Cerpen: Luzi Diamanda
"Persoalannya bukan harta, Anakku. Tapi hak. Tanah ini adalah milik kita yang sah, apapun yang terjadi kita harus mempertahan kannya."
"Benar soal hak, tapi haruskah untuk itu kita saling bermusuhan. Haruskah karena itu kita saling dendam. Mak yang mengajari dulu, mengalah bukan berarti kalah. Tapi kenapa sekarang Mak tak mau mengalah?"
Perempuan tua yang dipanggil Mak oleh anak perawannya tersebut hanya diam. Dadanya yang cuma dibalut kutang tua, memperlihatkan dengan jelas susunan tulang-tulang di dadanya turun naik, seperti menahan sesak yang tak kunjung lepas.
"Muni, kau masih terlalu muda untuk memahami arti sebidang tanah bagi kita. Kelak bila kau dewasa, menjadi ibu, kemudian menjadi tua seperti Mak-mu ini, kau juga akan bersikap sama. Ingat Muni, sejauh-jauh pergi merantau, tanah kampung tetap punya arti."
Setelah itu diam. Tak ada yang ingin mulai berujar. Sayup-sayup suara jengkrik memecah malam. Sedangkan cahaya kunang-kunang kelap-kelip, menyelinap masuk lewat dinding tadir.
Luzi Diamanda |
Muni, gadis yang baru masuk dalam kehidupan desa setelah lebih enam tahun ikut bako-nya di kota, tak mampu memejamkan mata, setelah percakapan itu. Betapa desa telah sarat dengan keganjilan, juga Mak-nya. Dulu wanita itu amat patuh, lugu dan pendiam, layaknya seorang wanita desa. Tapi kini? Betapa Mak menjadi keras hati dan pantang menyerah.
Enam tahun di kota, sampai Muni menamatkan SMA, betapa lamanya jarak itu. Jarak yang telah mampu mengubah segalanya, juga wajah desa, yang saat di kota amat dia rindukan. Tak ada lagi jalan setapak menuju kali, tempat dulu dia bersuka ria. Tak lagi ada anak perawan dengan tudung lebar menampi padi di pinggir sawah. Tak juga ada lenguh kerbau, suara itik serta bau lumpur yang menyengat. Jalan setapak telah berubah menjadi jalan aspal. Sawah telah menjadi rumah-rumah.
Yang tak berubah hanyalah pondok tempat Muni, adik-adiknya serta Mak menghabiskan hari-hari mereka. Pondok beratap rumbia, berlantai papan dengan dinding tadir, berukuran enam kali enam meter. Lalu serumpun talang di pekarangan samping kanan, yang nampaknya makin rimbun saja.
Dari balik dinding kamar tidur, Muni menangkap suara gesekan daun-daun talang, lemah tapi mendayu. Seperti suara anak perawan yang berdendang lirih, menangisi kematian sang tunangan. Dulu, talang itu kerap dia tebang untuk mendapatkan satu ruas buat celengan. Atau jika bulan maulud tiba, talang itu akan jadi korban, dijadikan wadah membuat lemang.
Ketika seminggu lalu kembali Muni menginjakkan kaki di desa, dia lihat talang itu berpagar kawat duri. Rimbunan daunnya meliuk-liuk ke pondok mereka, membuat suasana kelam jadi sendu. Kala Muni pergi, talang itu hanya serumpun kecil, tapi kini sudah merupakan sebuah lingkaran dengan rumpun besar.
Di bawah talang itu pula kemarin dia lihat Mak Adang-nya mengacung-acungkan parang.
RUMPUN talang itu sudah ada sejak lama, jauh sebelum Muni lahir. Dan rumpun talang itu telah disepakati menjadi batas tanah mereka, tanah Mak dan Mak Adang-nya. Sedangkan batas tanah Mak dan Etek-nya adalah batang mangga besar di samping kiri pondok mereka. Tanah pusaka tinggi yang telah dibagi-bagi itu menjadi sumber kehidupan mereka; Mak, Mak Adang dan Etek-nya.
