Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi

Oleh Drs. Hermawan, M. Hum.

1. Pendahuluan

Ali Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan A. A. Navis, pertana sekali nama melejit dalam cakrawala sastra Indonesia modern ketika cerpen Robohnya Surau Kami dimuat di majalah Kisah dan sekaligus dinyatakan oleh majalah Kisah sebagai cerpen terbaik tahun itu. Cerpen yang berbicara tentang tingkah laku seorang penjaga surau dan beribadat kepada Allah. Kakek Garin, si penjaga surau itu, mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya; setidaknya, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mempersoalkan cara beribadat itu, sampai pada suatu kali muncul Ajo Sidi yang tiba-tiba menghancurkan landasan bangunan kepercayaan kakek itu. Lelaki yang disebut tukang bual itu mendongeng kepada Kakek Garin mengenai Haji Saleh yang menerima murka dari Allah dan masuk neraka bersama-sama dengan haji-haji yang lain meskipun merasa selama hidupnya senantiasa mengagungkan nama Allah swt. Mendengar dongeng semacam itu, Kakek Garin yang berpikiran sederhana itu merasa tersindir. Ia putus asa sebab segala yang dilakukannya di dunia selama ini ternyata keliru; itulah sebabnya akhirnya ia bunuh diri.

Cerpen-cerpen yang dibuatnya setelah cerpen Robohnya Surau Kami ada sebanyak 9 buah yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen di bawah judul Robohnya Surau Kami. Satu lagi diantara cerpennya yang menarik adalah cerpen yang berjudul Datangnya dan Perginya. Cerpen yang mengisahkan tentang seorang yang terlalu banyak kawin, sehingga anaknya sendiri telah kawin dengan anaknya yang lain. Begitu cara Navis memberikan sindiran terhadap masyarakat lingkungan yang pada waktu itu merupakan kebanggaan bila punya istri lebih dari satu. Pada cerpennya yang lain menyindir tentang jodoh seseorang yang selalu ditentukan oleh kaum keluarga. Melalui cerpen Jodoh, Navis telah memenangkan sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio Nederland Weredomroep tahun 1975. Cerpen yang bercerita secara flash back ini mengisahkan tentang seseorang yang mendapat jodoh dari iklan surat kabar, padahal jodoh itu seharusnya ditentukan oleh kaum keluarga atau mamak (paman) sebagai kebiasaan (adat) daerah tokoh itu bermukim.

Jika dijajarkan semua karya Navis terutama dengan karyanya yang tersebut di atas dengan novel Kemarau ini terlihat ada suatu maksud pengarang yaitu ingin merombak sistem hidup atau pandangan hidup masyarakatnya terhadap hal-hal yang menjadi keyakinannya. Masyarakat sekitar pengarang saat itu selalu suka ikut-ikutan, tidak yakin dengan keyakinan yang dianutnya. Apalagi zaman saat itu masih dalam keadaan revolusi. Hal lain adalah kemalasan yang terjadi pada masyarakat. Tidak mau bekerja keras. Masyarakat maunya menerima apa adanya, atau mencari hal-hal yang mudah dikerjakan dengan untung yang lebih baik atau lebih besar. Kakek (Garin) yang selalu beribadat kepada Allah swt tanpa berusaha bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ia hanya menerima upah sebagai Garin (penjaga surau) dari orang yang sembahyang di Surau itu, atau mendapat sumbangan dari hasil kolam di depan surau itu bila dipanen dan menerima upah bila ada orang yang mau mengasah pisau atau gunting, meskipun kadang-kadang upah tersebut tidak terlalu diharapkannya. Begitu juga masyarakat yang ada dalam novel Kemarau yang dilanda kekeringan, mereka tidak mau berusaha, malah mereka lebih senang ke dukun untuk mengubah keadaan, atau berserah diri kepada Tuhan, dan manakala kedua usaha tersebut terbentur maka mereka senang main domino. Gambaran atau karikatur yang merupakan sindiran ini selalu dimunculkan oleh Navis.

