Dari beberapa sumber disebutkan, kehadiran Simuntu mengajarkan kepada anak-anak, bahwa hantu itu tidak ada dan yang ada hanya satu sosok yang didandani seburuk mungkin. Dan rasa takut pada anak-anak beralih kepada sesuatu yang nyata seperti tergambar pada sosok Simuntu..
Tradisi Simuntu biasanya dilansungkan setelah shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Simuntu dengan tampilan yang menyeramkan bagi anak-anak, namun mengundang senyum para orang tua yang melihat keturunan-keturunan berpakaian seram datang ke rumah-rumah mereka. Betapa tidak, seluruh tubuh Simuntu berpakaian daun kering seperti dari ijuak (ijuk), karisiak (daun pisang kering) dan daun kering lainnya. Dan muka Simuntu ditutupi topeng yang dibuat dari kertas kardus dan dilukis seseram mungkin, dan ada juga yang menutupi wajah dengan sebo, atau memakai penutup kepala.
Simuntu yang berpakain daun kering dan wajah ditutupi topeng itu diarak mendatangi rumah-rumah penduduk dengan diiringi empat sampai sembilan tambur dan tansa serta sambil di iringi tarian jenaka. Ketika terdengan bunyi tambur yang mengiringi rombongan Simuntu, orang-orang bediri dipintu tumah mereka seraya memegang uang receh dan ketika Simuntu menari-nari dihalaman rumah mereka, si pemilik rumah memasukan uang receh ke kantong plastik besar yang tergantung di leher Simuntu.
Arak-arakan Simuntu yang digelar usai Shalat Idul Fitri dan Idul Adha itu, bisanya akan berlansung beberapa hari dan setiap harinya ada empat sampai enam Simuntu yang memeriahkan hari lebaran. Simuntu mendatangi rumah penduduk menagih sumbangan dan uang yang terkumpul digunakan untuk kegiatan kepemudaan, masjid, atau membantu masyarakat yang terkena musibah. Tradisi Simuntu sampai saat ini masih hidup diseputaran Danau Maninjau dan merupakan salah salah objek wisata tradisi yang di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. (bk-1, dari berbagai sumber)