MAJALAH sastra “Horison” edisi Desember 2014 yang saya terima siang tadi (Sabtu (06/12/2014) berisi sajian utama yaitu pidato Orhan Pamuk (novelis kelahiran Istanbul, Turki, 7 Juni 1952) ketika menerima Hadiah Nobel Sastra 2006. Pidato Orhan Pamuk berjudul “Kopor Ayah Saya” ini cukup panjang dan sangat menarik disimak, di antara cuplikannya adalah:
“Dua tahun sebelum kematiannya, ayah saya memberikan kepada saya sebuah kopor kecil yang sarat dengan tulisan-tulisan, manuskrip-manuskrip, dan catatan-catatan. Dengan separuh bercanda dan separuh mencemooh, dia mengatakan kepada saya bahwa dia ingin saya membacanya setelah ia pergi, yang artinya setelah dia wafat.”
“Jika seorang penulis mesti mengisahkan ceritanya sendiri, kisahkanlah dengan perlahan-lahan, seolah-olah itu cerita tentang orang lain. Jika dia merasa kekuatan cerita bangkit di dalam dirinya, jika dia duduk di depan meja dan dengan tabah menyerahkan dirinya kepada seni ini ---kerajinan ini--- dia mesti menaruh harap”.
“Acap saya berpikir bahwa jika saya bisa menulis dari imajinasi saya, dari saat ke saat, itu lantaran, tak seperti banyak teman saya dari masa kanak dan remaja, saya tak takut kepada ayah saya, dan terkadang saya percaya bahwa saya bisa menjadi penulis karena ayah saya juga ingin menjadi penulis, di masa mudanya.”
Di samping pidato, Horison bulan ini juga memuat sebuah cerita pendek karya Orhan Pamuk berjudul “Kerabat Jauh: Seorang Pemuda Membeli Sebuah Dompet untuk Tunangannya”. Lebih menarik lagi, Horison kali ini memuat 4 puisi karya Vinca Dia Kathartika Pasaribu, penyair kelahiran Jember, 17 Februari 1996. Puisi penyair (wanita) muda usia ini terasa kekuatan bahasa ucapnya, meski dengan struktur yang sederhana saja. Kita nikmati sebuah di antara 4 puisi Vinca Dia Kathartika Pasaribu tersebut.
Saat Maut Berpuisi
/Vinca Dia Kathartika Pasaribu
Kutatap purnama
Nanar menerka jumlah waktu yang telah gugur dan akan kembali gugur
Di pangkuan ibu
Yang sedang merajut masa dengan untaian kabut
Aku tertawa pilu
Tawaku menjelma benih yang akhirnya tumbuh menjadi semak berduri
Semak berduri yang menusukku sendiri
Jiwaku memar dan penuh luka
Hingga tak kenal diri
Saat maut berpuisi, aku telah merebahkan diri
Sambil tersenyum perih.
21.4.2013
( Catatan Drs. Dasril Ahmad, tinggal di Padang)
Horison |
“Jika seorang penulis mesti mengisahkan ceritanya sendiri, kisahkanlah dengan perlahan-lahan, seolah-olah itu cerita tentang orang lain. Jika dia merasa kekuatan cerita bangkit di dalam dirinya, jika dia duduk di depan meja dan dengan tabah menyerahkan dirinya kepada seni ini ---kerajinan ini--- dia mesti menaruh harap”.
“Acap saya berpikir bahwa jika saya bisa menulis dari imajinasi saya, dari saat ke saat, itu lantaran, tak seperti banyak teman saya dari masa kanak dan remaja, saya tak takut kepada ayah saya, dan terkadang saya percaya bahwa saya bisa menjadi penulis karena ayah saya juga ingin menjadi penulis, di masa mudanya.”
Di samping pidato, Horison bulan ini juga memuat sebuah cerita pendek karya Orhan Pamuk berjudul “Kerabat Jauh: Seorang Pemuda Membeli Sebuah Dompet untuk Tunangannya”. Lebih menarik lagi, Horison kali ini memuat 4 puisi karya Vinca Dia Kathartika Pasaribu, penyair kelahiran Jember, 17 Februari 1996. Puisi penyair (wanita) muda usia ini terasa kekuatan bahasa ucapnya, meski dengan struktur yang sederhana saja. Kita nikmati sebuah di antara 4 puisi Vinca Dia Kathartika Pasaribu tersebut.
Saat Maut Berpuisi
/Vinca Dia Kathartika Pasaribu
Kutatap purnama
Nanar menerka jumlah waktu yang telah gugur dan akan kembali gugur
Di pangkuan ibu
Yang sedang merajut masa dengan untaian kabut
Aku tertawa pilu
Tawaku menjelma benih yang akhirnya tumbuh menjadi semak berduri
Semak berduri yang menusukku sendiri
Jiwaku memar dan penuh luka
Hingga tak kenal diri
Saat maut berpuisi, aku telah merebahkan diri
Sambil tersenyum perih.
21.4.2013
( Catatan Drs. Dasril Ahmad, tinggal di Padang)