Sangat diperlukan adanya tenaga kreatif di fakultas sastra, yang dipandang potensial sebagai “motor” untuk menggerakkan berbagai kegiatan kesastraan di kalangan mahasiswa. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan kesastraan mahasiswa fakultas sastra dapat dihidupkan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pengajaran, guna meningkatkan kemampuan apresiasi dan kreativitas mahasiswa terhadap dunia sastra. Tentu tak sukar dipahami, jika kegiatan kesastraan di fakultas sastra sempat “lindap” dan apalagi “pudur”, tentulah berakibat apresiasi sastra mahasiswa tak mungkin membaik, mahasiswa apatis terhadap anjuran untuk kreatif di dunia sastra, dan yang lebih riskan lagi adalah eksistensi fakultas sastra di tengah masyarakat berangsur melemah. Masyarakat toch memandang fakultas sastra yang eksis bukanlah yang memiliki banyak mahasiswa, tetapi yang kaya dengan kegiatan, biar pun cuma memiliki mahasiswa yang jumlahnya relatif sedikit.
Sastrawan Darman Moenir mengungkapkan hal tersebut di kantornya –Museum Negeri Provinsi Sumbar Adhitiyawarman, Padang, Rabu, (22/6/1994) lalu, ketika bincang-bincang mengenai eksistensi fakultas sastra di tengah masyarakat dewasa ini.
Darman Moenir |
“Motor” kegiatan di fakultas sastra itu, kata Darman Moenir, lebih baik kalau berasal dari kalangan dosen sendiri sebagai sosok yang kreatif, tentulah hal ini berpengaruh besar bagi mahasiswanya. Dosen itu dengan sendirinya menjadi “panutan” yang dapat memicu mahasiswa untuk juga kreatif berkegiatan sastra, minimal di kampusnya. Karena terpicu, mahasiswa lama-kelamaan akan “risih” dan menantangnya untuk suatu saat tidak lagi “digerakkan” tetapi berusaha tampil pula sebagai “motor” yang menggerakkan kegiatan sastra di kampusnya. “Iklim seperti itulah yang diharapkan tumbuh di fakultas sastra, sehingga kegiatan-kegiatan kesastraan mahasiswa dapat terus hidup secara berkesinambungan, dan eksistensi fakultas sastra senantiasa terpelihara,” ujarnya.
Dengan tersedianya “motor” kegiatan itu, tutur Darman Moenir lagi, maka apa pun bentuk kegiatan kesastraan yang digagaskan, tidaklah sukar dilaksanakan di fakultas sastra . Meski harus dimaklumi, realisasinya mungkin saja menemui benturan-benturan tak terhindari dari percikan sistem birokrasi yang berlaku, tapi hal itu adalah wajar-wajar saja terjadi di mana-mana sebagai sesuatu yang tak semestinya mengendorkan semangat berkegiatan.
Kegiatan seperti baca sajak dan diskusi langsung dengan penyairnya, dinilai Darman Moenir yang novel Bako-nya kini tengah diterjemahkan ke bahasa Belanda itu, merupakan alternatif kegiatan terbaik bagi peningkatan apresiasi sastra mahasiswa di samping menguatkan eksistensi fakultas, asal kegiatan itu bisa dilaksanakan secara rutin dan sungguh-sungguh serta terpublikasi baik. “Di kota Padang, misalnya, undang saja penyair Rusli Marzuki Saria untuk baca sajak di fakultas sastra, dan kemudian lanjutkan dengan diskusi seputar proses kreatifnya,” kata Darman Moenir menyarankan.
Tak Harus Menganggur
Sementara itu, eksistensi sarjana sastra pun, menurut Darman Moenir, tetap berterima di masyarakat. Tak pernah terjadi masyarakat meremehkan eksistensi sarjana sastra, misalnya, bila dibandingkan dengan sarjana-sarjana dari disiplin ilmu lain. Apalagi kalau seorang sarjana sastra itu berkemampuan dalam menulis, dan rutin memublikasikan tulisan-tulisannya di media cetak yang tersedia dewasa ini. Setidaknya hal itu merupakan bentuk lain dari perolehan lapangan kerja baginya, yang nota-bene tidaklah seharusnya seorang sarjana sastra untuk disebut menganggur.
Kendati ada sinyalemen bahwa masyarakat enggan memasuki fakultas sastra karena lulusannya kelak sulit memperoleh lapangan kerja, tapi bagi Darman Moenir, sinyalemen itu tak cukup kuat alasannya. “Kita haruslah melihatnya secara komparatif, menarik garis perbandingan dengan lulusan fakultas lainnya yang juga sulit memperoleh lapangan kerja dewasa ini. Barangkali, lebih banyak sarjana ekonomi, hukum, teknik, termasuk sarjana pendidikan dan lainnya, yang hidup menganggur dewasa ini ketimbang sarjana sastra,” katanya.
Sarjana sastra tak harus menganggur, karena lebih banyak peluang kerja baginya ketimbang sarjana disiplin ilmu lain, asalkan kita bisa memanfaatkannya. Misalnya di kantor-kantor yang senantiasa berurusan dengan surat-surat dinas (resmi), yang bila diteliti selama ini banyak rancu bahasanya. Maka, sarjana sastra potensial dimanfaatkan sebagai editor surat-surat resmi di berbagai kantor itu, agar surat-surat tersebut bersih dari kesalahan penulisan: ejaan, diksi dan tatakalimatnya. “Saya rasa sudah saatnya kantor-kantor memanfaatkan sarjana sastra untuk editor surat-surat resmi itu. Tapi betul-betul sarjana sastra yang mengerti kaedah penulisan surat dalam bahasa Indonesia yang baik. Terkadang sarjana sastra itu pun banyak yang tak pandai menulis surat,” pinta Darman Moenir diserta tawa ringan. (Dasril Ahmad) ***
*) Tulisan lama, pernah dimuat di “Budaya Minggu Ini” Harian Haluan, Padang, Selasa, 28 Juni 1994, halaman XI