Catatan Dasril Ahmad
Hadir sebagai juri cipta puisi dalam Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2015 SMP dan SMA kota Solok di SMP Negeri 2 Solok, Minggu (19/4) lalu, memberi arti tersendiri bagi saya. Betapa tidak, setelah hampir 30 tahun tak bertemu, di pagi itu saya kembali bertemu dengan rekan Amrius Bustamam, yang saat itu hadir untuk juri lomba melukis. Ketika teman mengenalkan beliau kepada saya dengan sebutan nama pak Amrius, saya tak bergeming. Tapi ketika si teman menyebutkan bahwa pak Amrius (dulunya) juga seorang yang aktif penulis cerpen di rubrik Remaja Minggu Ini (RMI) Haluan, saya tersentak. Ingatan saya kembali ingat pada nama Arius Bustamam yang memang sering menulis cerpen di RMI Haluan dulu. Dalam cerpen ia memakai nama Arius Bustamam, bukan Amrius Bustamam, nama aslinya. Ia termasuk penulis cerpen produktif di RMI Haluan dekade 1980-an, dan saya terakhir bertemu dengannya tahun 1986, ketika acara “Temu Kritikus Muda Sumbar-Riau 1986” di Taman Budaya Padang. Waktu itu saya ketahui Arius Bustaman adalah guru di SMP Negeri Singkarak, tapi ternyata sekarang telah pindah ke SMA Negeri 2 Solok.
Justru itulah, dalam obrolan dan senda-gurau kami yang hangat di pagi itu, Amrius kembali bercerita kenapa ia mamakai nama Arius Bustamam dalam cerpen, bukan nama aslinya Amrius Bustamam. “Mungkin teman-teman telah tahu juga kisah lucu dan menarik yang saya alami ini. Dahulu, di akhir tahun 1970-an, lebih sepuluh cerpen saya kirim ke Haluan pakai nama asli Amrius Bustamam, tak satu pun yang lolos sensor dan dimuat oleh redaktur Papa Rusli Marzuki Saria di RMI Haluan. Entah kenapa suatu kali, tak sengaja, di sebuah cerpen terketik oleh saya nama Arius Bustamam, dan he...he.., ternyata cerpen saya itu lolos sensor dan dimuat di RMI Haluan. Sejak itulah saya selalu pakai nama Arius Bustamam saja, bukan nama asli Amrius Bustamam, karena khawatir (kalau pakai nama asli) cerpen saya itu tak lolos lagi sensor Papa Rusli Marzuki Saria dimuat di Haluan. Hehe,” ujarnya diiringi tawa.
Dasril Ahmad dan Arius Bustamam |
Di sisi lain, meski kini ia tidak produktif lagi menulis cerpen, tapi diakuinya bahwa suasana menulis atau bersastra yang muncul lewat RMI Haluan waktu itu begitu hidup, yang membuat kreativitasnya terpacu, tak hanya untuk menulis cerpen tapi juga esei dan kritik sastra. Terakhir waktu “Temu Kritikus Muda Sumbar-Riau 1986” di Taman Budaya Padang, Arius Bustamam juga tampil menyajikan makalah berjudul, “Sebuah Pendekatan Psikologis: “Sebelum Hari Ini” Cerpen Sofia Trisni”. Akan tetapi untuk menulis cerpen, Arius Bustamam tak bisa melupakan motivasi dari Syarifuddin Arifin. “Saya masih ingat, Syarifuddin Arifin dulu yang sering minta cerpen saya untuk dia tulis dulu pengantarnya sebelum dimuat, karena waktu itu ia adalah redaktur tamu untuk seleksi cerpen di RMI Haluan” ujar Amrius Bustamam, kakek seorang cucu ini, yang pagi itu berkemeja batik tampak narsis ketika difoto.*** (Dasril Ahmad)