Pendahuluan
Kreativitas sastra di kalangan remaja di Sumatera Barat mulai bangkit sejak tahun 1976 yang lalu. Kebangkitan itu ditandai dengan hadirnya ruangan Remaja Minggu Ini (RMI) di harian Haluan, Padang, dengan edisi pertamanya pada Minggu, tgl. 4 April 1976. Kehadiran RMI Haluan yang diasuh oleh penyair Rusli Marzuki Saria ini bertujuan untuk menyemaikan segala bentuk kreativitas remaja dalam bidang tulis-menulis (sastra). Ini berarti bahwa kehadiran RMI sangat besar artinya bagi remaja di Sumatera Barat yang berbakat dalam tulis-menulis, karena kreativitas kepenulisan (sastra) mereka mulai menemukan “bumi” penyemaiannya yang subur. Meski pada tahun-tahun berikut (setelah tahun 1976), ruangan remaja dengan tujuan yang sama juga hadir di harian Singgalang dan Semangat (dua surat kabar lainnya yang terbit di Padang), tetapi kehadiran RMI Haluan tetap dipandang sebagai bumi penyemaian kreativitas sastra remaja Sumbar yang pertama. Begitu juga penyair Rusli Marzuki Saria (yang sehari-hari akrab dipanggil “Papa”) dipandang telah berjasa dalam posisinya sebagai redaktur/penyemai pertama. Dari tangan “dingin” beliaulah akhirnya muncul penulis-penulis berbakat yang dimiliki Sumbar dewasa ini.
Dasril Ahmad |
Penyemaian Bakat
Pada tahun pertama (1976) kehadiran RMI Haluan, seleksi terhadap naskah/karya yang akan dimuat belum begitu ketat dilakukan oleh Papa Rusli. Boleh dikatakan, nyaris semua naskah yang masuk mendapat giliran untuk dimuat. Papa Rusli ketika itu memang bertindak dalam posisinya sebagai “penyemai”, sehingga ia belum memberlakukan kriteria pemuatan sebuah naskah berdasarkan “bobot”. Hal ini membawa kegairahan bagi penulis-penulis remaja untuk berkarya sebanyak mungkin, dan menulis dalam berbagai jenis karya, seperti; cerpen, puisi, esei dan kritik sekaligus. Iklim begini selain menguntungkan terhadap penulis remaja dalam meningkatkan kegairahan berkarya, juga tak kurang menguntungkan bagi Papa Rusli sndiri, karena Papa dapat melihat dan meneliti kuantitas remaja-remaja Sumbar yang memiliki bakat menulis.
Karya-karya yang mengalir ke meja redaktur dan mayoritas lolos sensor untuk dimuat waktu itu, rata-rata dihasilkan oleh remaja-remaja yang dominan mempunyai latar-belakang pendidikan SLTA dari berbagai jurusan; termasuk SLTA kejuruan. Tetapi latar belakang pendidikan (formal) ini sama sekali tidak berpengaruh signifikan terhadap tema-tema yang diungkapkan dalam karya. Belum kelihatan pengaruhnya, karena karya itu dilahirkan oleh penulis-penulis remaja (notabene; penulis pemula). Sungguhpun demikian, perbedaan latar belakang pendidikan ini merangkum persepsi, opini masyarakat, bahwa di dalam kreativitas sastra semuanya menjadi satu. Sastra tidak menutup kemungkinan untuk digeluti oleh seorang yang berpendidikan Sekolah Teknik, Sekolah Apoteker, Sekolah Ekonomi dan lain-lain, yang di luar sekolah umum.
Di samping itu, remaja-remaja yang menulis di RMI Haluan pada awal kehadirannya itu, sebagian besar tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu (sanggar, organisasi dan sejenisnya). Menjelaskan hal ini, saya dapat kemukakan seperti remaja-remaja yang bergabung dalam “Sanggar Paris” di bawah pimpinan Iwan Soe KRI dengan segenap anggotanya yang mayoritas berbakat dalam menulis. Ada lagi waktu itu remaja yang tergabung dalam organisasi PSPI (Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia) cabang Padang, yang dikelola oleh remaja-remaja yang sebelumnya juga telah menulis di RMI waktu itu, seperti: Noverman, Ariyanto Thaib, Dasril Ahmad, Amli Kamal, Maverdi Achmadi, dan lain-lain. Selebihnya, remaja-remaja penulis di RMI waktu itu, tentulah mereka bergabung dalam OSIS di sekolahnya masing-masing.
Lalu, apa hubungannya pembicaraan saya mengenai latar belakang pendidikan dan keterlibatan dalam sanggar/organisasi remaja di atas dengan tinjauan terhadap iklim kreativitas sastra di RMI Haluan ini? Hubungannya tiada lain terlihatnya keselarasan antara pendidikan, sanggar/organisasi yang dicimpungi remaja dengan bangkitnya bakat menulis yang tersemai di forum RMI, sehingga kehadiran RMI waktu itu benar-benar sebagai suatu wadah yang “sinkron” untuk penyemaian bakat menulis yang dimiliki oleh kaum remaja tersebut.
