Oleh: Prof. Dr. Hasanuddin W S, M. Hum
Di dapan saya bertumpuk sajak-sajak –puisi- para sivitas akademika Universitas Bung Hatta yang akan diterbitkan dalam rangka lustrum III universitas ini. Kepada saya diminta untuk memberikan komentasr apresiasi sastra atas sajak-sajak itu. Selesai membaca kesemua sajak itu saya tercegang karena seperti kehilangan akal untuk harus memulai dari mana membicarakannya. Setelah cukup lama berpikir, saya teringat pada Trilogi Oidipus karya Sophokles, lalu saya berkata dalam hati, mengapa tidak saya mulai dari apa yang pernah diungkapkan Antigone, tokoh putri Raja Thebes itu.
Jadi, saya kutip lagi dialog Antigone, tokoh drama Sopokhles yang saya maksudkan itu. Katanya begini, “Banyak keajaiban di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang lebih ajaib daripada manusia. Manusia adalah keajaiban dan kmisterian yang tak terpecahkan, bahkan oleh manusia itu sendiri. Mungkin sampai pada akhirnya, manusia tetap tak jua berhasil menguak kemisterian itu”. Dialog ini menurut saya penting dan menarik karena kita menjadi tahu bahwa dari sekian banyak faktor yang menyebabkan manusia menjadi “misterius” dan yang sekaligus membedakannya dengan makhluk lain adalah persoalan kreativitas. Kreativtaslah yang menyebabkan kehidupan umat manusia berlangsung “semarak” dan “bervariasi”. Tanpa kreativitas kehidupan akan monoton dan tentu saja hidup begitu gersangnya.
Perspektif ini, maksudnya, perbedaan cara pandang dan pengungkapan antara satu penulis dengan penulis lainnya di dalam kumpulan inilah yang merupakan salah satu kesulitan bagi saya untuk bagaimana memberikan komentar apresiasi sastra atas puisi – sajak-sajak – di dalam kumpulan ini, sebagaimana yang saya ungkapkan di awal tulisan ini. Sebagai sebuah antologi, kumpulan “Bung” ini dapat saya katakan begitu “beragamnya”. Kesulitan lain, tentu saj, dari soal “kualitas” karya di dalam kumpulan ini, yaitu tentang apa yang seharusnya diasebut sajak dan bagaimana selayaknya karya yang bernama sajak –puisi- ditulis. Tentu saja paling tidak menurut pemahaman subjetivitas saya berdasarkan bidang ilmu yang saya geluti selama ini. Persoalan lain lagi adalah tentang terlalu jauhnya rentangan pengalaman “bersastra” para penulis sajak di dalam kumpulan ini. Jadi, saya akan jujur saja bahwa begitu banyak kesulitan yang harus saya hadapi untuk memberikan komentar terhadap kumpulan ini. Kesulitan itu cukup besar, khususnya jika komentar harus dilakukan dari sudut pandang analisis kesastraan. Oleh sebab itu, mungkin pengantar apresiasi ini tidak saya fokuskan pada pembicaraan tentang bagaimana seharusnya atau selayaknya puisi –sajak-sajak- ditulis, melainkan apa yang bisa saya tangkap dari apa yang sudah ditulis oleh para penulis kumpulan sajak “Bung” ini.
Dengan cara pandang yang demikian, bagi saya, tentu saja hadirnya kumpulan atau antologi semacam ini pantas di sambut gembira. Dengan beragamnya latar belakang pendidikan dan bidang keilmuan profesi penulis antologi ini, kita menjadi sangat senang dan sumringah karena menulsi sajak bukan milik mereka yang biasa berprofesi dan disebut sebagai penyair saja, tetapi bagi siapa saja.
Sepuluh penulis memiliki cara sendiri-sendiri di dalam mengkomunikasikan intuisinya. Satu-dua penulis yang mungkin karena (sebagaimana pengakuan mereka di dalam biodatanya) biasa menulis sajak, mereka menulis dengan menyandarkan pada sisi konotatif bahasa. Memang, penulisan semacam ini cukup menarik. Sajak memang biasanya menggunakan tataran bahasa pada aspek makna konotatif bahasa. Beberapa sajak yang ditulis Boy Yendra Tamin menunjukkan hal itu, misalnya sajak Seekor Ikan Dalam Aquarium dan Catatan Paviliun Nomor 33 . Di pihak lain, Free Hearty menulis dengan memanfaatkan permainan kata. Kata dimainkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan makna sebagaimana yang diinginkan penulisnya. Sajaknya yang berjudul Kata-kata Kita dan Rahasia maut memperlihatkan kepada kita apa yang saya maksudkan itu. Sementara itu, penulis lainnya seperti Endut Ahadiat, Harfiandri D, Hermawan, Nursyam Saleh, Suardi ML, Suparman Khan, juga Yetti Morelent menulis dengan meilih cara yang lugas. Lugas dalam pengertian yang umum. Maksudnya, hal yang ingin dikomunikasikan langsung dituangkan ke dalam tulisan tanpa melalui sublimasi dan subtilisasi. Bakhan beberapa penulis menulis sajak dengan cara dan teknik sebagaimana menulis defenisi dan atau ketika sedang berbicara dab berujar langsung. Lihat sajak-sajak yang ditulis Suardi ML dan Yetti Morelent. Semenatara itu, di pihak lain, Hermawan, Nursyam Saleh, dan Endut Ahadiat lebih memilih mendeskripsikan suasana hati. Harfiandrai D. memiliki ciri tersendiri dari penulis lainnya karena idiom yang digunakannya memiliki satu obsesi yang berhubungan dengan laut. Begitulah, para penulis sivitas akademika Universitas Bung Hatta ini berekspresi tentang persoalan manusia dan kemanusiaan melalui karya-karya puisi mereka dengan cara mereka sendiri.
Terlepas dari bagaiamana mereka memilih dan menggunakan bahasa sebagai medium berekspresinya, mereka ternyata bertutur tentang persoalan-persoalan kemanusiaan yang universal. Mereka berbicara tentang kesetiaan, keserakahan, kemunafikan, kerinduan, serta persoalan purbawi manusia, yaitu persoalan kesepian. Bukankah bapak semua manusia, Adam, juga terjebak pada sisi kesepian yang ternyata kemudian melahirkan sejarah panjang kehidupan manusia di muka bumi ini. Memang ketika kita menulis sastra sesungguhnya yang kita tulis adalah persoalan manusia dan kemanuisaan kita.***