Tokoh aku dalam cerpen Datangnya dan Perginya juga di-gambarkan sebagai seorang tokoh yang melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga sehingga tokoh tersebut tidak tahu bahwa anaknya dari istri yang satu telah kawin dengan anaknya dari istri yang lain. Meskipun akhirnya dapat diceraikan namun telah menimbulkan akibat yang fatal karena sudah mempunyai keturunan. Harapan dari tokoh aku yang sudah bertaubat juga tidak tercapai karena telah melalaikan tugasnya, yaitu membiarkan anak sama anak kawin. Sindiran-sindiran terhadap masyarakat yang malas dan tidak mau bekerja keras. Sindiran terhadap para mamak (paman) kaum yang selalu menentukan jodoh anak kemenakannya (dalam cerpen Jodoh). Sindiran terdahap sese-orang yang lebih mementingkan beramal daripada memberi nafkah kepada keluarga sebab beramal dengan selalu beribadat kepada Tuhan akan mendapat hidup yang baik di akhirat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.

Tokoh Sutan Duano dalam novel Kemarau, dilukiskan pengarang sebagai tokoh yang ulet dan suka bekerja keras. Ia juga seorang yang taat menjalankan perintah Tuhan sehingga masyarakat mengaguminya sebagai tokoh yang pantas ditiru. Ia juga ingin merombak sistem hidup masyarakat lingkungannya yang suka malas-malasan. Ketika terjadi kemarau panjang, ia mencari air dengan mengangkut dari danau. Air dibawa dengan kaleng bekas minyak tanah dari danau. Ia ambil untuk menyirami sawahnya. Pekerjaan ini dikatakan pekerjaan orang gila. Beda dengan tokoh Kakek Garin. Sutan Duano di samping bekerja keras, ia juga diangkat sebagai penjaga surau yang sekaligus guru mengaji. Semua hasil pencahariannya diberikan kepada masyarakat. Sementara masyarakat mulai tertarik dengan sifat sosial Sutan Duano, apalagi ketika Sutan Caniago berhasil dipinjami uang untuk merantau hidup di kota, tanpa meminta bunga hasil pinjaman. Meskipun, dengan menggadaikan hasil panen padinya, Sutan Caniago merasa tidak menggadaikan hasil panen tersebut. Sutan Caniago hanya dipinjami uang secara cuma-cuma. Begitu juga dengan Haji Syamsiah yang kekurangan uang untuk naik haji, dipinjami uang oleh Sutan Duano tanpa meminta bunga. Walau Haji Syamsiah dan hutang Haji Syamsiah tidak perlu dibayar, sebab dari hasil pohon kelapa selama tergadai kepada Sutan Duano telah menghasilkan uang yang bahkan lebih dari hutang Haji Syamsiah semula.

Kepekaan pengarang terhadap lingkungannya dan wawasan tentang agam dan kebiasaan masyarakat menjadikan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat ke dalam suatu karya sastra. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang selalu merupakan sindirian yang tajam kejadian masyarakat sekelilingnya, sehingga membuat karyanya nikmat untuk dinikmati. Apalagi gaya khas sindiran yang dimiliki pengarang dan ditambah dengan bahasanya yang mudah dipahami oleh masyarakat pembaca seperti kutipan berikut ini.

Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya jadi terbit. Semua petani mengeluh dan putus asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali turun ke sawah di tahun itu. Setengah bulan setelah benih ditanam, bendar-bendar tak mengalir air lagi karena hujan sudah lama tidak turun. Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tetapi langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merengkah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya beserta sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke awang bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujang tak kunjung juga turun. Ketika rengkahan sawah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetespun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu, tidaklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk membunuh putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di lepau-lepau (Navis, 1992: 1).

Gaya bahasa sindiran ini mengingatkan kita akan Robohnya Surau Kami yang punya gaya bahasa sindiran sebagai berikut.

“Kalau ada, kenapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedangkan
harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka ber-ibadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.

Sedangkan aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kerak neraka” (Navis,1966: 19).

Kesegaran gaya bahasa sindiran inilah yang membuat pembaca karya Navis lebih enak untuk menyelesaikannya. Gambaran-gambaran yang hidup di tengah masyarakat berhasil ditangkap oleh Navis dan memasukkannya ke dalam karyanya, sehingga kadang-kadang pembaca pun merasa berada dalam karya tersebut bila kebetulan gambaran itu cocok dengan pembaca, (bagian kedua klik disini)

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar