Museum Tsunami Aceh dapat menceritakan kembali bagaimana bencana gempa Aceh terjadiCatatan Harfiandri Damanhuri
Dosen Universitas Bung Hatta, Padang
Pagi itu beberapa tahun lalu saya baru saja selesai mandi. Lalu duduk di teras depan rumah. Sambil menunggu kedatangan paman ke rumah kecil kami. Paman saya biasanya selalu datang tepat waktu, apa lagi beliau telah berjanji akan datang. Tidak beberapa lama beliaupun datang dengan motor suprafit hitam. Saya mempersilakan beliau masuk dan duduk pada kursi rotan diteras depan rumah. Lalu bertegur sapa bertanya kabar dan kesehatan paman, dan dilanjutkan dengan diskusi tentang rencana untuk merenovasi dan atau membangun rumah yang saya ditempati saat ini.
Selang tidak lama kami berdua bercerita pagi itu, sekitar pukul lk 08.30 WIB. Tidak terasa ada gempa yang menguncang kami duduk dan rasanya cukup kuat, sekali hentakan dan goyongan akibat gempa. Kamipun terhenti sejenak lalu melanjutkan cerita. Saya tidak begitu peduli dengan gempa saat itu. Karena diskusi saya dengan paman harus tuntas, karena pamanpun ada kegiatan pagi itu.
Dari teras rumah tempat kami berdiskusi, saya minta isteri saya yang berada dalam rumah RS-21 untuk menghidupkan TV 24”, agar mendapatkan kabar dan berita tentang gempa yang barusan terjadi. Didalam rumah isteri saya menonton. Karena jaraknya tidak begitu jauh dengan lokasi kami duduk. Saya dan pamanpun dapat juga mendegarkan berita TV tersebut, dari mana sumber gempa yang barusan terjadi.
Tidak berapa lama kami bercerita dan berdiskusi dengan paman, TV langsung menyampai berita, bahwa ada gempa besar yang mengakibtakan terjadinya tsunami di Aceh, ujung Pulau Sumatera. Selang beberapa lama, kami melihat secara langsung liputan media yang menunjukan gelombang air yang besar tumpah dijalan-jalan utama, sungai dan masuk ke kawasan pemukiman masyarakat di kawasan pesisir Kota Aceh, menghantam segala yang menghadang.
Setelah berita gempa dan tsunami, saya jadi ingat waktu itu ada 4-5 orang mahasiswa saya yang lagi penelitian tentang penyu di Pulau Beringin, Kab. Pesisir Selatan, yaitu Zulhendri, Hawari Fabrianto dan didampingi oleh teman-teman satu angkatannya. Selain dua mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, saya juga membimbing satu orang mahasiswi Biologi FMIPA Unand waktu itu ; Guslinar Yetti.
Saya tidak dapat berkomunikasi dengan mahasiswa yang sedang berada di pulau dari pagi sampai siangnya pada hari Minggu, 26 Desember 2004 tersebut. Saya hanya berdoa dan berharap, tidak terjadi apa-apa dengan mahasiswa saya yang pada waktu itu sedang melakukan penelitian tentang penyu di pulau tersebut.
Setelah peristiwa besar dan tsunami, terniat dalam hati saya kapan saya bisa melihat Kota Aceh yang pernah dilanda tsunami besar yang menelan korban hampir 197.000 jiwa, dan meluluhlantakan perumahan, infrastruktur dan bangunan lainnya serta membawa kapal dari tengah laut sampai ke daratan.
Ternyata cita-cita dan mimpi untuk dapat mengunjungi Aceh baru terwujud setelah 13 tahun kemudian (2017) atas undangan dari sebuah perguruan tinggi negeri Universitas Malikussaleh, Kota Lhokseumawe yang mengundang saya datang untuk berbagi pengalaman tentang penyu dan aspek-aspek terkait. Serta berbagi pengalaman tentang bagaimana merancang, menyusun dan membuat roadmap penelitian penyu laut (sea turtle).
Setelah terjadi gempa dengan kekuatan 9.1 SR dan tsunami dengan ketinggian lk 18, banyak menelan korban dan kerusakan. Bantuan duniapun mengalir deras ke Kota Aceh, sehingga saat ini Aceh telah berubah menjadi kota yang berkambang maju, bersahaja dan toleran, masyarakat penuh dengan rasa kekeluargaan dan silaturrahim serta banyaknya bukti-bukti peninggalan dari bencana tsunami tersebut.
Salah satunya adalah Museum Tsunami Aceh yang dapat menceritakan kembali bagaimana bencana itu terjadi dan berdampak, serta bukti-bukti nyata, barang dan foto yang ditata apik untuk dapat menyampaikannya segala cerita, suka dan duka ketika kita berkunjung ke museum tersebut.
Semoga dari kunjungan anda ke Museum Tsumani Aceh tersebut dapat menjadi pembelajaran buat kita bersama, bahwa laut itu penuh dengan rahasia. Salam konservasi dari pulau di ujung Sumatera (hd, 26 Desember 2017)