Misalnya, dalam puisi “Si Anak Hilang” (Dalam Sajak, 1955) penyair Sitor Situmorang menggunakannya untuk menyatakan seorang anak muda yang pergi merantau. Ia dinyatakan hilang dari kampung halamannya, tanpa meninggalkan bekas maupun pesan terhadap yang ditinggalkan; orang tua dan kampung halamannya sendiri. Ibu dan bapaknya selalu menanti kepulangannya, tetapi mereka hanya menanti dalam kesia-siaan belaka. Sebab ternyata, si anak tak kunjung pulang; ia hilang untuk selama-lamanya.
Sastrawan Satyagraha Hoerip dalam kata pengantarnya di buku “Mitos dan Komunikasi” Umar Junus (1981) menggunakan ungkapan “Si Anak Hilang” itu untuk menyatakan hal yang persis sama dengan Sitor. Ia menyebut Umar Junus sebagai “anak hilang”, karena lama hidup merantau di negeri jiran, Malaysia. Tetapi pada sisi lain (nonfisik), Hoerip menilai Umar Junus tak pernah hilang dalam lanskap telaah dan kritik sastra Indonesia. Meski berada jauh di rantau orang, namun Umar Junus tetap mencurahkan perhatian dan kecintaannya terhadap sastra Indonesia. Ini berarti, Indonesia tak pernah hilang dari cinta dan pergumulan intelektual seorang Umar Junus. Hal ini akhirnya terbukti dengan banyaknya lahir tulisan dan terbit buku Umar Junus, berupa telaah-telaah terhadap karya sastra Indonesia. Justru itu, Hoerip menyatakan Umar Junus dengan ungkapan “Kembalinya si Anak Hilang”. Sementara itu, Nasjah Djamin menggunakan ungkapan itu untuk judul sebuah novelnya, yakni : “Hilangnya Si Anak Hilang” (Pustaka Jaya, 1977), dan banyak lagi ungkapan itu digunakan oleh pengarang dan kritikus sastra Indonesia dalam karya-karya yang mereka lahirkan.
Mengemukakan argumen terhadap pernyataan di atas, kita tak dapat pula menampik bahwa di ruangan Remaja Minggu Ini (RMI) Harian Haluan, Padang, sendiri pun telah dipergunakan ungkapan tersebut. Penyair dan kritikus Syarifuddin Arifin ternyata menggunakannya untuk menyatakan penulis-penulis muda Sumatera Barat yang sempat mengantarkan RMI ke masa jayanya pada periode 1970-an, tapi saat ini (1980-an) telah “mati” kreativitasnya, sebagai “Si Anak Hilang”. Tatkala seorang di antara penulis RMI Haluan yang (diduga) telah mati kreativitasnya itu, yaitu Taty Fauzie Prasodjo, tiba-tiba kembali memublikasikan cerpennya pada RMI, edisi Minggu 3 Mei 1987, maka Syarifuddin Arifin dalam tulisan pengantar cerpen itu, menyebut Taty sebagai “Kembalinya Si Anak Hilang”. Kemudian ia mengharapkan agar, selain Taty, hendaknya mereka yang telah hilang dulu itu dapat kembali lagi dengan sendirinya, dan berpacu melecut kreativitas menulis di ladang penyemaian RMI Haluan ini.
Di atas saya menyebut (malah dalam tanda kutip) kata-kata seperti; kreativitas, total, pergumulan, gigih, dunianya, menipis, inovasi dan intensitas. Lalu apa hubungannya penggunaan kata-kata itu dengan topik artikel kecil ini? Dapat atau mungkinkah kata-kata itu ditumpangi hasrat dan harapan yang andal guna membantu kita mencari penyebab “Si Anak Hilang”, khususnya yang melanda tubuh RMI Haluan ini? Menjawab pertanyaan ini tidaklah begitu sulit. Tetapi sebelumnya kita mesti dapat mengarifi diri seraya menepis anggapan (klise) bahwa, mencari penyebab berarti mencari kesalahan yang membawa kekusutan untuk penyelesaian masalah. Sebab, mencari penyebab timbulnya sesuatu hal atau keadaan, adakalanya juga usaha mencari titik kelemahan yang memungkinkan timbulnya hal atau keadaan tersebut. Oleh karena itulah, titik kelemahan yang menyebabkan timbulnya “Si Anak Hilang”, antara lain terletak pada beban “semantik” yang diemban oleh kata-kata di atas.
Dalam hal ini, penyair Rusli Marzuki Saria (redaktur RMI Haluan) agaknya orang yang beruntung dan berbahagia telah menemukan penyebab “Si Anak Hilang” ini. Dalam suatu kali pertemuan di redaksi Haluan, ia mengatakan, “Sebetulnya kreativitas penulis-penulis muda RMI Haluan itu tidak akan mati (“Si Anak Hilang” tidak akan ada), kalau saja mereka mempunyai keuletan, keseriusan yang total dalam menggumuli dunianya (sastra) dengan gigih. Kalau hal-hal elementer ini telah menipis, maka intensitas akan lemah dan inovasi terbang bersama angin, sehingga kreativitas akan mati muda! Mereka umumnya tidak studi, dan karya-karya mereka hanya lahir karena faktor kebetulan (spontanitas), tidak atas dasar pergumulan yang intens, melainkan karena pengaruh (rangsangan) dari (karya) orang lain. Ini sangat berbahaya..! Saya tak pernah demikian. Ini akan membunuh kreativitas,” tegasnya. (Padang, 18 Juni 1987) *
*) Tulisan lama yang dibuang sayang. Pernah dimuat di RMI Harian Haluan, Padang, edisi; Juli 1987).