Oleh : Dasril Ahmad
Tahun 1980-an : Bangkitnya Generasi Baru RMI
Menginjak usia kelima RMI (1981), kreativitas sastra remaja yang muncul dominan dilahirkan oleh penulis-penulis “muka baru”. Ini berarti bahwa telah muncul lagi satu generasi penulis (pemula) yang mewarnai iklim kreativitas di forum RMI Haluan asuhan penyair Rusli Marzuki Saria ini.
Kebangkitan penulis-penulis (generasi) baru ini tentulah sangat menggembirakan, karena ternyata di daerah Sumbar sungguh banyak remaja yang berbakat menulis sastra; remaja-remaja yang memperlihatkan tekadnya untuk siap menggeluti dunia kepenulisan sastra (dalam hal ini, kita mesti menepis kesan, apakah keterlibatan mereka hanya sekadar iseng atau memang intens nantinya). Tetapi di balik itu, kebangkitan itu ditandai dengan cakrawala “murung”, sehubungan dengan hilang-tenggelamnya kreativitas penulis-penulis RMI yang sempat berjaya pada tahun-tahun sebelumnya. Hilangnya kreativitas penulis-penulis terdahulu itu mengundang kesan dan pendapat, maupun tudingan yang terkadang “pedas”, karena mengherankan juga jika kreativitas mereka hanya bisa bertahan dalam rentang waktu yang cuma berkisar 4 – 5 tahun. Meski, tentunya, banyak faktor (intern dan ekstern) yang menyebabkan kreativitas itu mandul dan kemudian “mati”, namun segala faktor penyebab itu, kalau dikaji lebih jauh akan terasa tak lebih dari sesuatu yang artifisial belaka.
RMI Haluan Dalam Catatan Dasril Ahmad |
Kembali kepada wajah-wajah baru (generasi baru) RMI yang muncul pada dekade awal tahun 1980-an ini, apakah kehadiran mereka mampu pula memoleskan iklim kreativitas yang baru? Ya, iklim dalam kreativitas sastra selalu saja ada dalam beragam nuansanya, biar itu ditentukan oleh penulis (lama) atau pun oleh yang baru muncul. Sesuai dengan kehadirannya sebagai penulis baru, maka iklim yang ditimbulkannya juga iklim baru. Ini identik dengan iklim kreativitas RMI pada awal kehadirannya, yaitu iklim “penyemaian bakat” yang dilakukan oleh Papa Rusli. Kendati demikian, tampaknya Papa tetap tak berubah sikapnya terhadap penilaian naskah yang hendak dimuat berdasarkan bobot dari naskah itu sendiri.
Masalah ada penulis dalam fase “coba-coba” jelas tersua di sini, dan tentulah sukar ditebak akan munculnya penulis yang kelak bisa bertahan memasuki tahap pembinaan kreativitas, seperti terlihat pada penulis-penulis remaja sebelumnya. Dalam catatan saya, penulis-penulis remaja yang muncul pada dekade awal 1980-an ini jumlahnya melebihi 50 nama, tetapi beberapa di antaranya yang cukup menonjol, adalah: Arius Bustamam, Emsukmawati, Amrin Canrhas, Taty Fauzie Prasodjo, Musfiarti Jabbar, Nelson Alwi, Ana Nadhya Abrar, Rinanthi, Armellin, (dari Sumbar); dan Fakhrunnas MA Jabbar, Hendry Dinnar, Wise Marwin, Dasri, Temu’l Amsal dan Zulkifli MZ (dari Pekanbaru, Riau).
Penulis-penulis di atas muncul di RMI berkisar dari tahun 1980 sampai 1983. Namun, dalam tahun-tahun ini, beberapa dari penulis yang muncul sebelum tahun 1980 juga terlihat, seperti: Wandra Ilyas, Amrizal Ramli, Raffendi Sanjaya, Asril Joni (menulis sajak dan cerpen), dan Dasril Ahmad untuk esei dan kritik. Kemudian termasuk juga ke dalam kelompok penulis di atas adalah Nita Indrawati Arifin, yang mulai menulis sajak dan cerpen di RMI pada tahun 1981.
Dari kelompok penulis-penulis yang baru muncul di atas, pada awalnya mereka menulis banyak jenis karya sastra (dari seorang penulis). Tetapi kemudian karya mereka mengerucut memperlihatkan keunggulannya masing-masing terhadap salah satu jenis karya, seperti: Arius Bustamam, Rinanthy, Armellin, Zulkifli MZ, Ana Nadhya Abrar, Musfiarti Jabbar dan Taty Fauzi Prasodjo (dalam bidang cerpen). Kemudian Hendry Dinnar, Dasri, Temu’l Amsal (dalam bidang puisi); dan Fakhrunnas MA Jabbar, Wise Marwin, Emsukmawati, Amrin Canrhas, Nelson Alwi (untuk esei dan kritik).
Iklim kreativitas pada dekade awal tahun 1980-an ini kelihatan cukup menggairahkan. Di samping penulisan cerpen diungguli oleh Arius Bustamam (yang terkuat waktu itu), juga kehadiran Dasri (dari Pekanbaru) dalam penulisan puisi patut dicatat. Sedangkan kritik dipegang oleh Wise Marwin. Kritikus muda (dari Pekanbaru, Riau) ini dalam pengamatan saya cukup berhasil mengangkat pembicaraan terhadap sajak-sajak Nita Indrawati Arifin (RMI, 1 Nopember 1981), dan sajak-sajak “Prapat” Husnu Abadi (RMI, 1982). Sementara Emsukmawati (dari kalangan akademis sastra ini) menurunkan kritik terhadap cerpen “Jengkel” karya Wise Marwin (1982), sedangkan Fakhrunnas MA. Jabbar kehadirannya waktu itu lebih banyak bergerak dalam bidang esei, terutama esei-esei apresiatif yang ditulisnya secara bersambung di RMI mengenai proses kreatif seorang pengarang yang ditujukan terhadap calon pengarang. Memasuki dekade awal tahun 1980-an ini, sebenarnya iklim akademis telah mulai tampak dalam kreativitas sastra di RMI. Iklim itu tentu saja diperlihatkan oleh penulis-penulis yang mempunyai latar-belakang pendidikan akademis sastra dari perguruan tinggi sastra, baik yang ada di Sumbar maupun di Riau.
Bangkitnya generasi baru (tahap kedua) di RMI Haluan pada dekade tahun 1980-an, menurut saya adalah penulis-penulis yang muncul dari tahun 1984 hingga sekarang (1987). Pengelompokkan ini terutama saya tarik dari iklim kreativitas, adanya terlihat penulis-penulis yang spesialisasi memilih salah satu jenis karya, kemudian terlihat penulis-penulis yang kuat menekuni jenis karyanya dan terlihat peningkatan bobot karya yang dilahirkannya.
Meski dalam kacamata yang terbatas, namun menurut pengamatan saya, penulis-penulis yang muncul kemudian (1984 – 1987) sebagai penulis yang muncul pada tahap kedua tahun 1980-an ini, tak kurang banyaknya juga ketimbang penulis yang muncul pada tahap pertama dekade 1980-an (1981 – 1983). Seperti nukilan saya terdahulu, maka dari sekian banyaknya itu, tentulah tak mungkin untuk saya kemukakan satu per satu di sini. Cuma, beberapa penulis yang cukup dominan menguasai “pentas” RMI pada tahap kedua dekade 1980-an ini, antara lain adalah penulis seperti: Eddy Pranata PNP, Abrar Khairul Ikhirma, Oktavianus Masheka, Boy Yendra Tamin, R. Mulia Nasution, Zulmai Indra, Syamsirman GS, Katharina Arifin, Adek Siregar, Yeyen Kiram, Inriani (Ikarini), Lili Kalim, Yulfian Azrial (Yum Az), Erizal, Sastri Yunizarti Bakry, Ade Soekma, dan Lili Asnita.
Kemunculan penulis-penulis remaja di atas tentulah wajar disambut dengan kegembiraan. Hal ini membuktikan bahwa pada tahun 1984 sampai 1987 di RMI telah hadir lagi “muka-muka baru” yang pada saatnya kelak akan mampu menciptakan iklim kreativitas sastra yang baru pula. Suatu hal lagi yang sukar ditampik adalah timbulnya persepsi sehubungan dengan latar belakang mereka menerjuni dunia kreativitas sastra. Apakah penerjunan itu didasari oleh hanya sekadar “mengerling” sekejap, ataukah kelak mampu untuk “menukikkan” pandangannya dengan sorot mata yang tajam? Praduga dan dugaan terhadap hal ini tentu saja menjadi realitas yang logis. Begitu juga anggapan terhadap telah lahir lagi penulis taraf “coba-coba” atau penulis yang betul-betul menyimpan hasrat untuk memasuki taraf penulisan “serius”, agaknya sesuatu yang wajar pula diterima. Perjalanan waktu dan iklim kreativitas mereka pula yang nantinya akan menjawab dan menjelaskan semuanya itu. Tentu saja kepada mereka sangat diharapkan untuk tekun studi dalam menulis, sehingga mereka tidak menulis secara “gado-gado” dan mereka juga tidak termasuk kepada penulis “amatiran” (minjam istilah Papa Rusli Marzuki Saria, waktu itu).
Kendati demikian keadaannya, persoalannya bukan timbul akibat kesalahan mereka semata. Mereka berkarya butuh penyemaian, butuh pembinaan dan (untuk) pengembangan. Semuanya itu kini mereka temukan di forum RMI. Lalu, bagaimana sikap RMI dalam menyemaikan, membina dan untuk mengembangkan kreativitas mereka itu? Adakah RMI bersikap ramah dan penuh senyum untuk menerima masuknya unsur-unsur yang dominan dapat merangsang kreativitas mereka ke arah yang lebih baik? Unsur yang dominan itu --salah satunya, adalah kehadiran kritik yang dapat berperan memotivasi dan meningkatkan kreativitas dan mutu karya mereka. Adakah iklim kritik di RMI bersifat luwes, seperti kehadiran kritik pada RMI sebelum tahun 1980-an itu? Inilah agaknya kunci persoalannya.
Hal di atas sengaja saya kemukakan (tanpa pretensi apa-apa), bahwa kritik (termasuk ke dalamnya yang diistilahkan dengan: pembicaraan, pengantar, ulasan, dan lain-lain) yang ada di RMI sejak dua tahun belakangan (mulai tahun 1985), tampaknya hadir tidak lagi “luwes” (terbuka ditulis oleh semua kritikus), tetapi telah mengikat (ditulis oleh seseorang) sebagai pengantar untuk karya cerpen dan puisi. Kritik yang seperti ini, kelihatannya kurang bergizi dan (asumsi saya) mungkin saja ditulis oleh kritikusnya dengan keterpaksaan saja. Justru sebetulnya, kritik-kritik semacam inilah yang berpotensi bisa “membunuh” kreativitas seorang penulis (apalagi penulis remaja/pemula); karena ia dilahirkan bukan atas pertimbangan pantas atau tidaknya karya itu dikiritik, tetapi demi menunaikan tugas sebagai seorang redaktur tamu saja, sehingga kritiknya kurang mendalam. Ia hanya menatap karya dari kulit luarnya saja (hanya pengantar), belum lagi masuk ke dalam, ke inti persoalan yang diungkapkan karya tersebut.
Dengan iklim RMI (bukan iklim kreativitas penulis) pada dekade kedua 1980-an (1984-1987) yang seperti di atas, maka konsekuensinya jelas terlihat merosotnya bobot kreativitas sastra remaja Sumatera Barat di forum RMI ini. Dalam menginjak usia yang kesebelas tahun kehadiran RMI Haluan, ternyata bobot kreativitas sastra remaja Sumbar di RMI berada jauh di bawah bobot kreativitas yang pernah dimiliki (diraih) RMI pada tahun 1977 sampai 1983.
Agaknya, inilah masalah yang pantas menjadi renungan kita bersama dalam rangka menyambut dan memperingati sebelas tahun usia RMI Haluan, pada tanggal 4 April 1987 ini. Demikianlah catatan saya terhadap perjalanan forum RMI Haluan selama sebelas tahun usianya. Tinjauan atau penelitian lebih baik dan sempurna terhadap perjalanan RMI ini, tentulah masih mungkin dilakukan. *** (Padang, 3 April 1987).
*) Dimuat di RMI Haluan, Minggu, 26 April 1987, halaman VI