Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Bagian Kedua dari Tulisan : Sebuah Potret Dalam Pusaran Gelombang Kepenyairanku

Berangkat dari fenomena ‘jembatan pelangi’ antara kepenyairan Rumi dan Jami dalam syair profetik dan Qur’aninya ini, jelas telah memberikan hikmah luarbiasa bagi sanubariku. Membangunkan lelap khazanah kedirianku dalam bersastra. Yang begitu sangat kuresapi, bagaiman dengan sangat rendah hatinya, menguburkan ego yang negatif dan membangunkan ego positifnya selaku khalifah Allah tuhan alam semesta. 

Sangat jelas pula dalam penerawangan intelektualku, cahaya mercusuar kesusastraan kian lama kian jelas memberikan panduan arah, bagi pelayaranku sebagai penyair ; bagaimana penyair bertupangan, memberikan sumbangan yang sangat besar kepada kebudayaan manusia secara keseluruhan. Bagaimana penyair harus senantiasa bergelut untuk memaknai nilai nilai kebudayaan. Menggali dan memecahkan teka teki alam dan kehidupan ini dengan memaknai ajaran Allah SWT lewat al-Quran dan alam semesta. 

Akhirul kata, sejak itu aku menjadi kian sadar, kalau penyair itu perlu bekerja terus menerus, sendiri atau bersama-sama meski dalam rentang waktu yang berbeda, untuk memberikan pemecahan persoalan bagi umat manusia, bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan yang membentang ini secara arif dan bijak. Bagaimana penyair harus ikut berkonribusi dalam membentuk sebuah kebudayaan dunia yang lebih segar dan lebih baik.

Gelombang dahsyat inilah kemudian yang menyentakkankan qalbuku. Yang membuat aku perlu bertanya pada diriku sendiri. Pertanyaan yang senantiasa menabuh bertalu-talu memukul beduk di lubuk jiwaku terdalam. Apakah yang selama ini telah aku lakukan dengan kepenyairanku? Lalu, di ruang mata hatiku, berkelabatan pula wajah teman-teman sesama penyair, terutama masyarakat penyair di daerah ini (Sumatera Barat) ataupun penyair nusantara lainnya. Kita telah melakukan apa dalam kepenyairan kita? Sudah sampai di mana kita berjalan dan berkontribusi dalam kebudayaan yang mencerahkan? 

Tiba-tiba wajahku pias. Pucat. Manakala teringat, betapa banyaknya penyair dan juga seniman di lingkunganku. Ada lakmus yang begitu saja berperan sebagai katalis. Aku menarik nafas panjang ketika diperlihatkan begitu banyaknya mereka yang terjebak ‘maaf’ lebih menyukai seni yang buruk itu daripada yang baik. 

Apakah mereka telah terjebak pada pernyataan Plato (Bapak Filosof Yunani) yang mengatakan bahwa seni pada hakikatnya adalah fantasi pribadi, suatu bentuk perayaan terhadap hal-hal tanpa nilai atau suatu bentuk penyelewengan dari hal-hal yang baik? Lalu mereka lupa bahwa di sisi lain, Plato bahkan malah menegaskan, bahwa kesenian yang baik selalu menghasilkan estetika yang baik pula, dan puncak estetika adalah keindahan mutlak, yaitu keindahan Tuhan (Allah SWT-pen).

Dalam pusaran arus gelombang itu aku akhirnya menemukan pula tulisan Sidi Gazalba yang kian menguatkan kedirianku. Katanya, “…..Dalam pengertian yang luas, keindahan itu tidak hanya terbatas pada seni atau alam, tetapi juga pada moral dan intelektual. Moral yang indah tentulah moral yang baik dan intelek yang indah adalah intelek yang benar. Jadi tentu kita sepakat, Bagus, Baik dan Benar adalah serangkai nilai positif yang relasinya selalu bersifat holistik dalam keharmonisan. (Gazalba, 1988: 118).

Jelas Gazalba lagi, “Bagus” merupakan bagian dari aspek kesenian dan estetika. “Baik” dalam ranah etika dan “Benar” lebih condong mengarah kepada Ilmu dan Agama. “Tetapi semuanya itu di dalam filsafat pengetahuannya, Agama pada dasarnya melingkupi ketiga-tiganya baik itu Bagus, Baik dan Benar secara holistik dan komprehensif,” ujarnya.

Kembali karya-karya sajak sejumlah teman berkelabatan yang berkomparasi di dalam benakku. Ada keresahan manakala aku melihat betapa makna-makna kesenian yang positif tersebut, terasa sudah tercerabut dari karya-karya seni dan bahkan juga dalam sajak-sajak para penyair kebanyakan. Banyak penyair kulihat telah terjebak pada labirin yang tak berbentuk, dan tak jelas mau ke mana…… Inilah pemandangan umum yang kulihat di negara seperti Indonesia dan dunia ketiga lainnya.

Aku melihat bahwa masyarakat di dunia ketiga yang kaya raya, seperti dininabobokan agar tak menyadari kebudayaan mereka ditilikung. Kepekaan senimannya dibuat tumpul untuk tidak melihat fenomena dunia yang sesungguhnya. Berbagai intrik dilakukan agar seniman dan masyarakatnya tidak sadar kalau isi bumi mereka tengah dikuras dan kebudayaannya tengah diperkosa oleh penjahat kolonial (pemenang Perang Gunia ke II dan sekutunya-pen). 

Fenomena inilah yang kemudian kupotret lewat sajak seperti sajak KOTAK-KOTAK KOSONG berikut : 

Sajak YumA.Z (Yulfian Azrial) 

KOTAK-KOTAK KOSONG I 
kita telah membuka kotak-kotak kosong 
dariberbagai waktu, dari berbagai tempat 
dari berbagai percakapan sesama teman 
dari pembicaraan di seminar-seminar 
dari obrolan di teras kampus, dari dialog di kedai kopi 
dari ceramah pada dosen, dari sajian berbagai khotbah 
; membuka kotak-kotak kosong hanya mengundang kelelahan 

kita telah membuka kotak-kotak kosong 
dari berbagai waktu, dari berbagai tempat 
dari berbagai menu di buku-buku, dari ulasan di koran-koran 
dari karya fiksi, dari sajak para penyair sekedar 
dari slogan-slogan pembangunan 
; membuka kotak-kotak kosong hanya mengundang kelengahan,
membuang waktu, membuang tempat 

masa yang panjang menjadi tak berarti 
bumi yang luas mencekik diri 
di manakah alam yang luas dan padang yang lapang 
kalau seharian hanyalah membuka kotak-kotak kosong 

KOTAK-KOTAK KOSONG II

Kita masih membuka kotak-kotak kosong 
alangkah nyeri hatiku, perih tak terperi 
siapa gerangan begitu pandai bermain tipu
; ia ambil isinya lalu menghibur kita 
hanya dengan kotak-kotak kosong 

alangkah kanak-kanaknya kita yang mengaku bijak 
tapi masih asyik dan lengah
bermain kotak-kotak kosong di lantai 
sementara di meja makan orang terus bersantap 
berbagai makanan 
di ruang tamu terus terhidang berbagai jamuan 
; kotak-kotak kosong, o alangkah kejamnya permainan

 Padang Januari 1993

Dalam dunia kehidupan di tengah masyarakat dunia ketiga, di dalam dunia kepenyairan dan kebudayaan pada umumnya, aku melihat konsepsi mereka para seniman dan budayawan seperti digiring untuk berlari jauh dari Islam? Sehingga apresisasi dan penghargaan lebih banyak diberikan pada karya-karya yang telah tercerabut pada agar kulturalnya. Seperti akar-akar karya profetik. Sehingga seperti dalam dunia kepenyairan Indonesia, sedikit saja yang mampu bertahan. Itupun hanya dapat di hitung jari saja, seperti Taufik Ismail, Koentowijoyo, Abdul Hadi WM, dan sedikit nama lainnya.

Mereka ini adalah contoh pemnyair-penyair yang sangat arif dan bijak. Karena itu dibanding sejumlah karya penyair keanyakan, karya mereka ini mempunyai arah dan tujuan yang lebih jelas dan pasti? Yaitu punya arah dan tujuan berkesenian yang mencerahkan. Tidak terjebak dalam tempurung, sebuah kotak atau semacam labirin kebudayaan.

Menurutku, visi dan misi seni perlu dikembalikan kepada jalannya yang “lurus dan benar” sebagaimana komitmen setiap muslim di setiap raka’at shalatnya. Iyaka nakbudu, waiyaka nasytain…… Kenapa? Karena seni yang lepas dari nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya tentu hanyalah sekadar hawa nafsu, dan bukan akal yang waeas dan budi yang luhur. 

Seniman, penyair selain berupaya membuat karyanya mempunyai daya tarik yang selalu bertambah, tentu juga harus ditujukan agar jiwa para penikmatnya juga terus bertambah. Di sinilah arti penting mengungkapkan gagasan orisinil konsep Kesenian profetik ke dalam wacana filsafat kesenian dan implementasinya dalam membentuk sebuah kebudayaan yang lebih mencerahkan.

Adapun pertanyaan yang paling meresahkan pikiranku ketika itu selain seni negatif adalah, “Kenapa yang menjadi tema pokok kepenyairan sekarang kebanyakan adalah masalah epigonisme?” Lalu orang-orang pada berlomba untuk mencari bentuk baru. Bahkan tidak malu-malu mengungkapkan (bahkan dalam sebuah ceramah sastra) 
“Bentuk lebih penting daripada isi” kata mereka. Dan wajar kalau banyak penyair menjadi gamang ketika dirinya dituduh epigon (sajaknya-pen), lalu imajinasinya menjadi mandul manakala ia harus terbentur dalam tempurung yang dibuatnya sendiri, kebingungan mencari bentuk-bentuk baru yang belum pernah dipopulerkan orang lain. Jadi, Quo vadis penyair?

Fenomena inilah yang kemudian aku tuangkan dalam sajak yang bertajuk Katak Dalam Kotak ( 7 Februari 1993) 

Sajak Yum A.Z 

KATAK DALAM KOTAK 

ketika sajak hanya dibaca kalangan penyair saja akupun terpana 
kenapa orang-orang pada mengkotakkan dirinya? 
ketika aku ditanya mau masuk kotak yang mana 
aku semakin tak mengerti saja
kalau tak ingin menjadi penyair percuma 
kenapa mesti merumit-rumitkan kata? 
; kenapa menjadi koruptor bahasa 

ketika sajak membuat penyair jadi terkotak-kotak 
seseorang berbisik padaku,
“Engkau menjadi katak yang mana?” 

Cupak Tangah, 7 Februari 1993

Berbeda dengan sejumlah rekan penyair yang sepertinya ingin dipandang ekslusif sehingga memenjarakan dirinya di dalam menara gading. Bagiku seni dan kepenyairan justru semakin tidak memerlukan menara gading yang malah berpretensi menyembunyikan mutiara hakikat di belantara realitas. 

Ekslusivisme tampaknya menjadi wabah yang memang banyak menyerang para penyair dan seniman umumnya. Saya kira hal ini pulalah yang pada tahap selanjutnya membuat karya mereka jadi berjarak dengan audiens atau masyarakat. 

Buktinya, ketika aku diketahui juga melakoni cabang kesenian yang lain, seperti teater, melukis, menulis novel, cerpen, menjadi jurnalis, menyanyi, bahkan menari. Sangat banyak rekan sesama seniman yang dengan sinis mempergunjingkan untuk mempertanyakan, “Yum A.Z itu sebenarnya mau jadi seniman apa? 

Yum AZ

Pertanyaan itu pula yang selanjutnya mendorongku menuangkan segalanya dalam sajak yang sangat pendek di hari yang sama yang berjudul Seniman Konglomerat (7 Februari 1993), yang kemudian juga kujadikan judul Buku Kumpulan Sajakku periode itu. 

Sajak Yum A.Z (Yulfian Azrial) 

SENIMAN KONGLOMERAT 

jika TUHAN bicara bahasa TUHAN 
Pasti bingung tuan-tuan 
Rasul dan Nabi ikut menggelengkan kepala 

Padang, 7 Februari 1993

Kembali pada fenomena kepenyairan Rumi dan Jami. Fenomena Rumi dan Jami, menurutku telah memperlihatkan bagaimana eratnya ikatan kepenyairan antar mereka, meski itu terpisah beberapa abad. Jami sepertinya memahami dan mendalami benar akan syair-syair Rumi dan lingkaran kehidupan yang menaunginya. Sehingga ia, tanpa takut dituduh epigon, namun tampak berusaha melanjutkan apa yang telah diusahakan Rumi. Lalu mengembangkan segalanya bagai merealisir bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemaren.

Dengan kata lain. Jami coba memiliki apa yang pernah dimiliki Rumi. Tapi sebagai generasi penerus, Jami telah menjabarkan, dan melanjutkan apa yang telah diperjuangkan Rumi dalam geliat kepenyairanya dalam berkontribusi pada kebudayaan manusia yang lebih baik, yaitu kebudayaan yang digubah oleh manusia-manusia yang universal (Al-Insan Al-Kamil).

Adapaun sesuai dengan konsep profetik, maka manusia universal itu adalah manusia yang bercirikan: pertama; manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian; a) dimensi isoterik vertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan b) dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. Kedua; manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya (Achmadi, 1992: 130). 

Maka kerja utama penyair seharusnya adalah untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut lewat kekuatan karya-karyanya. Demikian suatu kesimpulan yang bisa kupetik dari pergulatan yang cukup dahsyat itu.

Beberapa bulan selanjutnya kesimpulan dari fenomena pergulatanku dalam mencari jati diri kepenyairan ini akhirnya tertuang dalam sajakku yang bertajuk Kedirian (9 Juni 1993, yang disempurnakan lagi pada tanggal 2 Juli 1993). 

Sajak Yum A.Z (Yulfian Azrial) 

KEDIRIAN 

igau-igauan jiwa melepuh dari panasnya pergulatan 
kehidupan begitu bergerigi memarut hati
cadas dan karang tempat ombak menghempas membersitkan buih-buih jiwa
orang-orangpun terpesona pada buih dan terlupa 
akan kuatnya arus, seperti listrik
orang sering terpukau hanya pada setiap gerak dan nyala
karena potensi memang sulit diduga
selalu saja banyak yang terpesona pada sekadar kinetiknya

diriku memang bukanlah pemuja gerak dan nyala
tapi mendulang potensi dari sinyal-sinyalnya
bila kau ingin memahami kedirianku
janganlah hanya meneruka padang-padang di awan
atau mencari-cari di buih lautan
karena diri yang berada dalam kedirianku
selalu menyinari dengan kebijakan
dan mengajarkanku untuk tidak berdiam di buih
apalagi untuk berumah di awan
karena diri yang berada dalam kedirianku,
selalu memanggil dengan senyuman
dan mengingatkanku untuk selalu memagutNYA
dalam setiap pelukku

padang 9 Juni 1993, minahasa 2 Juli 1993

Selain Sajak Kedirian itu juga lahir sajak fenomenal lainnya yang senada dengan itu. Itulah Sajak Daun Yang Mengerti (That leaves Understand) yang kemudian banyak diterjemahkan ke berbagai Bahasa di Dunia, dikutip, dimuat dan jadi perbincangan sejumlah kalangan di berbagai media mancanegara. 

DAUN YANG MENGERTI 
Oleh: Yum A.Z (Yulfian Azrial) 


daun itu, mengerti
di mana ia harus tumbuh
--di batang, di cabang atau di ranting-
daun itu, mengerti
apakah ia harus menumbuhkan
-- batang, cabang atau ranting-
; daun itu, mengerti benar di mana titah menyaru bakti
di sepanjang usianya

daun itu, mengerti
ketika kepekatan chlorofil berganti
--menjadi kuning kecoklatan--
daun itu, mengerti
ketika tanah menyaru untuk kembali
--bersatu dengannya--
; di sini pun daun masih mengerti 
untuk menyuburkan tanah di lahan perjuangannya

Catatan : Tulisan ini telah pernah dimuat pada Rubrik Budaya Minggu Ini Haluan tahun 1993, dengan judul Sya`ir Profetik dan Qur’anis dalam Kesusteraan Islam. dan Buku Dari Kemilau Masa Lampau (Kumpulan Esai dan Kritik Sastra) 2015 BIODATA PENULIS Yulfian Azrial, (dalam katalog penyair nasional tercatat dengan nama pena Yum A.Z), lahir di Kabupaten Lima Puluh Kota, 27 Desember 1966 silam. Selain dikenal sebagai sastrawan, penulis dan jurnalis, ia juga Budayawan, Kon sultan Adat, Ke pa la Balai Kajian, Konsultansi, dan Pem ber dayaan (BKKP) Nagari Adat Alam Minangka bau, Direktur Yayasan Anak Nagari, serta Dosen Luar Biasa sejumlah Per gu ruan Tinggi. 