Sebagai wadah penyemaian bakat, di RMI Haluan waktu tahun pertama kehadirannya memang banyak muncul penulis-penulis remaja dengan berbagai jenis karyanya. Usaha Papa Rusli sebagai penyemai tampaknya telah membuahkan hasil. Namun, dari sekian banyak penulis remaja yang muncul, beberapa di antaranya yang cukup menonjol karyanya (secara kuantitas) adalah nama-nama seperti: Ikopelo, Iwan Soe KRI, Rury Rhvarina Adfinda, Ray Fernandez, Yunizurwan, Emeraldy Chatra, Sri Indra Kusuma, Adek Alwi, Shofwan Karim Elha, Helmi Bakar, Noverman, Kardi Syaid, Yose Hermand, Sofia Trisni, Chrisna Edward, Wendi HS, Emma Yohana M, Nadir Abbas Kamil. Ellya Z, Rini Setyowati Soeroto, SZ Adriani, (dari Sumbar), dan Zoel Beros, A. Aris Abeba dan Thabrani AR (dari Pekanbaru, Riau).
Dari deretan nama-nama di atas, tidak berapa orang yang menulis dalam satu jenis karya; sebahagian besar menulis dalam berbagai jenis karya. Dalam pengamatan saya, yang hanya menulis sejenis karya saja adalah Ikopelo, Rury Rhvarina Adfinda, Sri Indra Kusuma, Sofia Trisni, Chrisna Edward, Rini Setyowati Soeroto, SZ Adriani, Zoel Beros, Aris Abeba dan Thabrani AR (puisi); dan Yunizurwan (untuk cerpen). Sementara nama-nama yang lainnya, di sampung menulis puisi, cerpen, mereka juga menulis esei dan kritik. Oleh karena itu, tak mengundang keheranan kalau waktu itu RMI memiliki rubrik puisi yang cukup luas, satu rubrik untuk cerpen dan beberapa esei (dua atau tiga) dimuat sekaligus setiap minggunya. Ini adalah sebentuk iklim penyemaian yang dilakukan Papa Rusli pada waktu itu. Iklim ini kelihatannya memang menggairahkan..!
Pembinaan Kreativitas
Memasuki tahun kedua (1977) sampai tahun keempat (1980), kreativitas sastra remaja di RMI terlihat mengalami pasang-surut yang tajam. Nama-nama yang muncul semakin membludak, tetapi nama-nama yang tenggelam juga tak sedikit jumlahnya. Di sini RMI mulai merasakan posisinya sebagai ajang “persinggahan” semata. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada lagi yang singgah dan kemudian bersiap-siap pula untuk berangkat tanpa pamit dan tanpa meninggalkan kesan yang terbilang berarti. Proses datang dan pergi ini terutama berlangsung deras pada tahun ketiga dan keempat RMI. Apa dan kenapa hal demikian mesti terjadi? Waktu itu ada segelitir penulis yang mencoba menyiasatinya dengan argumen, bahwa remaja-remaja yang menulis di RMI hanya sekadar untuk “kompensasi” dari kegagalan bercinta saja. Mereka gagal bercinta, lalu coba-coba mencari tempat pelarian, yaitu lewat menulis (puisi atau cerpen). Setelah ketenangan hati diperoleh, spontan kompensasinya itu berhenti berproses.
Argumen itu sesungguhnya tak mempunyai alasan yang kuat, dan waktu itu saya serta-merta menolaknya (diam-diam, dalam hati). Hal itu tiada lain karena saya melihat telah terjadinya perubahan iklim seleksi yang melanda tubuh RMI. Iklim itu merupakan suatu proses kreatif (pembaruan) yang ditiupkan oleh Papa Rusli. Dikatakan iklim dalam proses kreatif adalah karena setelah merasa “jenuh” dengan tindakan penyemaian bakat yang nyatanya tak mampu memberi kepuasan itu, maka Papa Rusli ingin mengajak pernulis remaja ke jalan yang lebih kreatif lagi, yaitu ke arah pembinaan kreativitas.
Sedikit sekali di antara penulis remaja di RMI yang mahfum waktu itu, bahwa secara diam-diam Papa Rusli telah mulai melakukan sistem penilaian (dan seleksi) yang agak ketat terhadap naskah-naskah yang akan dimuat. Penilaian yang semula tak menilik bobot naskah (cuma atas dasar dan kepentingan penyemaian bakat saja), kini malah fokus penilaian lebih tertuju kepada bobot dari naskah itu sendiri untuk bisa dimuat. Selain itu, saya juga menyadari bahwa Papa Rusli menginginkan agar penulis remaja di RMI dapat hendaknya tumbuh menjadi penulis yang beridentitas. Maksudnya, Papa tak menghendaki ada lagi penulis-penulis yang menulis secara “gado-gado” (menulis dalam banyak jenis karya), melainkan mulailah “studi” dan “serius” untuk menekuni salah satu bidang karya saja, apakah itu puisi, cerpen, esei atau kritik. Menurut hemat saya, sistem begini dimaksudkan oleh Papa agar remaja betul-betul punya dedikasi dan intensitas (kesungguhan) yang jelas dalam berkarya. Penulis remaja hendaknya mampu menggali, menggumuli dunianya (sastra) secara gigih dan ulet, agar mereka memiliki jiwa dan pengalaman yang matang dalam berkarya, sehingga kelak akan terlahir karya-karya yang baik mutunya. Untuk itu, Papa Rusli di dalam rubrik “pengantar minggu ini” (RMI, Minggu 1 Agustus 1976) menulis: “Nah, di sana nanti, Anda akan menemukan ‘sesuatu’ yang meyakinkan. Bahwa di dalam puisi semua rahasia alam terungkapkan. Baik atau kurang baiknya sebuah karya (puisi) tergantung pada penyairnya. Apakah sang penyair sudah matang dalam menggali pengalamannya atau masih dalam taraf coba-coba” *** (Bersambung )
*) Tulisan pertama dari tiga tulisan. Dimuat RMI Haluan. Minggu, 12 April 1987, hal. VI