktif seperti singkong. Para petani menggantungkan nasibnya pada air, dan karenanya sungai akan tetap terpelihara. Beda dengan sungai di kota, yang gersang dan warganya sering membuang sampah ke dalam sungai. Apa sungai itu bak sampah? Bahkan di bantaran sungai malah dibangun jalan arteri, atau bangunan liar yang menjadikannya labil.
“Ingatkah Abang, ketika lidah air menderas meluncur dari kaki bukit di kota itu?” lanjut Parita seperti mengingatkan peristiwa galodo yang memakan korban jiwa itu.
Aku terpana!
Ketika itu, menjelang magrib tiba, gabak menghitam di langit sana, arah ke hulu sungai, di kaki bukit kapur yang setiap hari digali untuk bahan pembuatan semen. Tidak hanya itu, bahkan beberapa truk mengangkut pasir dan bebatuan setiap hari, berulang-ulang, bolak balik. Hulu sungai itu ditambang terus menerus. Tanpa disadari, batu besar yang menggantung di pinggang bukit, jatuh dihondoh air hujan yang begitu lebat. Terdengar suara air menggemuruh teramat riuh, mengirim rusuh bagi seluruh; ternak, tetumbuhan dihanyutkan tanpa beban. Bataran sungai ia porandakan, rumah-rumah ia ratakan, menimbun perkampungan dengan lumpur dan bebatuan. Kita lupa pada tanda-tanda alam, gabak di hulu pertanda hujan, dan itu artinya lidah air, yang mereka sebut galodo itu, akan meluncur bagaikan ular, meliuk-liuk sesukanya mengikuti daerah aliran sungai, melimpah, meruah ke jalanan, menumbangkan segala pepohonan, menimbun segala harapan, bahkan merenggut nyawa sekalian.
“Memeliharaku, memanjakanku adalah satu-satunya cara agar aku dengan tulus mengalirkan air dari hulu sampai ke muara,” aku seperti kembali diingatkan sungai itu. Sungai yang memikul beribu ton sampah dengan pematangnya yang dihimpit berbagai kepentingan sesaat itu, seperti menegurku. Di seberang sana, gadis yang mengenakan celana pendek sepaha itu, seperti sengaja membuyarkan lamunanku di jendela. Dengan nakal, seperti sengaja mencuri perhatianku.
“Jangan bengong gitu dong Bang, bantuin aku kek,” katanya sambil melambai padaku. Aku tersentak. Melompat dari jendela. Mengharungi sungai yang meluap, atau berlari mengejar jembatan? Bukan, ah tidak mungkin. Tapi aku harus membantunya, sambil mencuci mata. Dia membersihkan lantai rumahnya, aku mencuci mata sambil menikmati tubuhnya yang kencang, padat berisi itu. Tapi, tentulah gadis itu bukan Parita yang tinggal sekian ribu kilometer dari posisiku sekarang.
“Abang bantu memetik daun singkong di pinggir sungai ya?”
“Sekalian aja membongkarnya Bang. Lumayan, kan singkong lagi mahal nih,”
“Bukan singkong, Bang. Bantuin ambil sepatuku dah hanyut tuh,”
Sepatu? Aku melihat Parita mengenakan sepatu ketika ia sekolah di ibukota kabupaten. Bila di kampung mengenakan sepatu, tentu akan jadi bahan tertawaan bagi teman-teman sebaya. Dulu, ketika aku pulang dan singgah di lepau, tanpa kusadari masih mengenakan sepatu, justru jadi olok-olok bagi teman-teman se lepau.
“Waduh, lagi kampanye nih Pak?” Sindir Zaidin
Aku tergagap.
“Ya, kalau memerlukan suara kami, rajin-rajinlah ke sini,” lanjut Zaidin yang diikuti senyum sinis sebagian mereka yang kebetulan sedang ngopi di sana.
Tidak mungkinlah kiranya kalau tiba-tiba saja Parita mengatakan sepatunya hanyut ke sungai. Bukankah antara sungai dan rumahnya berjarak sekitar tigaratus meter lebih? Biasanya, Parita kalau ke tapian hendak mencuci kain, hanya mengenakan sandal jepit.
“Cakep cakep gini, kok kayak cowok autis sih?” Kata gadis itu sambil tersenyum nakal, lalu ia meraih sepatunya yang sudah berlepotan lumpur di teras rumahnya. “Apa sih yang menyita perhatian Abang?” lanjut gadis itu.
“Aku memikirkan perangai sungai ini,” jawabku seadanya.
“Perangai sungai atau perangai aku?”
“Ya, sama saja. Kau menyengsarakan perasaanku,”
“Ahai, baru kenal juga kok ngakunya menyengsarakan perasaan Abang sih?”
Baru kenal? Dia mengatakan kalau aku baru saja mengenal sungai?
Sejak kanak-kanak aku sudah bersetubuh dengan sungai. Berkali-kali aku menghambur ke dalam tubuh sungai, bahkan aku mengenal persis lekuk tubuh sungai yang sesungguhnya. Sebagai air yang selalu mengalir, aku dijinakkan sungai-sungai yang selalu menuntunku menuju muara. Muara dari tujuan mengalirnya air, dan aku bisa saja merampok segala kehidupan yang menantang sungai, yang sewenang-wenang menangani sungai.
Seperti dulu pernah disebut Parita, karakter sungai itu berbeda. Yang mengalirkan air dari kaki bukit meliuk menembus desa-desa, mengairi sawah dan ladang petani. Parita adalah sungai desa dan aku adalah air yang mengalir di tubuhnya, bisa langsung diminum karena tak terkontaminasi kuman atau oksidan dalam bentuk apa pun. Sedangkan gadis itu, adalah sungai kota dan akulah airnya yang digerogoti kuman dari berbagai limbah busuk pabrik-pabrik yang menyimpan berbagai penyakit.
***
Siapa yang tak merindukan embun menyelimuti daun sebelum fajar menjilatinya? Embun itu dimuntahkan daun melalui mulutnya, meneteskan air yang bening, lalu membasahi tanah yang gembur, menjadikannya subur. Dari pori-pori tanah itu, air mengalir pelan, membentuk garis-garis indah lalu menyatu di kerendahan, mengalir di parit-parit menuju sungai yang membentang panjang di pinggir perkampungan. Di tepi sungai yang landai, dimanfaatkan jadi tapian bagi warga, yang memanfaatkan air demi kehidupan.
Air dan sungai tak bisa dipisahkan. Bila air mengering, lalu sungai dijadikan bak sampah, maka di musim hujan air akan mengamuk, karena kekasihnya dijadikan sarang penyakit. Air akan selalu merindukan sungai tempatnya mengalir. Seperti juga manusia, pria dan wanita. Bila kekasihnya disalahgunakan, atau dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak patut, maka tentulah pasangannya akan mengamuk. Berusaha sekuat tenaga, menyelamatkan sang kekasih dari virus-virus yang menggerogoti tubuhnya.
Gadis dengan sepatunya yang berlumpur itu, adalah sungai yang meliuk di lorong-lorong kota yang sempit dan sumpek. Di musim kemarau, ia menyimpan banyak kuman dan memelihara penyakit. Sebagai air yang mengalir dari kaki Gunung Marapi, mampukah aku membersihkannya?
Ah, ingat lagi Parita, nun di ribuan kilometer sana, di lambung Sumatera. Sebagai sungai, bukankah ia juga sudah bersehatian dengan air yang mengalir dari akar tetumbuhan di kaki gunung vulkanis itu? Gunung yang secara berkala terbatuk-batuk, lalu menghamburkan abu panas ke udara, merayap turun menyungkup kampung kami, dan air mengalirkannya ke lembah-lembah.
Gadis bersepatu kumuh dan Parita yang suka mencuci di tapian, adalah sungai yang mengalirkan air demi kehidupan. Bila sungai di kampungku mengeruh akibat terkontaminasi lahar dingin dan debu, maka ia akan menjadi pupuk, menyuburkan sawah ladang para petani. Tapi bila sungai yang meliuk genit di antara gedung-gedung di kota, dengan sepatu hak tinggi celana pendek sepaha dan atasan cukup dengan tank-top, tentulah air yang mengalir di sana mengandung berbagai penyakit, virus yang cepat berpindah ke gelas-gelas minuman lainnya.
“Kakinya berdarah tuh,”
Aku mendengar Parita menegur melalui mulut gadis itu. Membungkuk menggapai betisku yang mengalirkan darah segar, mengusapnya dengan jari dan entah mengapa darah itu kujilat, terasa asin dan anyir.
“Wow! Darah kok dijilat sih?”
“Aku ingin kau mengalir dingin, bening bagaikan sungai di kampungku,”
“Masih ingat saat Abang sering mengintip aku mencuci di tapian itu ya?”
“Parita?”
“Bukan, aku bukan Parit yang mengalirkan air dari akar pepohonan di kaki gunung itu. Aku menjelma sungai yang telah dimasuki berbagai penyakit akibat airku membusuk, mengalahkan nafsu serakah dari kehidupan di sekitarku. Setiap malam, aku melihat bulan yang tak pernah sampai kugapai,”
Darah yang mengalir di betisku, terasa semakin menderas, seakan akar-akar pohon meneteskan air di tebing-tebing yang lembab. Terbayang mulut daun meneteskan embun.-
Padang, Feb 2015
Catatan;
Galodo = lidah air atau tanah longsor yang bergulung menderas membawa material, menghanyutkan, menimbun perkampungan.
Sigulamai = api besar, atau lidah api yang melambai-lambai membakar mangsanya
Tapian = tepian di bantaran sungai yang dimanfaatkan untuk MCK (mandi, cuci dan kakus.
Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, Maling Kondang (2012) diterbitkan Teras Budaya, Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka, (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala. Dan Sauk Seloka (2012) terbitan Dewan Kesenian Jambi. Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu, (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar. Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang. Menguak Atmosfir (2004) dimuat Majalah Wanita Kartini. Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984. Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004. Beberapakali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002). Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.