Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Senandung Laut

Oleh : Dasril Ahmad

Di laut ada ombak. Ombak pun senantiasa menghempasi pantai. Pantailah akhirnya sosok setia sebagai pelabuhan yang melabuhkan apa saja! Untuk nyaman berlabuh, maka dibuatkan dermaga. Tapi, bagaimana jika suatu saat laut berlabuh tak lagi di dermaga? Inilah pertanda ombak makin mengganas-buas. Bayangan hitam tentu siap menerkam apa saja yang bisa diterkamnya. Dengan demikian, sajak-sajak pun banyak lahir dari tragedi dahsyat tersebut. Penyair terobsesi karenanya. Siang dan malam, berhari-hari godaan untuk mengungkapkan sebuah tragedi selalu sulit dibendung. Penyair mengendapkan tragedi itu di dalam dirinya, kemudian pasang ancang-ancang untuk menulis sajak.

Sajak-sajak tentang laut, ombak, pantai, dermaga, riak dan buih senantiasa mendapat tempat di hati penyair, terutama penyair remaja. Ini dimaksudkan karena hal-hal itu merupakan masalah yang dapat dipijaki untuk mengungkapkan perasaan dan suasana hati yang sedang bergelora dilanda badai asmara. Berbagai persoalan kejiwaan akan terungkap lewat simbol-simbol dari alam tersebut, jika penyair ingin menulis sajak. Apalagi yang tak lebih indah, tak lebih baik ditulis, kecuali hal-hal yang merupakan persoalan diri sendiri. Persoalan pribadi yang benar-benar diendap, direnung dan dihayati sepenuh jiwa.
senandung laut pantai padang
Pantai Padang (foto:wisatasumber.net)

Ada anggapan, penyair yang akrab dengan alam selalu setia menyendiri di tempat-tempat sepi. Anggapan itu ada juga benarnya. Tapi, dalam menulis puisi tidaklah selalu bersepi-sepi. Puisi sepi pun terkadang ditulis di tengah hiruk-pikuk keramaian dan keriuhan. Itu semua dimaksudkan bahwa sebenarnya di tengah keriuhan, penyair diam-diam merindukan suasana sepi, penuh ketenteraman dan kedamaian, I Hal ini sebenarnya juga merupakan suatu persoalan bagi kita semua. Bukankah jika kita berada di dalam suasana hiruk-pikuk, diam-diam dalam hati kita merindukan suasana yang tenteram? Maka, untuk mengungkapkan desir kerinduan itu secara artistik, penyairlah yang senantiasa berada di barisan terdepan.

Di tengah kesepian penyair selalu merasakan kerinduan. Rindu pada kekasih, rindu pada kampung halaman dan lain sebagainya. Laut yang selalu bersenandung, ombak-ombak yang tak letih menghempas, riak dan gelombang yang memberi ciri bahwa laut itu indah, lekas mengundang rasa rindu di hati penyair. Tapi dalam keadaan demikian, rindu tersebut bukannya tak bertepi. Di mata penyair, ombak yang beriak, terkadang juga dipandang sebagai pemberi kekuatan baginya untuk menyeret rindu jauh ke tengah lautan. Sebab, sangatlah mustahil jika selalu merindukan sesuatu (seseorang) yang tak kunjung kembali.

Kenanganlah kini yang jadi teman setia seiring dengan senandung laut sebagai saksi kepergian seseorang yang kini dirindukan itu. Laut pun pada saatnya dirasakan kehilangan senandung, tidak seperti mentari yang selalu bersinar semarak. Jiwa akhirnya jadi merana, seperti laut yang tanpa dermaga. Siapa lagi yang akan mau berlabuh di situ? Itulah persoalannya. Itulah lukisan jiwa seorang anak manusia yang tengah dilanda cinta. Sepotong nasihat pun waktu itu dapat dirasakan sebagai racun dan duri, karena hati sedang luka-nestapa! Pikiran serta-merta jadi panik. Ke mana kepanikan itu akan dilabuhkan? Sedangkan laut tak lagi punya dermaga. Tapi, sangatlah bijaksana jika tiba-tiba muncul kesadaran bahwa kepanikan tak harus diselesaikan dengan putus-asa.

Sajak-sajak yang kita nikmati minggu ini, kurang lebih mengungkapkan persoalan-persoalan di atas. Ada gemai cinta di hati, lalu dibuhul dengan perpisahan yang menimbulkan perasaan rindu teramat-sangat. Kerinduan ini tiba-tiba lebur di bibir laut, di hempasan ombak dan di riak gelombang. Tapi ternyata, laut pun tak lagi punya dermaga. Pelukisan-pelukisan suasana semacam ini di dalam sajak sungguh menyejukkan. Itulah yang diungkapkan oleh Zulmasri dalam sajaknya “Ombak Purus Masih Menghempas”, R. Gumala dengan sajak “Dermaga” dan Ispar Musmar dengan sajak “Panik”. Tiga sajak ini telah berbicara secara kronologis kepada kita, yakni tentang cinta, rindu , dan kehidupan getir yang disimbolkan dengan senandung laut yang tak kunjung habis. (Padang, 25 September 1991) ***

*). Esei “Pengantar Sajak” (Dari Koleksi Tulisan Lama). Dimuat “RMI” Haluan Minggu, 6 Oktober 1991.

Sajak-Sajak “Remaja Minggu Ini”, Haluan Minggu, 6 Oktober 1991

ombak purus masih menghempas
/zulmasri

ombak purus masih menghempas
dengan semilir angin menyibak kisi hati yang lelah
seekor camar melayang rendah
menepis buih yang kian menjauh
aku berdiri terdiam
malam semakin panjang, ombak bergelora lagi
tak ada siapa dan apa di sana
kumendekap erat bayang-bayang sendiri
sebelum akhirnya terjaga dari mimpi
ombak kian menghempas jauh
rinduku pun semakin luruh
di jalan-jalan lengang, aku pun jalan lagi 
sendiri
entah ke mana
bersama anganan yang pengap oleh luka dan rindu
Kambang, 15 Juli 1991

dermaga
/r. gumala

Segala letih tumpah
pelayaran terakhir
memburu detak nadi menderu
Kemana senandung laut sedangkan mentari begini
-marak
Hanya, aku tergugu ketika kepak menghitam
pelan beranjak
pulang!
Bulan memucat
Kali ini lagi,
Laut tanpa dermaga
Juli ‘91

Panik
/ispar musmar

nasehat terasa racun
kebenaran bagaikan duri
pelajaran bak pedang
itulah panik
mestikah ia datang dalam perjuangan
haruskah ia hadir dalam kedukaan
mestikah ia tiba dalam kelukaan
panik hadir tak kenal persahabatan
itulah panik
haruskah ia diakhiri dengan frustrasi
haruskah ia dilenyapkan dengan ganja
haruskah ia disingkirkan dengan menyiksa nyawa
itulah … panik
semuanya bukan jawaban
ternyata kepanikan tak mesti dijawab dengan putus asa

Pariaman, Juli 1991

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar