Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Puisi Lagu Kehilangan Muhammad Ibrahim Ilyas

Dalam menerbitkan sebuah buku, sebagaimana juga halnya dengan sebuah buku kumpulan puisi selalu ada kemungkinan satu atau puisi yang telah disiapkan tercecer. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Kejadian serupa juga terjadi pada penerbitan buku kumpulan puisi Muhammad Ibrahim Ilyas , “Ziarah Kemerdekaan”, dimana puisi yang berjudul “Lagu Kehilangan” tercecer. Atas peristiwa itu Muhammad Ibrahim Ilyas di acount fb-nya menulis begini;


“Kepada sanak kerabat dan sahabat yang sudah memiliki buku kumpulan puisi ZIARAH KEMERDEKAAN, penerbit Arifha, 2015, disampaikan bahwa salah satu puisi yang direncanakan ada dalam kumpulan itu tidak terikutkan. Padahal, puisi ini dipakai sebagai tajuk pementasan puisi yang bersamaan dengan peluncuran buku itu. Kemudian, dalam pembicaraan pengantar yang dibuat oleh uda Indra Nara Persada, puisi ini termasuk yang dibicarakan. Karena itu, selaku penulis, saya mohon maaf, dan hal ini baru bisa diperbaiki pada cetakan kedua. Untuk yang sudah memiliki, dengan hormat saya sampaikan puisi itu melalui media ini.”

pentas lagu kehilangan
Pentas Lagu Kehilangan, Teater Utama Taman Budaya Padang, 7 Februari 2015

Lagu Kehilangan
by Muhammad Ibrahim Ilyas


1.

di jantung malam, kalau kau terbangun
jangan nyalakan rindu
musim tak menyuburkan kenangan,
keranda tengah dirancang dan dipersiapkan

aku lelah berbenah,
menyusu pada kala
menunggu pagi hari

2.
kita mulailah prosesi ini:
anak cucu waktu yang selalu cemas berbaris
menawarkan kegelisahan pada matahari
wajah-wajah mereka menahan air mata
di ujung belakang kau memegang payung hitam
yang mengembang dari lengkung masa silam
di depanmu bergerak pengusung keranda
dan aku tak bisa bicara apa-apa
aku berada di dalamnya


3.
upacara yang telah lama kusiapkan sejak tangis kelahiran segera bermula
ke mana pun menoleh wajah kaku mengawasimu
bergerak mekanis menyelenggarakan pagelaran ini
tak ada waktu untuk proses latihan lagi
tak ada ruang untuk spontanitas dan improvisasi
garis movement terpeta jelas menjerat kakimu
keranda akan turun dari bahu mereka
agar pemegang cangkul dan sekop bekerja
segera,
rutinitas menunggu
sang kiai telah tak sabar untuk memulai berdoa
dan jasadku beku tak bisa menghapus air matamu
berhentilah,
masih banyak yang harus ditangisi

4.
aku harus berburu dengan waktu
doa membiak, memberanakkan kebisuan dan hipokrisi
para penggali telah menutup liang lahatku
meninggalkan padamu bau rindu dan setanggi
yang segera menjadi asing dan menjarak dari mimpi
bila kau ingin mengucapkan selamat,
tanamkan bibit melati di sisi kanan nisanku

5.
ya, segera kita akan tiba di pintu doa
menyiapkan jemari untuk menguak ambang entah
puluhan tangan mencuat ke udara
ribuan tangan telah menunggu sejak lama
berjuta tangan telah membeku sebelumnya
milyar triliyun tangan telah bermula sejak purba
dan sang kiai akan menjadi peran utama
siap menunaikan komat-kamitnya
aku belum berhenti jadi saksi
bukankah telah kubisikkan sebelum ini terjadi
jauh di persimpangan hari dan bulan
rindu melunturkan kenangan dari dadamu

6.
berjarak hanya puluhan senti dari wajah-wajah tengadah
tangan-tangan bisu mengoyak udara mencucuk langit
sang kiai tak sempat memimpin doa apa pun
semua orang tersentak, mata mereka nanap
ruang di atas kepala mereka dipenuhi tangan-tangan
menjadi rimba jari jemari
semua terkembang menadah
tak ada satu kata pun yang sempat digumamkan
kau lihat,
darah mengalir dari semua jari
merembes di sela-selanya
turun ke punggung tangan dan telapak,
memekat kental di pergelangan

7.
itulah kenapa aku tuliskan jauh hari
sebelum kau menghadiri tragedi ini
aku tidak melarikan diri
akan kau lihat tanganku dalam belantara tangan-tangan
ya, tentu saja jasadku ada di bawahnya
dan darah yang mengalir di tanganku
segar, menetas dan mengair
deras mencairkan cita-cita dan prasangka
warnanya merah juga

8.
pernahkah kau mencintai sebuah lagu,
irama yang menyesak dada dan membuat matamu menyala
pada saat yang sama dengan itu,
kau telah kehilangan sebuah lagu yang lain

itulah,
sebelum aku menjadi lagu
kau telah kehilangan lebih dulu


9.
di tepi dinihari, kalau kau tersentak mimpi
bukan aku yang menggigilkan rindu
kuburku sudah selesai digali,
aku tengah menggumamkan bait terakhir jerit sunyi

Yogyakarta, 1994

catatan: puisi ini sudah dimuat dalam antologi Lirik Lirik Kemenangan, terbitan Taman Budaya Yogyakarta, 1994, bersama puisi sejumlah penyair lain yang mengikuti Sayembara Penulisan Puisi TBY pada tahun yang sama.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar