Penyair pada dua bait pertama dari bagian pertama syairnya, melambangkan jiwa seorang musafir dengan tamsil burung unggas sebagai wujud kebebasan seseorang dan perjalanan rohani seorang musafir tersebut dalam mencari jati diri yang sebenarnya. Penggambaran tersebut tampak dalam bait berikut:
Thair al-‘Uryan unggas ruhani
Di dalam kandang hadrat Rahmani
Warnanya pingai terlalu safi
Tempat kursi yang Maha ‘Ali
Dari bait di atas dikatakan bahwa burung unggas tersebut adalah burung rohani, yang merupakan gambaran awal dari seorang musafir yang ternyata adalah seorang sufi yang sedang melakukan perjalanan rohani guna mencari jati dirinya. Dengan hadrat rohani sebagai kandangnya, dimana dalam perjalanannya tersebut kehadira ilahi selalu berada didekatnya yang selalu menyertai perjalanan tersebut. Yang memiliki niat yang suci untuk melakukan pengembaraannya, disini penyair menggunakan tamsil “warnanya pingai terlalu sufi” yang berarti niat seorang sufi tersebut sangat mulia dan suci, dan semata-mata untuk emncari keridhaan ilahi. Seseorang yang menempuh perjalanan suci dan semata-mata hanya mencari keridhaan ilahi tempatnya tak lain adalah berada disisi Sang Khaliq, sehingga begitu mulianya seorang sufi yang digambarkan oleh penyair dalam syairnya di atas. Kemudian bait syair di atas diikuti dengan bunyian berikut:
Sungguhpun ‘Uryan bukannya gila
Mengaji al-Qur’an dengan tertila
Tempat mandi sungai Salsabila
Di dalam Firdaus ra’su Zanjabila
Akan tetapi, perjalanan rohaninya tersebut bukan karena gila akan tetapi penuh dengan keridhaan ilahi dan perenungan akan dirinya yang sangat dalam. Dalam perjalanannya, dia selalu membaca al-Qur’an sebagai sarana untuk menenangkan jiwanya guna mencapai hakikat dirinya. Dan hanya seorang sufi dengan niat yang tulus dan suci penuh dengan perenungan diri dan semata-mata mengharap ridha ilahi pada akhirnya memperoleh perlakuan istimewa dengan sungai salsabila sebagai tempat mandi guna mensucikan tubuh dari segala kotoran yang melekat pada tubuhnya, baik kotoran berupa kotoran bathiniah maupun kotoran lahiriah yang dimilikinya. Dan sungai salsabilah tersebut berada di dalam firdaus yang diperuntukkan hanya bagi orang yang benar beruntung di dunia, yang selalu menjalankan syari’at secara baik dan benar serta selalu berusaha meninggalkan segala yang dilarang oleh syari’at.
Dalam ilmu tasawuf, makna ‘uryan melambangkan sufi yang membuang dirinya dari urusan duniawi dan ini sesuai dengan yang dilakukan penyair, disamping itu juga tahap ini merupakan tahap awal dalam perjalanan rohani sufi. Setelah itu dalam rangka betul-betul mencari dan mencapai jati diri yang sebenarnya, penyair mengatakan:
Minuman itu yogya kau permain
Supaya lupa engkau akan kain
Buangkan wujudmu cari yang lain
Inilah ‘Uryan pada ahl-batin
Seorang sufi tersebut harus menanggalkan segala kebesaran yang masih melekat dalam diri dan jiwa agar betul-betul bersih dari unsur-unsur duniawi dan merasakan kehadiran Ilahi yang sesungguhnya dalam jiwanya tersebut. Bahkan dia pun harus melepaskan segala watak buruknya dengan melakukan pembersihan hati dan jiwa dan menggantinya dengan hati dan jiwa yang suci, penuh dengan rasa cinta pada Sang Khaliq, sehingga perjalanan rohaninya betul-betul suci dan murni.
Di sini penyair betul-betul mengerti bagaimana seharusnya seseorang yang ingin lepas dari urusan duniawi menuju dunia yang lebih baik yaitu dunia sufi yang penuh dengan unsur-unsur spiritual yang begitu kuat.
Di dalam mengarungi kehidupan yang fana, penuh dengan keindahan dan kemewahan yang penuh dengan tipu daya dan muslihat, hanya ada satu pegangan yang disampaikan oleh penyair yaitu selalu berpegang pada Tauhid. Sehingga dengan memiliki landasan dasar berupa Tauhid dengan kuat, maka seorang manusia tidak akan mudah tergoda untuk melanggar syari’at. Dunia ini diibaratkan oleh penyair laksana lautan yang luas dan lepas, tak berujung dan berpangkal, dengan ombak besar yang selalu siap untuk menyeret dan menenggelamkan siapa saja yang terlena dan tidak memiliki niat dan landasan yang kuat dan benar, belum lagi dengan bebatuan karang yang tajam, yang dalam hal ini berupa keindahan dan kemewahan dunia yang memukau namun penuh dengan tipuan dan muslihat yang dapat menghancurkan hati dan jiwa manusia yang tidak memiliki pegangan.
Kerjamu itu hai anak dagang
Pada ahl-ma’rifat terlalu malang
Marikab Tauhid Yogya kau parang
Di tengah laut yang berkarang
Penggunaan kata “anak dagang” dalam bait di atas merupakan makna lain dari musafir yang berkelana. Setelah membebaskan diri dari urusan duniawi dan melepaskan segala kebesaran yang melekat dalam dirinya serta selalu berpegang pada Tauhid dengan niat yang suci dan tulus dengan menjalankan syari’at secara baik dan benar, maka seorang sufi tersebut akan dapat mencari dan mencapai pada jati dirinya yang sebenarnya. Siapa dirinya yang sebenarnya dan apa yang seharusnya dilakukan oleh dirinya dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan penuh dengan tipu daya serta muslihat bagi yang belum siap dan mudah tergoda oleh rayuan dunia. (Tamat)