Wajar ka lau ia se ring di un dang sebagai narasum ber ber bagai seminar, lokakarya, sebagai Tim Ahli, di ting kat lokal, nasi onal ataupun regional untuk ma salah-ma salah kebudayaan, sastra, jurnalistik, kajian Me la yu, Nagari Adat, dan perekonomian. Menjadi Juri berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan, dan bahkan diamanahkan menjadi Ketua Asosiasi Kekerabatan Penulis dan Seniman Nasional Kreta Nusantara (sejak 1989), Pimpinan Forum Bisnis Pemuda Berprestasi ASEAN (sejak tahun 2005) dll,

Penghargaan yang pernah diraih selain Anugerah di Bidang Sastra dan Juara di Bidang kepenulisan adalah PDRI AWARD yang diterimanya bersama Dr. Sosilo Bambang Yudoyono, Prof. Taufik Abdullah, Prof. Mestika Zed, dan beberapa tokoh lainnya, serta sejumlah penghargaan untuk kegiatan pengabdian masyarakat serta sebagai pekerja sosial lainnya. 

Yulfian Azrial, mulai tahun 1984, dikenal sebagai penulis produktif di Skh. Singgalang, Haluan, Semangat, Canang, dll, Kemudian tulisannya juga sering muncul di di berbagai media pusat seperti Skh. Kompas, Media Indonesia, Tabloid GO (Gema Olahraga), Majalah Panji Masyarakat, Majalah Islam Estafet,Skm Mutiara dan Skh. Sinar Harapan (alm), dsb.

Setamat di Universitas Andalas Padang, pernah ma lang melintang bekerja sebagai pimpinan dan kon sultan sejumlah majalah dan koran daerah dan bertaraf nasional di Jakarta, seperti Majalah Properti TRADER, Portal Internet PropertyRequest.com, Tabloid KAVLING, Tabloid Pendidikan PENA Indonesia, Skm. Bungsu, Rakyat Mandiri, Tabloid Ummat SURAU. Bahkan diamanahkan jadi Staf Pengajar di LPWI (Lem baga Pen didikan dan Wartawan Indonesia) Jakarta dan instruktur kepenulisan di sejumlah daerah.

Sejak tahun 1990-an lebih banyak menulis buku tentang Adat, di antaranya Budaya Alam Minangkabau, Keterampilan Tradisional Minangkabau yang menjadi buku pe gang an wajib siswa dan guru Budaya Alam Minang ka bau se Sumatera Barat. Kemudian buku umum seperti Seri Adat Sopan Santun Anak Minangkabau ( Tiga Jilid : Adab So pan Santun, Adab Duduak jo Makan, Lang gam Kato Nan Ampek), Seri Wawasan Minimal Orang Minang (Tiga Jilid ; Manjadi Pangulu, Peranan Pangulu dan Batagak Gadang), 

Buku Umum lainnya adalah Tonggak Sejarah PDRI, Dialog Tingkat Tinggi, Meluruskan Adat Menegakkan Syarak, Mengenal Dunia Jurnalistik, Dasar-Dasar Menulis, Teknik Menulis Artikel, Sukses Ke Perguruan Tinggi, Sukses Saudagar Minang, Biografi Drs.Anwar Ali Akbar, Dt.Rajo Harimau,, 25 Top Pengacara Non Litigasi, 30 Top Pengacara Muda Menuju Era Globalisasi, kemudian Seri Khazanah Alam Minangkabau (Tiga Jilid : Khazanah Asal-Usul Minang kabau,. Khazanah Budaya Alam Mi nang kabau, Khazanah Adat Alam Minang kabau.

Buku Puisi yang telah terbit adalah Lapar (1985), Bocah Demonstran( 1985), Seniman Konglomerat (1993), Istana Zamrud (1994), Antologi Bersama : Rumpun ; Puisi Indonesia dari Sumatera Barat 1992 (Pemenang Lomba Puisi Se Sumatera Barat), Berlima Di Sudut Kampus(1993), Teriak Mereka (Banda Aceh 1994, dll. Sejumlah puisinya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, mendapat apresiasi dan ramai diperbincangkan sejumlah sastrawan dan sejumlah media mancanegara. Poetry Poetry from 120 Indonesian poets: Diverse, adalah salah satu kumpulan puisi dunia yang memuat puisinya. (Bagian sebelumnya [Bagian 1]

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar