Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Sastra Berfungsi sebagai Kritik Sosial, Dr. Endut Ahadiat, M. Hum

KARYA sastra berfungsi sebagai kritik sosial. Adapun tindakan mengkritik dapat dilakukan oleh siapa pun termasuk sastrawan, dan kritik sosial merupakan suatu variabel penting dalam memelihara sistem sosial yang ada. Kritik sosial dalam karya sastra adalah salah satu bentuk komunikasi dalam masyarakat yang bertujuan sebagai kontrol terhadap jalannya suatu sistem sosial atau proses bermasyarakat. Sastra justru dipandang paling ampuh dalam melakukan kritik sosial terhadap kekuasaan dan sebuah tatanan yang menyimpang dari kelaziman.

Demikian antara lain dikemukakan promovendus Endut Ahadiat dalam ujian terbuka Program Doktor Ilmu Pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang (UNP), Senin (13/2) lalu. Dalam kesempatan itu, dosen sastra FIB Universitas Bung Hatta, kelahiran Bandung 14 November 1965 ini, mempresentasikan disertasinya berjudul: “Kritik Sosial dalam Cerpen Pilihan Harian Kompas Karya Pengarang Minangkabau” di depan tim pembahas/penguji : Prof. Nurhizrah Gistituati, M.ed., Ed.D., Prof. Dr. Azwar Ananda, M.A., Prof. Dr. Ahmad Fauzan, M.Pd., M.Sc., Prof. Dr. Agustina, M. Hum., dan Prof. Dr. Oktavianus, M. Hum., dengan Promotor/Penguji, Prof. Dr. Hasanuddin, W.S., M. Hum., (Ketua), Prof. Dr. Harris Effendi Thahar, M. Pd., (Anggota) dan Dr. Ngusman Abdul Manaf, M. Hum. (Anggota).

Menurut Endut Ahadiat, kritik sosial dalam sastra telah dilakukan oleh para sastrawan Indonesia, bukan hanya pada masa orde baru, tetapi juga jauh sebelum Indonesia merdeka, bahkan pada masa kerajaan pun para pujangga sudah melakukan kritik sosial. Pujangga Kraton Surakarta pada abad ke-19 seperti Ronggowarsito sudah banyak melahirkan puisi bertema kritik sosial. Sastrawan Indonesia modern dalam awal perkembangannya hingga sekarang, banyak melahirkan karya sastra bernuansa kritik sosial. Sebut saja misalnya, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, A.A. Navis, Rendra, Wiji Tukul, dan Arswendo Atmowiloto. Dominannya kritik atau protes sosial dalam sastra itu identik pula dengan dominannya masalah sosial dalam kehidupan atau lembaga di luar sastra. Dalam hal ini, kritik sosial adalah tanggapan karya sastra terhadap hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat atau kepentingan umum, yang disertai uraian, dan perbandingan tentang baik-buruknya karya sastra tersebut.

Cerpen Pengarang Minangkabau

Dalam disertasi setebal 315 halaman, promovendus Endut Ahadiat fokus meneliti masalah kritik sosial dalam 17 cerita pendek karya pengarang (dari) Minangkabau (A.A. Navis, Harris Effendi Thahar, Gus tf Sakai, Ismet Fanany, Helen Yahya, Adek Alwi, Damhuri Muhammad, dan Joni Syah Putra), yang dimuat dalam buku cerpen pilihan Kompas dari tahun 2000 sampai 2010. Menurut dia, kritik sosial dalam penelitian ini dicermati melalui teks cerpen, yang terlebih dahulu dijajaki melalui struktur cerita: alur, penokohan (aktivitas tokoh, penampilan tokoh, ucapan tokoh, perilaku/peran tokoh), dan latar cerita. Dengan demikian penelitian ini bertujuan selain untuk menjelaskan masalah-masalah kritik sosial yang (menjadi fokus dan sasaran kritik) diungkapkan pengarang Minangkabau, juga sekaligus menjelaskan cara pengarang menyampaikan kritik sosialnya di dalam cerpen-cerpen pilihan Kompas tersebut. Kritik sosial itu adalah masalah kejahatan, disorganisasi keluarga, perperangan, dan pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat.

Promovendus menyatakan, pengarang menciptakan karyanya untuk merespon situasi zamannya. Dengan demikian, apa yang menjadi kritik sosial pengarang dapat diketahui dari karya-karyanya. Betapa pun cerpen sebuah fiksi, ia tetap merefleksikan situasi zamannya. Di samping itu, ide dan pemikiran pengarang diletakkan pada tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Oleh sebab itu, penelusuran kritik sosial dalam cerpen dapat dilihat dari cara pengarang memperlalukan tokoh-tokoh ceritanya. Begitu pula dengan pengarang Minangkabau, penyampaian kritik sosial dalam cerpen antara lain tampak lewat tuturan dan tindakan tokoh utama, melalui gaya bahasa dan tuturan narator.

Di samping itu, dalam pengamatan Endut Ahadiat, pengarang Minangkabau dalam menulis karya sastra (cerpen) tetap selalu mengangkat tentang kehidupan di sekitar orang-orang Minangkabau sendiri, meskipun ada beberapa pengarang yang tidak berdomisili di Sumatra Barat. Hal ini menunjukkan bahwa pengarang Minangkabau masih tetap memegang ideologi budaya yang sangat kuat. Sehingga dalam berkarya mereka tetap berretorika dan berdialektika dalam membicarakan tentang kehidupan masyarakat dan alam Minangkabau. Artinya di mana pun mereka (pengarang) Minangkabau berada, tetap yang mereka bahas dalam cerpen adalah tentang kehidupan masyarakat di Minangkabau.

“Karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat, maka masyarakat yang dituju oleh pengarang Minangkabau adalah hubungan antara pengarang dan masyarakat Minangkabau itu sendiri, seperti terlihat dalam isi cerita yang digambarkan oleh pengarang Minangkabau secara keseluruhan dalam cerpen-cerpen yang dijadikan data penelitian ini,” jelas Endut Ahadiat menjawab pertanyaan tim penguji.

Di akhir ujian, Prof. Nurhizrah Gistituati, M.ed., Ed.D selaku ketua tim penguji menyatakan, bahwa hari ini Univ. Negeri Padang melahirkan lagi seorang doktor ilmu pendidikan. “Mulai hari ini saudara Endut Ahadiat berhak memakai gelar akademik, Dr. Endut Ahadiat, M.Hum, yang dinyatakan lulus ujian ini dengan ‘sangat memuaskan’,” jelas Nurhizrah Gistituati yang kemudian diikuti dengan penyerahan ijazah doktor kepada Endut. *** (Dasril Ahmad).

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar