Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi

Oleh Drs. Hermawan, M. Hum.

1. Pendahuluan

Ali Akbar Navis, atau lebih dikenal dengan A. A. Navis, pertana sekali nama melejit dalam cakrawala sastra Indonesia modern ketika cerpen Robohnya Surau Kami dimuat di majalah Kisah dan sekaligus dinyatakan oleh majalah Kisah sebagai cerpen terbaik tahun itu. Cerpen yang berbicara tentang tingkah laku seorang penjaga surau dan beribadat kepada Allah. Kakek Garin, si penjaga surau itu, mendapat simpati dari masyarakat sekitarnya; setidaknya, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mempersoalkan cara beribadat itu, sampai pada suatu kali muncul Ajo Sidi yang tiba-tiba menghancurkan landasan bangunan kepercayaan kakek itu. Lelaki yang disebut tukang bual itu mendongeng kepada Kakek Garin mengenai Haji Saleh yang menerima murka dari Allah dan masuk neraka bersama-sama dengan haji-haji yang lain meskipun merasa selama hidupnya senantiasa mengagungkan nama Allah swt. Mendengar dongeng semacam itu, Kakek Garin yang berpikiran sederhana itu merasa tersindir. Ia putus asa sebab segala yang dilakukannya di dunia selama ini ternyata keliru; itulah sebabnya akhirnya ia bunuh diri.

Cerpen-cerpen yang dibuatnya setelah cerpen Robohnya Surau Kami ada sebanyak 9 buah yang akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku kumpulan cerpen di bawah judul Robohnya Surau Kami. Satu lagi diantara cerpennya yang menarik adalah cerpen yang berjudul Datangnya dan Perginya. Cerpen yang mengisahkan tentang seorang yang terlalu banyak kawin, sehingga anaknya sendiri telah kawin dengan anaknya yang lain. Begitu cara Navis memberikan sindiran terhadap masyarakat lingkungan yang pada waktu itu merupakan kebanggaan bila punya istri lebih dari satu. Pada cerpennya yang lain menyindir tentang jodoh seseorang yang selalu ditentukan oleh kaum keluarga. Melalui cerpen Jodoh, Navis telah memenangkan sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan Radio Nederland Weredomroep tahun 1975. Cerpen yang bercerita secara flash back ini mengisahkan tentang seseorang yang mendapat jodoh dari iklan surat kabar, padahal jodoh itu seharusnya ditentukan oleh kaum keluarga atau mamak (paman) sebagai kebiasaan (adat) daerah tokoh itu bermukim.

Jika dijajarkan semua karya Navis terutama dengan karyanya yang tersebut di atas dengan novel Kemarau ini terlihat ada suatu maksud pengarang yaitu ingin merombak sistem hidup atau pandangan hidup masyarakatnya terhadap hal-hal yang menjadi keyakinannya. Masyarakat sekitar pengarang saat itu selalu suka ikut-ikutan, tidak yakin dengan keyakinan yang dianutnya. Apalagi zaman saat itu masih dalam keadaan revolusi. Hal lain adalah kemalasan yang terjadi pada masyarakat. Tidak mau bekerja keras. Masyarakat maunya menerima apa adanya, atau mencari hal-hal yang mudah dikerjakan dengan untung yang lebih baik atau lebih besar. Kakek (Garin) yang selalu beribadat kepada Allah swt tanpa berusaha bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ia hanya menerima upah sebagai Garin (penjaga surau) dari orang yang sembahyang di Surau itu, atau mendapat sumbangan dari hasil kolam di depan surau itu bila dipanen dan menerima upah bila ada orang yang mau mengasah pisau atau gunting, meskipun kadang-kadang upah tersebut tidak terlalu diharapkannya. Begitu juga masyarakat yang ada dalam novel Kemarau yang dilanda kekeringan, mereka tidak mau berusaha, malah mereka lebih senang ke dukun untuk mengubah keadaan, atau berserah diri kepada Tuhan, dan manakala kedua usaha tersebut terbentur maka mereka senang main domino. Gambaran atau karikatur yang merupakan sindiran ini selalu dimunculkan oleh Navis.

Tokoh aku dalam cerpen Datangnya dan Perginya juga di-gambarkan sebagai seorang tokoh yang melalaikan tanggung jawab terhadap keluarga sehingga tokoh tersebut tidak tahu bahwa anaknya dari istri yang satu telah kawin dengan anaknya dari istri yang lain. Meskipun akhirnya dapat diceraikan namun telah menimbulkan akibat yang fatal karena sudah mempunyai keturunan. Harapan dari tokoh aku yang sudah bertaubat juga tidak tercapai karena telah melalaikan tugasnya, yaitu membiarkan anak sama anak kawin. Sindiran-sindiran terhadap masyarakat yang malas dan tidak mau bekerja keras. Sindiran terhadap para mamak (paman) kaum yang selalu menentukan jodoh anak kemenakannya (dalam cerpen Jodoh). Sindiran terdahap seseorang yang lebih mementingkan beramal daripada memberi nafkah kepada keluarga sebab beramal dengan selalu beribadat kepada Tuhan akan mendapat hidup yang baik di akhirat dalam cerpen Robohnya Surau Kami.

Tokoh Sutan Duano dalam novel Kemarau, dilukiskan pengarang sebagai tokoh yang ulet dan suka bekerja keras. Ia juga seorang yang taat menjalankan perintah Tuhan sehingga masyarakat mengaguminya sebagai tokoh yang pantas ditiru. Ia juga ingin merombak sistem hidup masyarakat lingkungannya yang suka malas-malasan. Ketika terjadi kemarau panjang, ia mencari air dengan mengangkut dari danau. Air dibawa dengan kaleng bekas minyak tanah dari danau. Ia ambil untuk menyirami sawahnya. Pekerjaan ini dikatakan pekerjaan orang gila. Beda dengan tokoh Kakek Garin. Sutan Duano di samping bekerja keras, ia juga diangkat sebagai penjaga surau yang sekaligus guru mengaji. Semua hasil pencahariannya diberikan kepada masyarakat. Sementara masyarakat mulai tertarik dengan sifat sosial Sutan Duano, apalagi ketika Sutan Caniago berhasil dipinjami uang untuk merantau hidup di kota, tanpa meminta bunga hasil pinjaman. Meskipun, dengan menggadaikan hasil panen padinya, Sutan Caniago merasa tidak menggadaikan hasil panen tersebut. Sutan Caniago hanya dipinjami uang secara cuma-cuma. Begitu juga dengan Haji Syamsiah yang kekurangan uang untuk naik haji, dipinjami uang oleh Sutan Duano tanpa meminta bunga. Walau Haji Syamsiah dan hutang Haji Syamsiah tidak perlu dibayar, sebab dari hasil pohon kelapa selama tergadai kepada Sutan Duano telah menghasilkan uang yang bahkan lebih dari hutang Haji Syamsiah semula.

Kepekaan pengarang terhadap lingkungannya dan wawasan tentang agam dan kebiasaan masyarakat menjadikan masalah-masalah yang menarik untuk diangkat ke dalam suatu karya sastra. Hal ini tercermin dari karya-karyanya yang selalu merupakan sindirian yang tajam kejadian masyarakat sekelilingnya, sehingga membuat karyanya nikmat untuk dinikmati. Apalagi gaya khas sindiran yang dimiliki pengarang dan ditambah dengan bahasanya yang mudah dipahami oleh masyarakat pembaca seperti kutipan berikut ini.

Musim kemarau di masa itu sangatlah panjangnya. Hingga sawah-sawah jadi rusak. Tanahnya rengkah sebesar lengan. Rumpun padi jadi kerdil dan menguning sebelum padinya jadi terbit. Semua petani mengeluh dan putus asa. Orang-orang mengomel perintah yang menyuruh mereka agar dua kali turun ke sawah di tahun itu. Setengah bulan setelah benih ditanam, bendar-bendar tak mengalir air lagi karena hujan sudah lama tidak turun. Setiap pagi dan setiap sore para petani selalu memandang langit, ingin tahu apakah hujan akan turun atau tidak. Tetapi langit selalu cerah di siang, dan alangkah gemerlapnya di malam hari dengan bintang-bintang. Dan setelah tanah sawah mulai merengkah, mulailah mereka berpikir. Ada beberapa orang pergi ke dukun, dukun yang terkenal bisa menangkis dan menurunkan hujan. Tapi dukun itu tak juga bisa berbuat apa-apa setelah setumpukan sabut kelapa dipanggangnya beserta sekepal kemenyan. Hanya asap tebal yang mengepul di sekitar rumah dukun itu terbang ke awang bersama manteranya. Dan setelah tak juga keramat dukun itu memberi hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Mereka pergilah setiap malam ke mesjid mengadakan ratib, mengadakan sembahyang kaul meminta hujan. Tapi hujang tak kunjung juga turun. Ketika rengkahan sawah sebesar betis, rumput-rumput dan belukar sudah menguning, sampailah putus asa ke puncaknya. Lalu mereka lemparkan pikirannya dari sawah, hujan setetespun tak mereka harapkan lagi. Sebab meskipun hujan akan turun juga saat itu, tidaklah ada gunanya bagi sawah mereka. Dan untuk membunuh putus asa, mereka lebih suka main domino atau main kartu di lepau-lepau (Navis, 1992: 1).

Gaya bahasa sindiran ini mengingatkan kita akan Robohnya Surau Kami yang punya gaya bahasa sindiran sebagai berikut.

“Kalau ada, kenapa kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedangkan harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka ber-ibadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.

Sedangkan aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahKu saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai malaikat halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di kerak neraka” (Navis,1966: 19).

Kesegaran gaya bahasa sindiran inilah yang membuat pembaca karya Navis lebih enak untuk menyelesaikannya. Gambaran-gambaran yang hidup di tengah masyarakat berhasil ditangkap oleh Navis dan memasuk-kannya ke dalam karyanya, sehingga kadang-kadang pembaca pun merasa berada dalam karya tersebut bila kebetulan gambaran itu cocok dengan pembaca.

2. Pengarang dan Pembaca

Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkap-kan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidup-nya di segala zaman di segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983: 4).

Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyi-kapi hidup dalam kehidupan manusia. Dengan demikian novel sebagai bentuk sastra fiksi dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel persoalan dibicarakan adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui tokoh-tokoh yang dipilih dan ditentukan pengarang dalam menyampaikan cerita, pengarang menyampaikan tema yang diinginkan dan amanat yang ingin dikemukakan.

Membaca novel Kemarau kita dihadapkan kembali dimasa zaman awal kemerdekaan. Pengarang mengajak kita melihat langsung tentang hidup dan kehidupan manusia saat itu. Pengarang dengan meyakinkan bahwa peristiwa itu telah benar-benar adanya, sehingga pembaca merasa yakin akan kejadian yang ada pada cerita dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dihidupkan sedemikian rupa dengan gaya bahasa dan setting yang cocok dimainkan tokoh. Pengalaman hidup pengarang yang dimasukkan dalam cerita membuat tokoh cerita dapat mengatasi permasalahan yang ada pada cerita. Peristiwa yang terjadi dalam cerita dengan permasalahannya telah berhasil diungkapkan pengarang dengan menemui jalan keluarnya. Pengetahuan pengarang akan permasalahan diuraikan pengarang melalui tokoh yang menye-babkan cerita hidup dan membuat pembaca menjadi betah.

Cerita yang mengkritik tentang kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dengan sindiran-sindiran melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan menyebabkan pembaca terpaku. Misalnya untuk menyata-kan orang-orang malas saja berhasil dilukiskan pengerang seperti yang telah dikutip awal tulisan ini. Begitu juga, dengan keyakinan masyara-kat yang masih plin-plan. Suasana saat revolusi dilukiskan sebagai berikut.

Tapi pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah pimpinan mengungsi ke desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi ke kampung tempat Sutan Duano tinggal (Navis, 192: 4).

Kemudian bagaimana saat revolusi selesai dilukiskan sebagai berikut.

Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau perumahan ... Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, lebih dari separuh laki-laki di situ kembali ke rantau. Laki-laki yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang yang telah berpuasa sebulan, lalu mem-punyai kebebasan melahapi penganan di hari raya. Ketika isi kemerdekaan itu ditumpahkan ke kampung itu, kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek huruf, lalu didirikan kursus PBH (Navis, 1992: 4).

Hanya ada seorang tokoh bisa menghadapi suasana waktu karena ia bekerja keras. Tokoh tersebut adalah Sutan Duano.

Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakannya. Sapi-sapi yang tak tergembalakan lagi, ditampungnya dengan perjanjian seperdua. Seekor beruk dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kelapa sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkan. Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus, ia membanamkan dirinya mengikis lumut kulit manis sampai tengah malam. Di samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui buku-buku. Dan ketika orang-orang sudah bosan pada kursus-kursus, baik karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak (Navis, 1992: 5).

Pengarang juga melukiskan, bagaimana ambisinya masyarakat untuk mengadu-nasib di kota, di mana kota dianggap sesuatu yang memberikan harapan hidup besar di banding di desa. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil baik jika ke kota?” Tanyanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa tahu.” “Jangan bermain judi dengan nasib.”
“Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.”
“Di mana Sutan tahu rezeki lebih lapang di kota dari di sini?” Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur.
“Kalau Sutan jual padi itu, apa yang dimakan anak bini Sutan kelak?”
“Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah disiangi. Hanya itu satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib.”
“Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau giat.” (Navis, 1992: 7)
...
“Apa yang menarik Sutan pergi merantau itu?” tanya Sutan Duano selanjutnya.
“Si Maraiman.”
“Si Maraiman?”
“Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia pergi merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?”
“Aku dengar si Maraiman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.”
Sutan Caniago terdiam.
“Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu meng-hiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Maraiman kepada istrinya.”
...
“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan.
“Kota tidak bisa menenteramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung. Di sini aku tenteram dan bahagia. Mengapa pula Sutan yang sudah tinggal di kampung yang tenteram ini, lalu hendak ke kota yang riuh itu? Kota memang banyak pula kemewahan. Tapi bukan kemewahannya adalah sarang kelaknat-an. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah yang laknat... (Navis, 1992: 9).

Walau dengan usaha demikian Sutan Duano belum juga berhasil merobah nasib orang-orang kampung tersebut. Malahan dia telah membantu ekonomi masyarakat dengan menghapuskan sistem ijon dan memberikan pinjaman tanpa bunga.

Akhirnya pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijual dengan hanya memotong seharga uang yang diberikan dulu.
...
Berita Sutan Duano yang telah mengembalikan padi pada istri Sutan Caniago itu sangat menggemparkan seluruh isi kampung itu, seperti berita Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan itulah mulanya Sutan Duano menjadi orang yang berarti di kampung itu (Navis, 1992: 12)

Pada kesempatan lain terjadi pada Haji Syamsiah yang berkekurangan untuk biaya naik hajinya.

Ketika Haji Samsiah mau ke Mekkah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon kelapanya limabelas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau memagangnya lima rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa diminta Haji Syamsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu dipulang-kan kembali. Mulanya disangka Haji Syamsiah harus mengem-balikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kepala itu dipagangnya, ia telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu ia telah berlaba. Tapi yang pokok katanya, cara pagang gadai yang diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya (Navis, 1992: 28).

Pengarang juga menghilangkan anggapan masyarakat terhadap orang tua yang tidur di surau “adalah untuk menghabiskan sisa umur-nya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Quran sampai mata jadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. “Namun, ternyata pengarang, lewat tokohnya Sutan Duano, berbuat lain. Ia menghabiskan waktunya dengan kerja keras.”

Kehidupan masyarakat terutama perempuan di kampung itu yang suka mengaji bukan lantaran ingin memperdalam pengetahuan agama, tetapi sekedar karena tertarik kepada si Guru. Hal itu jelas menunjuk-kan ketidakmatangan emosi, yang antara lain digambarkannya dalam perkelahian antara Gudam dan Saniah yang ternyata menaruh hati kepada Sutan Duano.

“Mestinya juga kukatakan rupanya pada Guru? Apa Guru kira, aku datang ke surau Guru karena aku ingin mempelajari agama? Guru lira, perempuan lain datang karena pelajaran Guru yang menarik hati? Aku, si Gudam, perempuan janda yang lain, perempuan-perempuan yang tua itu, sama saja. Kami datang hanya untuk memperintang waktu. Guru lihat, mana perempuan yang bersuami yang serajin kami mengikuti pelajaran di surau Guru (Navis, 1992: 89).

Bila pada bagian sebelumnya telah kita lihat bagaimana kritik tentang kemalasan masyarakat, maka dibagian lain sebagai jawaban dari hal tersebut dilukiskan pengarang bagaimana kerja keras itu yang baik lewat tokoh Sutan Duano ketika menghadapi kemarau di kampung itu.

Pada bagian lain pengarang berusaha mengkritik tentang penda-laman ilmu agama masyarakat yang kurang dalam. Sutan Duano berusaha untuk merubah hal-hal yang kurang baik itu terhadap pengalaman agama yang salah dan kebiasaan pria.

“Memang aneh. Pikirannyapun banyak pula yang aneh. Dulu zakat diberikan orang kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang berkat ajarannya, zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga zakat itu ia dapat memodali hidupnya agar lebih baik.”
“Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya,” kata yang berkarib dengan Mangkuto pula (Navis, 1992: 27).

Dan Sutan Duano menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri dan menghadap pada perempuan itu.
“Engkau sudah tahu sejak dulu, aku tidak suka pada pesta-pesta yang berketentuan itu.”
“Aku tidak mengadakan pesta, aku membayar nazar karena Acin telah sembuh,” kata Gudam pula.
“Siapa-siapa yang kau undang makan ke rumah? Tentu Wali Negari juga ? Datuk Bebangso juga, bukan?
“Ya.”
“Itulah yang aku tidak setuju. Kau boleh membayar nazar mu mengundang orang makan enak-enak ke rumahmu. Tapi bukan mengundang orang kenyang, bukan mengundang orang-orang yang biasa makan enak. Itu ria namanya. Dilarang oleh agama. Yang dianjurkan hanyalah megundang anak-anak yatim atau orang-orang miskin yang kelaparan (Navis, 1992: 94).

Bagian akhir dari novel ini adalah kritikan terhadap orang-orang suka kawin cerai sehingga tidak tahu lagi bahwa anak sesama anak tidak saling mengenal dan akhirnya kawin.sindiran ini diberikan kepada masyarakat yang pada waktu itu menjadi kebanggaan bila beristri lebih dari satu.

Kau lihat nanti, betapa bahagianya mereka. Mereka sudah punya dua orang anak yang manis-manis. Malah hampir tiga. Kalau mereka kau beritahukan, bahwa mereka bersaudara kandung, mereka mesti bercerai sebagai suami istri. Kalau mereka mengerti, kalau mereka beriman dan tawakal seperti kau katakan tadi, tidaklah sulit bagi masanya yang akan datang. Tapi kalau tidak, hancurlah hari kemudiannya. Ambruklah kehidupan-nya yang dulu tersebab kau. Kalau mereka bercerai, anak mereka hendak jadi apa? Tiga orang anak yang tak tahu menahu, cobalah kau pikir ... (Navis, 1992: 113).

Bila pengarang pada cerpen Datangnya dan Perginya mengambil keputusan terhadap persoalan ini dengan membiarkan perkawinan anaknya itu demi rasa kemanusiaan, maka pada novel Kemarau persoalan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Pekerjaan itu adalah dosa, maka Masri dan Arni bercerai dengan keinsafan dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang tawakal dan beriman.

Banyak lagi sindiran-sindiran tentang kehidupan masyarakat yang diungkapkan pengarang, seperti tingkah laku para janda di kampung yang mau berkelahi untuk memperebutkan pria yang diidamkannya. Mempergunakan guna-guna untuk mencelakakan sese-orang seperti yang dilakukan Saniah terhadap Gudam, namun cepat diketahui Sutan Duano. Kebobrokan kehidupan masyarakat inilah yang diungkapkan pengarang melalui novel Kemarau ini. Melalui renungan implied author mau pun narrator-nya dituangkan semua sindiran-sindiran itu. Pengarang mengungkapkan semua kejadian ber-dasarkan situasi saat itu. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan munafiknya seorang tokoh pejuang. Ketika mereka diserang, semua lari ke desa dan berdiam untuk sementara. Kemudian manakala keadaan aman mereka keluar dan telah dianggap atau mengaku sebagai pahlawan. Dari hal-hal yang tersebut di atas mugkin dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan tentang keyakinan atas kodrat Tuhan yang menentukan hidup manusia. Meskipun seorang telah tobat, namun Tuhan akan tetap menguji dan menuntut amal-saleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai pada suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan ber-agama.

Suatu hal lagi yang belum terungkapkan oleh pengarang adalah tentang masa lampau Sutan Duano, meskipun hal itu sebenarnya bisa dikembangkan. Entah berapa kali ia kawin cerai sehingga keluarganya berantakan, hidupnya tidak karuan, dan tentunya kerja kerasnya di kampung itu bisa saja ditafsirkan sebagai usaha untuk melarikan diri dari masa lampau yang kelam itu. Ini bisa merupakan landasan bagi keadaan dan perkembangan kejiwaannya, tetapi karena tidak digarap secara khusus, tokoh-tokoh itu seolah-olah tidak memiliki masa lampau yang jelas. Hanya di akhir novel digambarkan betapa jauh jarak termasuk dari segi martabat antara masa lampau dan kehidupan-nya di kampung itu. Lelaki setengah baya yang di kampungnya mendapat penghargaan dari warga lantaran kerja keras, kekayaan dan sikap tolong-menolong, ternyata sama sekali tidak ada harganya di mata bekas istrinya yang tentunya melambangkan masa lampau.

Bertolak dari judul novel ini Kemarau yang memang mengisah-kan bagaimana suatu musim kering yang panjang melanda suatu kampung. Namun penduduknya tidak mau berusaha, padahal di kampung sendiri Tuhan telah menyediakan air danau. Untuk mengatasi semua itu muncullah tokoh Sutan Duano. Dengan bekerja keras maka semua kesulitan tersebut di atasi dengan baik, hanya saja penduduk tidak mau mengikuti jejak langkahnya, meskipun Sutan Duano di-anggap tokoh masyarakat yang disegani, sehingga hanya Sutan Duano sendiri yang bisa berhasil. Makna lain yang tersirat dari judul ini, di samping musim, juga kehidupan masyarakat itu sendiri. Terutama tentang pemahaman keagamaan. Sehingga masyarakat atau penduduk itu juga gersang akan kehidupan rohaniahnya. Mereka belajar agama hanya karena ikut-ikutan saja. Kemarau itu juga terjadi pada diri kaum wanita yang lebih banyak janda. Janda-janda itu sudah kering batinnya karena kekurangan nafkah batin dari para kaum pria yang lebih banyak merantau atau berada di luar kampung tersebut. Kemarau yang lain adalah tentang pendidikan anak-anak karena guru-guru kurang maka yang bisa diadakan hanyalah kursus-kursus singkat saja. Dan akibat dari kemarau itu maka timbullah kemunafikan, kurang percaya diri, bisa diadu-domba atau di depan seseorang berlaku baik tetapi di belakang orang tersebut berlaku jelek.

Hal-hal di atas itu terungkap dari pengakuan masyarakat ketika Sutan Duano dikabarkan hendak meninggalkan kampung itu.

Kemudian diceritakanlah oleh Rajo Mantari betapa kecanggungan penduduk di situ seandainya Sutan Duano jadi pergi. Dimintanya maaf seluruh isi kampung itu yang seperti telah memalingkan dirinya dari Sutan Duano semenjak musim kemarau melanda kampung itu. Kini, katanya mereka sudah insaf, bahwa Sutan Duano lah yang benar. Mulai saat itu, mereka berjanji mematuhi anjuran Sutan Duano, asal saja ia tidak jadi pergi. Diceritakannya juga, betapa kekurangan kampung selama ini terhadap sehari-hari, koperasi simpan pinjam, gotong-royong bertani, soal zakat fitrah, bahkan sampai soal ijon yang telah dapat dilenyapkan. Disebutnya segala jasa Sutan Duano selama ini, baik dalam merukunkan rumah tangga, menyelesaikan seng-keta orang sekeluarga. Juga dalam soal tuntutan beragama secara betul (Navis, 1992: 75).

Seperti telah disebutkan di atas bahwa karya ini adalah merupa-kan sindirian terhadap masyarakat pada masa permulaan kemerdekaan dalam suatu kampung (mungkin saja kampung pengarang) dengan serba kekurangannya. Dan kekurangan itu disimbolkan lewat judulnya Kemarau yang berarti telah terjadi musim kering yang panjang di kampung itu.

Apa yang kita rasakan setelah membaca novel Kemarau ini, ialah impleid reader-nya adalah orang-orang Minangkabau yang lebih suka beristri banyak, malas bekerja, merantau hanya untuk ikut-ikutan saja atau kalau berhasil di rantau mereka lupa akan pulang untuk mem-bangun kampung dan pemahaman akan agama. Agama yang diterima tidak dikaji secara mendalam sehingga terjadi salah tafsir dari maksdu-maksud agama tersebut khususnya Islam. Pengarang melalui tokoh-tokoh ceritanya mengungkapkan hal-hal tersebut dan sekaligus ber-usaha merombaknya demi kebaikan kampung halamannya. Menurut pengakuan pengarang dalam Pamusuk Eneste (1982: 68) bahwa tokoh Sutan Duano ditampilkan sebagai tokoh ideal tipe Islam karena di Sumatera Barat banyak ulama Islam terkemuka berasal dari orang-orang taubat atau sadar setelah mudanya menjadi bergajul atau bajingan. Orang-orang yang bertaubat umumnya lebih kongrit amal salehnya daripada orang-orang beramal karena tradisinya meng-hendaki begitu. Kemudian, bagi penduduk Minangkabau Islam bukan saja sebagai agama, tetapi juga telah menjadi kultur. Memajukan bangsa Indonesia dengan memakai kulturnya akan lebih mudah dari pada dengan memasukkan ajaran lainnya. Karena kepemimpinan Islam (ulama) lebih dipercaya rakyat daripada pimpinan lainnya. Di samping itu sesuai dengan kebiasaan orang Sumatera Barat lebih suka menyin-dir daripada memberikan langsung terhadap sesuatu yang mau diajarkan.

3.Penutup

Karya sastra yang baik adalah karya yang bisa menggambarkan situasi zamannya dan melalui karya itu pengarang berusaha meng-ungkapkan ide atau gagasannya dengan mencarikan jalan keluar dari permasalahan yang ditemui pada saat itu. Hal ini telah dilakukan oleh Navis. Suatu keadaan zaman pada masa setelah kemerdekaan dilukis-kan dengan berbagai permasalahan hidup dan kehidupan manusia telah digambarkan secara baik kembali, dihadirkan dengan bahasa yang lancar dan perenungan yang mendalam. Kemudian dengan penga-laman hidup pengarang dibentuklah jalan keluar dari permasalahan yang ditemui pada zaman tersebut. Meskipun gaya Navis yang penuh dengan sindiran tidak semua orang akan dapat mematuhinya tetapi bagi orang Minangkabau yang sejati cara demikianlah yang cocok untuk memberikan pelajaran kepada seseorang. Orang Minangkabau lebih merasa terhina bila disindir daripada dipukul di depan orang ramai. Agaknya implied reader dari novel ini, tentang orang-orang Minangkabau khususnya dan Sumatera Barat umumnya.

Bila dilihat dari keseluruhan karya Navis, kata, kalimat, dan wacana dari setiap karangannya adalah berupa sindiran. Inilah ciri khas dari Navis. Sindiran-sindiran yang ditampilkan Navis telah merupakan model tersendiri atau wacana Navis adalah demikian.

Pembaca dalam hal ini adalah pembaca arif akan situasi dan suasana. Dengan gaya bahasa khas ironi, Navis berhasil menggiring pembaca pada persoalan dan mengantarkan pembaca pada suatu jawaban, meskipun kemudian pembaca juga mempunyai jawaban yang lain lagi. Akhirnya pengarang yang baik adalah pengarang yang berhasil mengungkapkan pikirannya lewat karya dan berhasil di-tangkap pembaca dengan baik. Dan pembaca yang baik tentulah pembaca yang dapat mengambil amanat dan maksud dan ide pengarang, sehingga dimana saja dan kapan saja ide tersebut dapat berkembang sesuai dengan situasinya.

(Penulis Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta)

Daftar Pustaka

Abdullah, Imran T. 1984. “Resepsi Sastra Teori dan Penerapannya” dalam majalah Humaniora No. 1 tahun 1984 hal. 71.
--------------------- 1993. “Burung-Burung Rantau: Pengarang, Teks, Pembaca dalam Rangkaian Pemaknaan”. Makalah Diskusi Buku Sastra dan Temu Pengarang PBSI FKIP dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Damono, Sapardi Djoko, 1992. “Kata Pengantar” dalam Novel Kemarau. Jakarta; Grasindo
Eneste, Pamusuk, 1993. Proses Kreatif. Jakarta Gramedia.
Jassin, H. B. 1984. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia. Jakarta; Gramedia.
Martin, Wellace. 1980. Recent Theories of Narrative. New York; Cornell University Press.
Navis. A. A. 1966. Robohnya Surau Kami. Bukittinggi; Nusantara.
-------------- 1992. Kemarau. Jakarta; Grasindo.

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar