“Menulis puisi bisa selesai 5 menit, tapi idenya di kepala diolah dan diendapkan bisa bertahun-tahun lamanya. Kalau dulu, membicarakan puisi kepada siswa di kelas, menjadi menarik, karena kita di depan siswa bisa berbicara berdasarkan ilmu, pengalaman dan proses,” kata Wandra Ilyas (57 tahun) ketika ditemui di ruangan kerjanya, Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar, Jumat siang (24/7).
Bagi saya, Wandra Ilyas adalah teman lama, yang sejak tahun 1970-an kami mulai aktif menulis sastra di ruangan Remaja Minggu Ini (RMI) Haluan, asuhan penyair Rusli Marzuki Saria. Ia tidak hanya menulis puisi, tapi juga cerpen, esei dan kritik sastra. Selain aktif menulis, sejak 1981, putera Sumani, Solok, kelahiran 1958 ini, mulai menyandang profesi sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia di SLTP dan SLTA, mulai dari Solok sampai ke Padang, dan setelah tak lagi mengajar, ia kini jadi pejabat eselon III di Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar. Ironisnya, kreativitas menulis sastra Wandra Ilyas dalam dua dekade ini menjadi vakum, boleh jadi karena berbagai kesibukannya sebagai birokrat itu. Namun, ketika mengetahui alumni penulis RMI Haluan mau mengadakan reuni dan menerbitkan buku antologi sastra, ia spontan ingin berpartisipasi. “Bagus, kalau boleh satu saja puisi saya masuk ke dalam buku itu, jadilah..!” ujarnya.
Justru itulah, dalam pertemuan singkat di ruang kerjanya itu, Wandra Ilyas tampak semangat untuk kembali aktif menulis puisi. Menurutnya, menulis puisi bisa 5 menit siap, tapi idenya bisa sampai bertahun-tahun diolah dan diendapan di kepala. Ucapannya langsung dibuktikan. Ia ambil selembar kertas dan pulpen, dan langsung menulis sebuah puisi berjudul “Untukmu Pahlawan”. Sambil menulis, ia mengungkapkan bahwa ide dan kata-kata puisi itu sudah puluhan tahun tinggal di kepalanya, cuma kini harus ditulis lagi, karena arsip puisi itu, termasuk kliping yang sudah dimuat di koran telah hilang.
Akhirnya terungkap juga bahwa puisi “Untukmu Pahlawan” ini, diakuinya, merupakan puisi juara satu dalam sebuah lomba menulis puisi tingkat Sumbar tahun 1980 dulu, dengan dewan jurinya (waktu itu) adalah sastrawan A.A. Navis (alm), Darman Moenir dan Prof. Dr. Djamil Bakar (alm) dari IKIP Padang. “Kehadiran Bung Dasril ke sini membangkitkan kermbali semangat saya untuk menulis sastra,” tutur Wandra Ilyas senyum mengakhiri pertemuan kami. Kita nikmati sebuah puisi dari Wandra Ilyas berjudul “Untukmu Pahlawan” ini.
UNTUKMU PAHLAWAN
Oleh : Wandra Ilyas
Mengapa di sini hujan terlalu deras
di kampung banyak sawah kami telah
kering kerontang
ketaping tak lagi berbuah
sementara pisang batu di makan tupai sebelum menjantung
Ingin benar aku melepaskan segala rindu
pada seribu harap
tiba-tiba saja jadi luruh dan luluh
kami sudah lama tak punya ayah
Andaikan ia masih ada
barangkali ibu tidak akan lekas tua
oleh derita
barangkali kami tidak akan menyandang
cangkul dalam usia begini
atau aku masuk tentara menyandang
semangat juang seperti ia dulu
Kalaulah pula kami tahu tempat gugurnya
pasti akan kami bersihkan dari tutupan
semak, rumput dan jaringan akar
akan kami buatkan tugu dari pecahan
batu kehidupan
akan kami taburi gubahan bunga
dari kasih sayang
akan kami bacakan doa dari
semua doa
Tiba-tiba kenangan pun pecah
saat mata ini terpandang
pada sebuah kuburan tua
yang dipaguti rumput-rumput.
November 1980
(naskah ditulis oleh : Dasril Ahmad)