Oleh : Dasril Ahmad
Setelah merantau meninggalkan kampung halaman (pada tahun 2004 lalu), untuk melaksanakan tugas yang sama-sekali tak berkaitan dengan sastra, ternyata di rantau (Jawa Tengah) kreativitas penyair Eddy Pranata PNP dalam menulis puisi makin meningkat. Betapa tidak, ketika masih menetap di Padang, karya-karya puisi Eddy –penyair kelahiran Padang Panjang, Sumbar, 31 Agustus 1963, dan mengaku mulai memublikasikan puisi pada tahun 1983 ini, dominan hanya muncul di koran dan buku-buku antologi puisi terbitan Padang. Namun, sejak merantau, karya-karyanya telah muncul di hampir semua koran terbitan Jakarta, termasuk di majalah sastra “Horison”, dan juga dalam beberapa buku antologi puisi “bergengsi” di Indonesia. Sewaktu di Padang, Eddy menerbitkan buku puisi pertamanya berjudul “Improvisasi Sunyi” (1997), kemudian di rantau terbit pula buku kumpulan puisi kedua berjudul “Sajak-Sajak Perih Berhamburan di Udara” (2012), dan kini dia pun berencana akan menerbitkan buku kumpulan puisi ketiga dengan judul “Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur.”
Rencana penerbitan buku puisi ketiga Eddy Pranata PNP itu saya ketahui, karena Eddy berkenan mengirimkan seluruh naskah puisi tersebut ke email saya, Kamis (25/6) lalu, diiringi pesan, “Judul buku puisi ketiga ini, aku ambil dari judul sebuah puisiku yang pernah dimuat di harian IndoPos, Jakarta. Sebagian puisi dalam buku ini telah pernah dimuat di media cetak, koran dan majalah,” ungkap Eddy yang juga sering memublikasikan puisi di media sosial facebook menggunakan nama akun yang diambil dari judul puisinya sendiri, seperti: “Hanya Seserpih Buih’ dan “Kutatap Sekeping Karang”.
Menariknya, naskah yang dikirim Eddy ke-email saya berisi 477 puisi, yaitu puisi-puisi yang ditulisnya selama dua setengah tahun terakhir, sejak Desember 2012 sampai Juni 2015. Dengan memuat 477 puisi, tentulah halaman buku kumpulan puisi ketiga Eddy itu akan tebal. Hal ini merupakan bukti dari kesungguhan Eddy dalam mengolah kreativitas dan mengasah kemampuan puitikanya secara baik, sehingga dalam rentang waktu dua setengah tahun, ia mampu menulis puisi dalam jumlah yang tidak sedikit tersebut. “Setiap hari aku selalu menulis puisi, bertolak dari masalah-masalah keseharian yang aku alami dan hayati di lingkunganku . Tapi untuk jumlah puisi yang akan diterbitkan di buku puisi ketiga ini, aku serahkan kepada Yunizar Nassyam sebagai editor untuk menyeleksinya, kecuali sekitar 45 puisi yang aku tentukan untuk dimuat, yaitu puisi-puisi yang telah pernah diterbitkan di berbagai koran di Jakarta selama ini,” tutur Eddy Pranata PNP lagi.
***
Dulu, 18 tahun silam, menghadapi buku kumpulan puisi pertama Eddy Pranata PNP berjudul “Improvisasi Sunyi” (Jalur Sastra NAN TONGGA, Padang, 1997, xiv + 50 halaman), saya membuat sebuah tulisan dengan judul “Improvisasi Sunyi : Sajak-Sajak Imajis Eddy Pranata PNP”. Dalam tulisan yang dimuat di ruang budaya Harian Haluan, Padang, edisi, Selasa 18 Nopember 1997 itu, saya menyatakan, bahwa di dalam “Improvisasi Sunyi” (Sajak-Sajak 1984-1996), terlihat kecenderungan kuat Eddy Pranata PNP untuk menulis puisi dengan bahasa sehari-hari, tanpa harus tunduk pada pola-pola persajakan yang baku. Baginya, kata-kata atau bahasa dalam sajak haruslah bisa menciptakan imaji visual yang kongkrit, jernih dan jelas, dalam upayanya membangun keutuhan suasana. Atas dasar inilah, ia lebih mementingkan unsur suasana dalam sajak ketimbang bentuk formalnya sebuah sajak, sehingga terkesan kehadiran larik dan bait tak lagi diutamakan. Tak heran kalau kita menemukan umumnya sajak-sajak dalam kumpulan ini pendek-pendek, hanya terdiri atas 2 atau 3 larik saja. Namun penyairnya mengandalkan kekuatan citraan kata untuk menciptakan imaji dan keutuhan suasana di dalam sajaknya. Goenawan Mohamad (1982), mengatakan, dalam sajak-sajak imajis, yang sering berupa puisi suasana, imaji muncul atau bermunculan bebas –mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu mandiri, bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan. Dalam puisi macam ini, makna kalimat demi kalimat terkadang tak sepenuhnya kita pahami. Tapi keutuhan suasananya, total merasuk ke dalam diri kita –langsung dan sekaligus.
Menurut saya, buku “Improvisasi Sunyi” merupakan kumpulan sajak-sajak imajis Eddy Pranata PNP yang dominan mengungkapkan suasana hidup penuh luka, darah dan doa. Tetapi kekuatan imaji dari diksi yang digunakan tersebut, kerap tak terduga menghanyut dan menghempaskan kita pada suasana yang baur, karena imaji itu muncul dan bermunculan dengan bebasnya. Sajak-sajak imajis, menurut Sutardji Calzoum Bachri ketika membicarakan buku puisi “Perahu Kertas” Sapardi Djoko Damono (penyair imajis terkemuka di Indonesia) pada Forum Temu Kritikus dan Sastrawan 1984 di TIM, Jakarta, memang sering dunia yang asing dan aneh. Pada beberapa sajak imajis Sapardi, menurut Tardji, kita agaknya harus menerima begitu saja, pasrah menerima kehadiran dunia yang aneh, atau lugu, tanpa dapat menemukan atau menangguk makna. Suasana sajalah yang kita dapatkan. (Bagi mereka yang puas dengan hanya merasakan suasana saja –lugu, aneh, horor, dan lain-lain --- suasana itu saja sudah bisa dianggap makna). Kita nikmati sajak pendek 2 larik berjudul “Perempuanku” (1987) dari Eddy Pranata ini. “perempuanku, lihai mengubur perasaan/ biar laut bergelombang dalam dada” (“Improvisasi Sunyi”, hal. 15).
***
Kini, setelah membaca 477 puisi Eddy Pranata PNP yang akan diterbitkan ini, saya melihat bahwa sampai sekarang Eddy Pranata PNP masih setia menulis puisi-puisi imajis, malah dalam beberapa puisi tampak kematangannya mengolah kekuatan citraan kata untuk menciptakan imaji dan keutuhan suasana, yang tidak lagi tampak dalam puisi-puisi pendek, tetapi juga dalam beberapa puisinya yang panjang. Saya melihat, puisi-puisi dalam kumpulan ini membuktikan Eddy Pranata PNP sebagai salah seorang dari sedikit penyair imajis yang eksis di Indonesia dewasa ini. Begitu juga, pergumulan kreatif yang gigih dirintisnya selama ini, sepertinya telah berhasil mengantarkannya mencapai puncak estetika kepenyairannya dalam dunia perpuisian Indonesia. Justru itulah, dalam puisi-puisinya, Eddy selain menggunakan bahasa ucap yang sederhana, juga ada nilai-nilai kejujuran secara subtil di dalamnya. Sebuah di antaranya adalah dalam puisi “Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur” yang dijadikan judul buku kumpulan puisi ini.
BILA JASADKU KAUMASUKKAN KE LIANG KUBUR
bila jasadku kaumasukkan ke liang kubur
jangan lupa seluruh puisiku kaumasukkan juga
tapi sebelum kautimbun liang kuburku
kawan-kawanku penyair dipersilakan membacakan sejumlah puisiku
lalu istriku juga membacakan sebuah puisiku
auh seperti pesta puisi di atas kubur
yang menganga
dan di dalamnya jasadku
begitu bahagia mendengar kawan dan istriku membaca puisi
di sela-sela isak tangis
setelah itu timbunlah
tidak perlu taburan bunga.
Bogor, 15 Mei 2013.
Demikianlah catatan kecil dan sederhana ini saya siapkan sebagai apresiasi terhadap penerbitan buku puisi “Bila Jasadku Kaumasukkan ke Liang Kubur” karya Eddy Pranata PNP ini. Sebagai sebuah catatan kecil dan sederhana (pula), tentulah tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan untuk layak disebut sebagai sebuah ulasan/kupasan atau pun kritik puisi yang bagus. *** (Padang, 4 Juli 2015)