Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Penerima Anugerah Sastra A.A. Navis 2016 Lamia Putri Damayanti; A.A. Navis Adalah Sastrawan Favorit Saya

Sebagai penulis, Lamia Putri Damayanti (22 tahun) memang belum banyak dikenal dalam khazanah sastra Indonesia. Padahal, penulis wanita kelahiran Magelang, 6 Oktober 1994, yang kini masih mahasiswa semester 7 jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM ini telah menulis cerita pendek sejak SD, tapi diakuinya selama ini baru 4 cerpennya yang diterbitkan di Majalah “Kawanku”, dan 5 cerpen lainnya terbit dalam buku antologi cerpen pada kisaran tahun 2012 – 2013 lalu.

Selain kuliah dan menulis, Lamia juga aktivis kampus. Sejak 2013, ia aktif di kampus, antara lain di lembaga Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM (2013 – 2014); mengelola Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM; sebagai Kreatif Redaksi Buletin Balkon BPPM Balairung (2015), Redaktur Pelaksana BPPM Balairung (2016), dan Direktur Eksekutif Jurnal BPPM Balairung (2016). Justru itulah, tulisan Lamia berupa fiksi, esei dan karya jurnalistik, lebih banyak diterbitkan di Balairung Koran (Balkon), dan di Majalah Balairung UGM yang dikelolanya, termasuk juga di laman situs balairungpress.com, dan laman bentangpustaka.com.

Sebuah tulisan opininya tentang “Gender dan Seksualitas” juga dimuat di Majalah BPPM Psikomedia UGM. Di samping itu, Lamia yang juga menguasai teknik fotografi ini, pernah menjadi salah satu nominasi dari lima penulis terbaik dalam acara tahunan Gajah Mada Award. Ia juga menulis novel. “Dering Kematian” adalah judul novelnya yang diterbitkan oleh Bentang-ebook.

Selama ini, Lamia Putri Damayanti memang belum banyak dikenal sebagai penulis (hebat). Tapi siapa nyana, bergulirnya Lomba Cipta Sastra Aksara 2016 (lomba menulis cerpen dan novel se-Indonesia), yang ditaja atas kerjasama Program Bahasa dan Kajian Indonesia, Deakin University, Melbourne, Australia; Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang (UNP); dan Penerbit Angkasa Bandung sejak Desember 2015 sampai Mei 2016 lalu, memantik kreativitasnya untuk ikut berlomba. Ia menulis cerpen baru yang khusus ditulisnya untuk ikut lomba ini. Ternyata, cerpennya berjudul “Hunian Ternyaman” dinilai dewan juri sebagai cerpen terbaik I, dan tentu saja, Lamia berhak menerima Anugerah Sastra A.A. Navis 2016 (untuk kategori cerpen).
Penerima Anugerah Sastra A.A. Navis 2016 Lamia Putri Damayanti

Prestasi ini membuat Lamia Putri Damayanti gembira dan namanya kini mulai dikenal sebagai penulis cerpen yang “hebat!”. Kebahagiaan Lamia pun semakin lengkap, karena selain menerima anugerah sastra yang memakai nama A.A. Navis, sastrawan favoritnya, juga impiannya untuk berkunjung ke kota Padang yang lama dipendam, kini akan terwujud. “Padang, Lamia datang...!” tulis Lamia di akun facebooknya, 1 Juli 2016 lalu, sehari setelah pengumuman hasil lomba. Betapa tidak, penulis Lamia Putri Damayanti akan menerima Anugerah Sastra A.A. Navis ini di kota Padang, pada pertengahan Agustus 2016 mendatang.

“Cerpen ‘Hunian Ternyaman’ merupakan cerpen baru yang saya tulis khusus untuk ikut lomba A.A. Navis Award ini. Saya senang, A.A Navis adalah sastrawan favorit saya. Saya sudah banyak membaca karya A.A Navis. Saya sangat mengagumi pemikiran beliau dalam karya-karyanya, karena beliau selalu berani dalam mengungkapkan gagasan,” kata Lamia Putri Damayanti ketika diwawancarai, Rabu (20/7). Berikut, petikan wawancara selengkapnya.

- Sejak kapan anda menulis cerpen?
+ Menulis cerpen sebetulnya sudah sejak SD. Tapi tidak begitu sering karena pada saat itu saya jarang sekali membaca. Akses membaca memang menjadi kendala pada waktu itu. Baru ketika SMP saya mulai sering menulis cerpen, walaupun hanya berakhir tersimpan dalam laptop. Hehehe.

- Tampaknya anda lebih senang menulis fiksi (terutama cerpen) ketimbang puisi. Kenapa?
+ Sebenarnya saya juga suka menulis puisi. Tapi dua tahun belakangan memang sudah jarang menulisnya. Saya lebih senang menulis prosa maupun cerpen. Alasannya karena saya bisa lebih banyak menjabarkan suatu perspektif, wacana, maupun gagasan dari berbagai sudut pandang dengan detail-detail seperti alur, penokohan, dan lain-lainnya yang bisa berkorelasi dengan kehidupan sehari-hari.

- Apakah anda hidup dalam lingkungan keluarga yang juga penulis?
+ Saya tidak hidup dalam lingkungan keluarga yang juga penulis. Bahkan keluarga saya tidak begitu familiar dengan karya-karya sastra. Namun, ayah saya cukup mengenal banyak karya penulis terkenal, walaupun beliau jarang memperkenalkan kepada saya karya-karya tersebut. Bisa dibilang, selama ini saya belajar menulis, ya, dengan kemauan diri saya pribadi. Jadi, saya mendapat informasi tentang banyak karya sastra dengan mencarinya sendiri.
- Cerpen "Hunian Ternyaman" merupakan cerpen terbaik I Lomba Cipta Sastra Aksara 2016, dan membawa anda meraih A.A. Navis Award pertama ini. Selintas, kisah dan pesan apa yang anda ungkapkan dalam cerpen itu?
+ Sebenarnya, apa yang ingin saya ungkapkan dalam cerpen tersebut adalah tentang lingkungan tempat tinggal, budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Apa yang terjadi saat ini adalah, orang-orang sudah mulai melupakan apa yang ada di sekelilingnya dan lebih mengutamakan diri sendiri. Padahal, entitas yang paling penting dalam kehidupan manusia adalah saling berinteraksi, tapi kehidupan modern yang saat ini menjadi standar ganda masyarakat mulai membelenggu hal tersebut. Kita jadi lupa hal-hal sederhana yang sebenarnya tidak boleh dilupakan.

Cerpen ini sendiri terinspirasi dari lingkungan tempat saya kuliah, yaitu di Jogja. Setahun belakangan saya sempat beberapa kali meliput persoalan pembangunan di Jogja. Terutama dalam hal keberuntungannya. Cerpen ini juga saya buat berdasarkan riset yang saya baca mengenai budaya pola pemukiman masyarakat modern dan masyarakat yang tidak modern. Kalau di Jawa, ada istilahnya srawung, yaitu bergaul. Kita mungkin bergaul dengan banyak orang, tetapi dengan tetangga sendiri tidak mengenal. Kita mungkin mengenal beberapa orang di luar negeri, tetapi dengan tetangga sendiri tidak mengetahui. Nah, hal-hal seperti ini yang ingin saya usik. Bagaimana manusia sudah lupa bahwa berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting. Jangan sampai standar ganda yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kultur adat, membuat sistem dalam masyarakat jadi timpang. Seperti halnya pembangunan apartemen di Jogja yang makin marak dewasa ini.

Jadi, sebenarnya saya ingin melempar pertanyaan kepada para pembaca, hunian terbaik seperti apa yang bisa kita miliki? Hunian ternyaman seperti apa yang bisa kita tinggali? Sebab, bagi saya, rumah akan menjadi tempat terbanyak kita menghabiskan waktu. Dan bukankah, akan lebih baik kita tidak menghabiskan waktu untuk diri sendiri saja? Dan budaya srawung menjadi entitas penting dalam rumah-rumah yang akan kita tinggali. Sebenarnya, hal itu tergantung dari bagaimana perspektif orang. Tapi bagi saya pribadi, hunian ternyaman adalah ketika kita tidak melupakan orang lain, dan terus hidup bermasyarakat.

- Apakah cerpen "Hunian Ternyaman" merupakan cerpen baru yang khusus anda tulis untuk lomba ini, atau cerpen lama?
+ Cerpen ini merupakan cerpen baru yang khusus saya tulis untuk lomba ini. Sesungguhnya, ide cerita ini sudah ada semenjak setahun lalu, yaitu kali pertama saya meliput berita tentang apartemen. Namun, baru saya tulis ketika ada lomba AA Navis Award ini. Kebetulan tema cerita lomba juga sesuai dengan ide cerpen.

- Apakah anda mengenal dan pernah membaca buku-buku sastra (cerpen dan novel) karya sastrawan A.A. Navis?
+ Bisa dibilang, A.A Navis adalah sastrawan favorit saya setelah Zawawi Imron dan Joko Pinurbo. Saya sudah banyak membaca karya A.A Navis. Saya sangat mengagumi pemikiran beliau dalam karya-karyanya, karena beliau selalu berani dalam mengungkapkan gagasan.

- Apa karya A.A. Navis yang paling anda sukai?
+ Karyanya yang paling saya kagumi adalah cerpen “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini saya baca ketika kelas satu SMP. Salah satu kisah yang membuat saya sadar bahwa untuk mendapatkan Ridha Allah tidak melulu harus melalui ritual peribadatan. Bahkan, menurut saya, A.A. Navis seolah menekankan bahwa hidup di dunia tidak hanya beribadah kepada Allah semata, tetapi juga harus berinteraksi dengan sesama manusia. Karya ini sendiri, menurut saya sangat gagah berani, karena mencoba memberikan suatu persepsi lain dalam memandang agama. ***

Padang, 20 Juli 2016
Pewawancara : Dasril Ahmad

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar