Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Laut dan Batu Karang

Oleh : Dasril Ahmad

Di dalam sajak, mengambil simbol-simbol dari dan tentang laut memberikan nuansa tersendiri yang menyentuh nurani. Seperti halnya sifat laut, maka imaji di dalam sajak tersebut berlompatan, liar, tak tentu arah. Berbagai aspek gelombang kehidupan dan emosi yang tak terduga biasanya tampil memikat di dalam sajak tersebut. Keuletan, kegigihan, perjuangan, kedamaian dan ketenangan sering diungkapkan dengan menyimbolkan laut ini. Simaklah sajak Sutan Takdir Alisjahbana “Menuju ke Laut”, di situ bagi STA, laut adalah simbol perjuangan. Sementara Sanusi Pane memandang laut sebagai lambang ketenangan (dalam sajak “Dibawa Gelombang”).

Kehidupan laut banyak diungkapkan oleh penyair Indonesia dalam berbagai aspeknya. Salah seorang di antaranya adalah penyair Abdul Hadi WM. Sajak-sajak Abdul Hadi lebih banyak menggunakan kata-kata (diksi) dari laut, seperti : angin, ombak, kabut, perahu, dermaga dan lain-lain sebagainya. Seperti halnya riak-riak lautan memancarkan pesona keindahan dan kekaguman bagi kita, demikian juga halnya dengan sajak-sajak yang berobsesi ke laut itu.

Sesungguhnya, sajak-sajak yang menggunakan simbol-simbol laut ini pada gilirannya dipahami sebagai sajak-sajak “romantik”, sajak yang berisikan kekaguman pada alam yang indah dan mempesona. Menurut HB Jassin, romantik adalah aliran kesenian yang mengutamakan perasaan. Romantik itu bisa pula dianggap sebagai penyakit orang muda yang belum mempunyai pengalaman dan pengetahuan dan karena itu cuma mengukur segalanya dengan perasaan. Lukisan romantik biasanya disertai terang bulan, haruman bunga-bungaan; untuk melukiskan perasaan bahagia yang tidak terucapkan dipergunakan banyak titik-titik permintaan perhatian, demikian juga banyak ucapan bersedu-sedan karena kesedihan yang tidak tertanggungkan dalam dunia yang serba kejam ini. Romantik ialah dunia orang yang sedang bercinta, udara penuh harum-haruman dan getaran jiwa perasaan yang mesra. Oleh karena itu, tambah Jassin, salah satu pengucapan jiwa romantik ialah hasrat pada alam yang luas, tempat segala masih suci bersih, tiada bernoda seperti di kota.

Tak mengherankan lagi, kehidupan laut dengan segala perbendaharaan kata-katanya yang mengacu ke alam, agaknya juga memantulkan perasaan jiwa si penyair yang romantik itu. Betapa tidak, banyak imaji yang muncul dari kata, seperti laut, ombak, riak, buih, dermaga, pasir, angin, badai dan lain-lain, yang dikemas penyair di dalam sajaknya. Belum lagi ungkapan dengan “batu karang”, kabut, awan dan sebagainya yang memang ambiguitas maknanya. Perasaan terutama tumpah dahulu ketika kita membaca untuk memahami sajak-sajak demikian. Tak disadari kemudian, bahwa riak-riak laut dan tegarnya batu karang yang dilukiskan penyair dalam sajaknya itu, sebetulnya juga cerminan dan lukisan dari serpihan kehidupan kita juga. Meski tak seluruhnya menyentuh intuisi kita, tapi paling kurang sebagian daripadanya pernah dialami dan/atau mungkin akan kita jalani sendiri.

Dalam kreativitas penyair (remaja), sajak-sajak mengenai laut, sajak-sajak romantik yang berisi curahan hasrat kepada alam yang indah memesona ini, sungguh tak terhitung jumlahnya. Berbagai perasaan; keresahan, rintihan, kerinduan, kesepian, kedamaian maupun ketegaran dan perjuangan hidup mendapat tempat dominan di dalam sajak-sajak para remaja tersebut. Semuanya itu menemukan buminya yang subur dengan menggunakan simbol-simbol mengenai kehidupan laut dengan segala pernak-perniknya pula.

Tiga sajak yang diturunkan Minggu ini juga sajak-sajak yang mengambil simbol dari laut. Sajak-sajak itu adalah “catatan dari tengah laut” karya Henri Joni, “laut” karya Elfialdi, dan “lautan hari ini (pada T)” karya Endah Sayekti Deta. Beragam prolema kehidupan terungkap lewat sajak-sajak ini. Tapi suatu yang perlu digaris bawahi adalah, ketiga penyair ini tampaknya tak sepenuhnya memandang laut sebagai simbol keputusasaan, melainkan lebih jauh dari itu, yakni laut perlambang perjuangan hidup seperti tegarnya baru karang di tengah lautan itu. *** (Padang, 7 Pebruari 1992).

* Esei “Pengantar Sajak” (Dari Koleksi Tulisan Lama). Dimuat “RMI” Haluan, Minggu, 16 Pebruari 1992.

Sajak-Sajak “Remaja Minggu Ini”, Haluan Minggu, 16 Pebruari 1992

catatan dari tengah laut
/ hendri joni

sepanjang pelayaran ini
hanyalah kata dan kata, dan mimpi
menyatu oleh sisa buih masa lalu
dikabarkan angin pada bayang-bayang diri

lalu aku coba belajar
pada sepi dan tegar batu karang
melepas sang camar
ke negeri jauh

lalu aku coba simak
suratan diri yang tertulis di ombak
bagi resah nafas yang berlayar
dan terus berlayar.

Padang, 1991

laut
/elfialdi

Kutatap laut sampai ke dasarnya.
Aku menemukan diriku di sana
Lalu aku bercermin pada hati
Aku juga melihat laut di sana
Hatiku bagaikan laut
Kadang-kadang bergelora dengan sinar surya
Dilain kali muram dihempas badai
Dengan kabut tebal yang bergemulung.

Padang, 18 November 1991.

lautan hari ini (pada T)
/endah sayekti deta

Untuk sementara
biarkan laut seperti hari ini
tetap berombak dan berdebur
lalu menghempas tebing dan anjungan batu
tapi tak pernah menggoyahkan karang kukuh,
lalu riak-riak ombak itu
berlari di pasir pantai
menjilati kaki-kaki kita hingga basah.

Biarkan laut berkidung lagu nelayan
di tengah lautan atau tetap berombak ganas
seperti sekarang,
kemudian menghempas hati kedua kita
yang telah menjadi karang
kukuh tak tergoyahkan!

September ‘91

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar