Putra Mahat, Kecamatan Suliki Gunung Emas, Kabupaten 50 Koto, Sumbar, yang lahir 19 Januari 1952 ini, setelah menamatkan PGSLP IKIP Padang (1978), ia menjadi guru di SMP Negeri Ampek Angkek, Agam. Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia diraihnya di STKIP Ahlussunnah Bukitinggi (1992). Ia menjadi guru inti mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk Sanggar Pemantapan Kerja Guru (SPKG) di Bukittinggi (1991), dan meraih predikat Guru Teladan I Nasional tingkat SLTP (1992). Atas prestasi terakhir ini, ia diundang The Japan Foundation mengikuti Studi Kajian Kependidikan di Jepang (1993).
Kini, ayah 5 anak dan suami tercinta Wirnahayati Hasan Basri ini adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMU Negeri 1 Baso, Agam. Selain itu, ia juga sebagai Instruktur Kurikulum Muatan Lokal dan Instruktur Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sumbar. Diwawancarai di BPPG IKIP Padang akhir September 1997 lalu, Zulkarnaini mengungkapkan berbagai hal seputar kurikulum muatan lokal Budaya Adat Minangkabau (BAM) di Sumbar itu. Berikut petikannya.
Apa latar belakang munculnya kurikulum muatan lokal BAM di Sumbar?
Kita mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 38 ayat (1) menyatakan, bahwa pelaksanaan kegiatan pendidikan dalam satuan pendidikan didasarkan atas kurikulum yang berlaku secara nasional, dan kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan, serta kebutuhan lingkungan dan ciri khas satuan pendidikan yang bersangkutan.
Nah, kurikulum yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan itu adalah kurikulum muatan lokal. Di Sumatera Barat, dengan Surat Keputusan Kakanwil Depdikbud No. 011.08.C.1994 tanggal 1 Pebruari 1994, ditetapkanlah mata pelajaran kurikulum muatan lokal tersebut. Salah satu di antaranya adalah Budaya Alam Minangkabau (BAM). Akan tetapi sebelumnya, tim perekayasa kurikulum pendidikan Sumbar juga sudah melakukan serangkaian penelitian langsung ke tengah masyarakat. Kemudian melakukan 2 kali seminar kurikulum yang melibatkan semua pihak terkait, di antaranya LKAAM, MUI, KAN, pihak legislatif dan eksekutif serta para guru sendiri. Dari hasil penelitian dan seminar ini diperoleh persetujuan bahwa BAM menjadi pelajaran muatan lokal di Sumbar, karena sangat relevan dengan kebutuhan daerah dan juga atas permintaan dari masyarakat sendiri.
Atas permintaan masyarakat? Apa alasannya?
Iya, karena dari hasil penelitian diperoleh bahwa nilai-nilai budaya Minangkabau itu sendiri terlihat kecenderungan ditinggalkan oleh masyarakatnya. Padahal sebenarnya masih banyak nilai budaya itu yang relevan dengan hidup dan kehidupan kita sekarang dan yang akan datang. Jadi, tegasnya adalah agar nilai-nilai budaya Minangkabau yang relevan itu jangan sampai hilang, supaya dapat dimanfaatkan untuk hidup dan kehidupan kita. Sebab, tujuan pengajaran BAM itu jelas mengajar anak didik untuk mengenal, memahami, menghayati dan menerapkan nilai-nilai budaya Minangkabau yang masih relevan itu dengan kehidupan kita sekarang dan masa datang.
Apa nilai-nilai budaya Minangkabau yang relevan itu?
Yang penting adalah budi. Budi ini bersumber dari alam. Sifat alam ada dua, yaitu sifat yang tetap, yang melahirkan adat berbuhul mati; dan sifat yang berubah melahirkan adat berbuhul sintak. Sifat alam yang dua inilah yang menjadi pedoman adat Minangkabau sebelum agama Islam masuk. Kemudian dua sifat alam ini diaktualisasikan dalam kato atau pepatah-petitih. Jadi kalau kita ingin mempelajari bagaimana budi orang Minangkabau itu, pelajarilah pepatah-petitih adat tersebut.
Bagaimana realisasi pengajaran BAM itu sekolah?
Yang paling menarik dari pengajaran BAM itu adalah tingginya minat anak didik untuk mempelajarinya. Di samping itu, juga tampak antusias masyarakat yang tinggi, terutama masyarakat di desa merasa senang, merasa terdukung karena BAM diajarkan kepada anak didik di sekolah. Sejak BAM diajarkan, sambutan masyarakat, termasuk dari pihak KAN dan LKAAM sangat menggembirakan. Oleh karena itu, Kakanwil Depdikbud Sumbar menganjurkan agar BAM menjadi pelajaran muatan lokal wajib di sekolah.
Apa kendala yang ditemui dalam pengajaran BAM?
Kendalanya adalah guru belum memiliki sertifikat mengajar secara akademik, kecuali cuma sertifikat administratif yang diberikan Kakanwil Depdikbud Sumbar seusai mereka mengikuti penataran. Sampai kini sudah sekitar 400 orang guru SLTP (negeri dan swasta) di Sumbar yang mengikuti penataran muatan lokal BAM itu. Jadi di tiap SLTP kini sudah ada seorang guru yang memiliki sertifikat administratif mengajar muatan lokal BAM itu. Dengan cuma berbekal penataran, tentu pengetahuan dan pemahaman guru tersebut tentang BAM belum memadai. Malah dari penelitian yang kita lakukan ditemui bahwa kepala sekolah sendiri juga masih kurang memahami apa tujuan yang sebenarnya dari pengajaran muatan lokal BAM tersebut. Inilah beberapa kendala yang kita temui di lapangan. Tentu saja kita berharap, di masa datang guru-guru yang mengajar BAM itu adalah guru yang lulusan perguruan tinggi, artinya mereka yang betul-betul mempunyai sertifikat mengajar BAM secara akademik.
Kemampuan guru dalam mengajar BAM masih kurang. Apa solusinya?
Iya, Sebaiknya guru yang mengajar BAM itu harus banyak membaca perihal adat dan budaya Minangkabau dari berbagai sumber yang tertulis. Buku pegangan atau referensi guru janganlah sama saja dengan buku pegangan untuk anak didik. Guru itu, di samping harus mampu menggunakan metode dan teknik pengajaran yang bervariasi, juga harus memiliki sikap yang jelas tentang belajar-mengajar; tentang belajar, tentang mengajar, tentang bahan ajar, dan tentang anak didik itu sendiri.
Adakah materi sastra Minangkabau dalam pengajaran BAM itu?
Jelas ada. Tentang sastra Minangkabau itu diberikan pada caturwulan 2 dan 3 di kelas 3 SLTP. Meski materinya sastra Minangkabau, namun pendekatannya menggunakan pendekatan sastra modern. Oleh karena itu, guru yang mengajarnya sebaiknya juga adalah guru bahasa dan sastra Indonesia sendiri, atau bisa juga guru lain asal harus dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan guru bahasa dan sastra Indonesia.
Anda juga menyusun buku ajar BAM, kenapa?
Iya, karena sebagai orang yang berperan serta menyusun kurikulum muatan lokal, maka saya merasa bertanggung jawab menyumbangkan buku itu kepada pembaca, khususnya kepada murid SD dan SLTP dan rekan guru yang mengajarkannya di sekolah.
Berapa lama penyusunan buku BAM Anda lakukan?
Saya menyusunnya selama 2 tahun. Begitu GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran) disusun, maka langsung konsep buku BAM itu saya susun. Jadi, pedoman sistematika dan muatan penulisan buku itu adalah GBPP. Sedangkan isinya diambil dari berbagai sumber, baik yang tertulis maupun dari masyarakat sendiri. Ada hikmahnya ketika menyelesaikan studi di STKIP Ahlussunnah Bukittinggi dulu, saya menulis skripsi tentang Novel Bako Darman Moenir dalam Kajian Sosial Sub-kultur Minangkabau. Penelitian untuk skripsi inilah yang sebagian besar merupakan bekal bagi saya untuk menyusun buku BAM tersebut. ***
Padang, Akhir September 1997 Pewawancara : Dasril Ahmad *) Pernah dimuat di ruang Budaya Haluan, 18 Oktober 1997