ALHAMDULILLAH, saya telah menerima hadiah buku novel berjudul “Mamak” karya sahabat saya, Nelson Alwi (CV. Angkasa, Bandung, cet. I, Januari 2017 : iv + 246 halaman), yang diberikan langsung oleh penulisnya, Selasa (14/3). Novel ini termasuk salah satu nominasi dalam “Lomba Sastra Aksara 2016” (lomba menulis cerpen dan novel se-Indonesia) yang ditaja atas kerjasama Program Bahasa dan Kajian Indonesia, Deakin University, Melbourne, Australia; Pusat Kajian Humaniora FBS Universitas Negeri Padang (UNP); dan Penerbit Angkasa Bandung. Seperti kita ketahui, Lomba Sastra Aksara 2016 berlangsung sejak Desember 2015 sampai Mei 2016 lalu. Jumlah naskah yang masuk dalam lomba yang diikuti oleh penulis dari seluruh daerah di Indonesia ini adalah, cerpen (358 naskah) dan novel (207 naskah). Juara I untuk kedua jenis lomba berhak menerima Anugerah Sastra A.A. Navis 2016 (A.A. Navis Award 2016) yang diserahkan dalam suatu acara di Teater Tertutup Mursal Esten, kampus FBS Univ. Negeri Padang, pada Selasa, 16 Agustus 2016 lalu. Patut dicatat, di tahun 2016 inilah penyerahan A.A. Navis Award pertama dalam sejarah sastra di Sumatra Barat, dan malah di Indonesia. Jika ada penulis yang mengklaim novelnya sebagai pemenang A.A. Navis Award tahun sebelumnya, itu adalah fiktif, dan patut dicurigai maksudnya!
Menurut Nelson Alwi, novel “Mamak” ini baru terbit, diedarkan pertama kali oleh penerbit Angkasa Bandung di stand-nya pada “Minang Book Fair” di Masjid Raya Sumbar, tgl. 24 Pebruari s/d 5 Maret 2017 lalu. Setelah menerima (tanda bukti terbit) novel pertamanya ini dari penerbit, Nelson pun menghadiahkan “Mamak” kepada beberapa sastrawan senior, seperti Rusli Marzuki Saria dan Darman Moenir (di Padang), serta Adek Alwi di Jakarta.
”Saya susah mencari Bung Dasril, waktu itu,” kata Nelson. “Padahal, hari itu saya mengantarkan novel ini ke rumah Papa Rusli Marzuki Saria di Ulak Karang, dan Bang Darman Moenir di Siteba, setelah itu mengirimkannya untuk Uda Adek Alwi di Jakarta. Bang Darman Moenir malah sangat mengapresiasi terbitnya novel ‘Mamak’ ini, dan beliau akan menulis ulasannya setelah membacanya sekali lagi,” kata Nelson Alwi diiringi senyum.
Novel “Mamak” Nelson Alwi belum sempat saya baca, ketika tiba-tiba, siang itu, saya teringat seorang mahasiswa pascasarjana di Padang, yang (pernah mengeluh kepada saya tentang) kesulitannya mencari karya sastra (novel) bermutu untuk ditelitinya sebagai tesis. Beberapa kali dia telah memilih novel (karya pengarang dan tentang Minangkabau) dan menawarkan ke dosen pembimbing untuk diteliti, tetapi selalu ditolak oleh dosen pembimbingnya, dengan alasan antara lain, novel itu telah banyak diteliti orang, dan/atau novelnya termasuk jenis populer, padahal si mahasiswa ini telah menentukan kerangka teori dan aspek penelitian untuk tesisnya.
Dengan novel “Mamak” di tangan, saya kontak si mahasiswa tersebut untuk bisa bertemu di kampusnya. Saya suruh dia agar menamatkan membaca novel “Mamak” itu dalam semalam, dan jika ditemui kecocokan persoalan dalam “Mamak” dengan aspek penelitian tesis yang telah disiapkannya sebelumnya, saya menyarankan agar dia segera kembali menemui dosen pembimbingnya, sambil menawarkan novel “Mamak” untuk diteliti sebagai tesis. Saran saya diterimanya dengan baik. Kemudian, Rabu (15/3) siang, si mahasiswa dengan girang mengontak balik ke WA saya, mengabarkan bahwa: Alhamdulillah, novel “Mamak” Nelson Alwi berterima/disetujui oleh dosen pembimbingnya yang guru besar sastra itu, untuk diteliti sebagai tesis. Ia gembira, karena dengan demikian, “Mamak” akan digarapnya sebagai tugas akhir penyelesaian studinya di program pascasarjana tersebut.
Ternyata, sebuah novel bermutu, dari awal terbit, tak harus dibalut seremonial glamoar berlebel “peluncuran”, “bedah buku”, “talk-show” dan sebagainya, sebagaimana lazimnya saat ini, tetapi ia diam-diam akan berterima --dan seterusnya diyakini tak akan pernah usang/kering-- untuk diteliti/dikaji dari berbagai aspek, oleh para kritikus sastra, termasuk kritikus dari kalangan akademisi sastra, (apalagi) dari perguruan tinggi sastra yang mumpuni! Terima kasih hadiah novelnya, Bung Nelson Alwi. Salam kreatif selalu. *** (Padang, 16 Maret 2017).