Di atas tanah yang luasnya 500 meter itu ada pohon kelapa, garda munggu dan merica. Ada juga tanaman muda berupa ubi dan cabe. Dalam resah, Muni ingin menatap keluar, menatap ke arah rumpun talang. Tapi bulan yang belum lagi keluar, membuat mata Muni tak menampak apa-apa, selain gelap. Padahal Muni ingin sekali meli hat, malam ini, pesona apa gerangan yang ada di rumpun talang itu, sehingga Mak dan Mak Adang begitu kuat memperebutkannya.
"MUNI, kau belum tidur 'kan? Keluarlah, Mak ingin bicara."
Panggilan Mak memutus angannya. Perlahan Muni turun dan berjalan menemui Mak. Mak dengan sirih di mulut, tembakau di tangan, tengah menatap jauh ke luar, ke balik dinding tadir. Dalam remang cahaya lampu damar kerut wajah Mak semakin jelas. Betapa tuanya wajah Mak. Padahal Muni merasa yakin, saat dia berangkat dulu wajah Mak masih mulus.
Tiba-tiba ada sesal menyelip, memutar tali rasanya. Kenapa dulu dia harus pergi. Tapi segera sesal itu sirna kala ingat bahwa dengan kepergiannya berarti keadaan berubah.
Ya, dengan sebidang tanah, apa yang bisa dilakukan Mak. Sementara Abak sudah lama pergi menghadap Illahi. Tak hanya Muni, masih ada tiga lagi adik-adiknya yang harus ditanggung Mak.
Bagaimana dia bisa mendesak Mak untuk menyekolahkan, sedang untuk makan mereka saja mereka harus berbagi.
"Jangan terpaku di situ, mendekatlah kemari anakku."
Muni kaget, tak menyangka Mak memperhatikannya.
"Duduklah. Malam ini perasaan Mak rasanya tak tenang. Kau harus mengetahui seluruhnya, secara tuntas. Kau yang akan melanjutkan segalanya. Kau paham?"
Muni mengangguk. Ada rasa aneh yang menjalari urat nadinya, terus ke dada. Sebuah firasat. Tapi Muni melawannya.
"Kau tahu, kenapa Mak Adangmu berkeras hendak menebang talang itu?" Mak memulai percakapan. Muni hanya menggeleng.
"Mak Adangmu merasa bahwa tanah milik kita berlebih tujuh meter dari tanah miliknya. Padahal, dalam adat kita di Minangkabau ini, seharusnya anak laki-laki tak dapat warisan. Tapi karena Etekmu yang di Jakarta sudah kaya raya, dia menghibahkan tanah bagiannya buat Mak Adangmu. Tapi akhir-akhir ini Mak Adangmu selalu ribut menuntut kekurangan tanahnya dari tanah kita."
"Dan Mak tak setuju bukan?" Muni menyela.
"Jelas, Nak. Sudah dapat bagian saja seharusnya dia sudah malu. Mamak macam apa dia yang membawa harta kemenakannya ke rumah anak istrinya. Tapi agaknya Mak Adangmu memang telah kehilangan rasa malu. Malah sekarang mengusik bagian tanah adik perempuannya."
Muni diam, diam yang menyimpan tanya. Di sini, di negerinya ini, yang punya sistem matrialinial, harta memang jatuh pada anak perempuan. Apalagi jika harta itu merupakan pusaka tinggi. Mamak juga punya peran sebagai pelindung kemenakan dan harta juga untuk kemenakan, terutama kemenakan perempuan jika mereka sudah dewasa.
Kalau ada seorang anak laki-laki yang dewasa dan sudah punya anak istri mengambil harta pusaka atau sekedar menggarap harta pusaka tersebut, ini adalah aib besar. Aib yang benar-benar memalukan.
Seorang laki-laki memang berpantang hidup dari pusaka tinggi, berpantang membawa hasil garapan tanah pusaka tinggi ke rumah anak istri. Jika itu dia lakukan juga, orang sekampung akan mencibirnya.
"Mak Adangmu itu sudah kena pakasiah bininyo."
Nada suara Mak mengiris. Muni merasakan kuduknya meremang.
"Kau lihat si Udin, teman Mak Adangmu itu. Dia itu justru membela kemenakannya, menyekolahkannya, sampai semua jadi orang. Dia 'kan juga punya anak bini. Bukan macam Mak Adangmu, membawa hasil tanah pusaka ke rumah bininya. Benar-benar mamak yang tak tahu diadat."
Muni masih diam. Barangkali, diam adalah emas untuk saat ini. Dia takut bicara, takut kalau nanti sampai kelepasan bicara. ya, baru seberapalah pengetahuannya tentang adat, tentang bagi membagi harta pusaka, tentang kewajiban mamak. Dia masih buta, makanya tak ingin membantah.
"Kau tahu kenapa talang itu yang jadi persoalan."
Muni hanya menggeleng.
"Karena talang itu persis berada di batas tanah kita dan tanah dia. Jadi Mak Adangmu berusaha menebangnya agar mudah menyerobot tanah kita. Karena talang itu sebagai sepadan, jika talang itu ditebang, sepadan tanah ini akan kabur. Mungkin saja setelah itu Mak Adangmu akan menanam rumpun talang baru, jauh menjorok masuk ke tanah kita, dan menyatakan kalau itu yang jadi sepadan."
Tiba-tiba rasa keadilan bermain di hati Muni. Tanpa mempersoalkan adat mengenai pembagian pusaka, Muni justru melihat tak ada salahnya kalau Mak mau bersabar, mau berlunak hati sedikit. Apalah artinya tanah yang tujuh meter.
"Mak, kalau benar bagian kita lebih, apa salahnya kalau Mak Adang menuntut. Bukankah lebih baik dibagi dua saja, persoalannya akan cepat selesai."
Mata Mak berkilat, tanpa Muni bisa memaknakannya. Salahkah bicaranya. Dada Mak yang memang sudah tipis, turun naik, seperti sesak napas.
"Tidak Muni. Tanah ini adalah pertahanan kita yang terakhir. Tempat hidup mati kita. Mak Adangmu laki-laki, seharusnya dia pergi meninggalkan tanah ini untuk kemenakannya dan mencari usaha lain untuk kehidupan anak istrinya. Tak ada dalam adat kita, anak laki-laki beroleh harta pusaka. Pusaka tinggi lagi."
"Tapi Mak, sengketa ini tak ada ujung pangkalnya. Kenapa kita tak mengalah saja. Bukankah Mak yang mengatakan kalau mengalah bukan berarti kalah. Mak, orang sabar dikasihi Tuhan, itu kata Mak bukan? Mak, kalau Mak sabar, Mak akan masuk sorga."
"Benar Muni, tapi sabar ada batasnya. Betapa sejak kematian Abakmu teror demi teror telah dilancarkan Mak Adangmu. Bukankah selama ini dia basibagak saja? Buah kelapa seenaknya dia turun kan, begitu juga buah merica yang esok mau dipanen tiba-tiba malamnya lenyap saja. Siapa lagi yang punya kerja kalau bukan dia. Tapi kali ini tidak, Nak. Kesemena-menaannya harus kita balas. Kau paham?"
Muni hanya menatap Mak dengan pandangan tak mengerti. Betapa sulit dia mencerma jalan pikiran Mak. Karena tanah tiga setengah meter, Mak mau berkeras kepala macam ini. Sekaligus Muni bingung dengan jalan pikiran Mak Adang, kenapa dia begitu ngotot dengan kelebihan tanah Mak. Bukankah Mak saudaranya juga.
Kalau dia jadi Mak, dia akan sukarela membagi dua tanah yang berlebih itu. Atau kalau dia jadi Mak Adang, dia akan biarkan tanah berlebih itu. Dan rumpun talang biarkan saja terus hidup subur atau dimusnahkan benar. Apa sulitnya?
"Muni, dari sengketa ini, yang paling Mak pertahankan adalah harga diri. Apa artinya hidup bila dengan keperkasaannya selaku laki-laki dan mamak anakku satu-satunya, lalu dia seenaknya berbuat pada kita. Tak ada yang berani menyanggah selama ini. Tapi tidak kini. Kali ini akan Mak buktikan bahwa tak selamanya kita lemah. Ingat Muni, kita sudah terlalu lama ditindas. Apakah harus maaf juga yang kita tawarkan."
"Bagaimana kalau Mak Adang kalap dan menebang talang itu tanpa setahu Mak?" Muni mengajuk kesungguhan Mak.
"Itu tak akan terjadi, Anakku. Begitu dia berani melakukannya, dia akan segera tahu siapa Makmu ini."
Muni tertunduk. Mata Mak berkilat penuh dendam. Sinarnya terasa membakar dada Muni. Sinar yang belum pernah dia saksikan selama ini. Muni hanya tahu, Mak punya kesabaran, kelembutan dan kasih sayang berlimpah. Sinar mata Mak biasanya penuh kasih yang tulus. Kenapa kini berubah? Muni menggeleng tak mengerti. Benarkah penindasan yang selama ini diterimanya dari Mak Adang telah membakar dada Mak dan biasnya sampai di mata Mak.
"Kau satu-satunya anak perempuan Mak dan untuk kau pula warisan ini kelak. Mak harap kau punya sikap yang sama, mempertahankan hak. Kau paham, Anakku?" Muni hanya diam.
MAK ADANG adalah laki-laki yang baik, meski sedikit kasar. Itu yang diingat Muni, kenangannya sepuluh tahun yang lalu. Kala itu Muni baru delapan tahun.
Dengan menggendong Muni di punggungnya, Mak Adang akan berlari- kari keci di pematang sawah, mengejar kerbau milik mereka. Atau dengan senang hati Mak Adang akan mengajarinya menombang udang yang banyak bersembunyi di balik batu sungai.
Juga masih diingat Muni, bagaimana dia menjerit-jerit ketakutan waktu Mak Adang melemparnya dengan belut. Mak juga kerap memarahi Mak Adang, karena tanpa rasa bersalah Mak Adang akan membawanya bertanggang semalaman, menunggui buah durian.
Ketika Muni dikejar anjing, Mak Adang pula yang segera turun tangan. Malah Mak Adang pula yang kemudian dikejar anjing itu, sehingga Mak Adang ditabrak sepeda Pak Husin yang dikenal sebagai juragan rumput.
Tapi itu dulu. Benarkah kini Mak Adang telah berubah. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang pendek.
Menurut Mak, berkali-kali sudah sengketa antara dia dan Mak Adang diselesaikan ninik mamak di mesjid, tapi tak pernah menjumpai titik temu. Selalu saja, beberapa hari setelah itu akan terdengar lagi ribut-ribut, antara Mak dan Mak Adangnya.
Muni tak bisa menerima jalan pikiran Mak, juga Mak Adang. Percuma Muni mengatakan pada Mak, kalau sebagai anak perempuan satu- satunya dia tidak ingin warisan. Dia tidak ingin memiliki tanah hasil dari sengketa. Kalau bisa, malah Muni ingin membawa warisan pulang, ke desa ini, setelah mencari penghidupan di kota lain.
Dalam renungannya, kadang Muni merasa menyesal dengan modernisasi yang kini melanda desanya. Pertikaian antara Mak dan Mak Adang pun berawal dari modernisasi ini. Dulu, kala desanya belum terja mah jalan aspal, tak ada yang meributkan soal tanah. Semua ten teram dalam haknya masing-masing.
Tapi begitu jalan raya membelah desa Muni, segalanya berubah. Tak ada lagi derak roda pedati atau derit sepeda unta warga desa. Sekarang raungan sepeda motor dan suara mesin mobil adalah sebuah keakraban baru.
Karena itu pula tanah yang selama ini nyaris tak berharga, jadi rebutan. Masyarakat desa berlomba-lomba membagi tanah warisan, lalu mensertifikatkannya. Ada yang menjual kepada para pendatang. Padahal setahu Muni, tanah warisan pusaka tinggi tak boleh dijual. Itu merupakan pantangan. Tanah warisan tinggi hanya boleh dimanfaatkan untuk kesejahteraan anak kemenakan.
Dan apa yang telah melanda warga desa, menjalar pula pada Mak Adang. Dia ingin mensertifikatkan tanah bagiannya, karena ada yang sudah menawar. Dengan bertambahnya luas tanah, itu berarti bertambah pula jumlah uang yang akan masuk kantong Mak Adang.
Bagi Mak, menjual tanah pusaka tinggi sudah menyalahi aturan, apalagi kini mamak anak-anaknya yang seharusnya membela dan melindunginya, malah ikut merongrong dan selalu membuat hidup Mak tidak tenang.
"KEMBALILAH tidur, Nak. Kau telah paham sikap Mak. Tak banyak yang Mak harapkan selain pembelaanmu terhadap pendirian Mak. Karena segalanya ini Mak lakukan demimu, demi adik-adikmu," ujar Mak.
Muni kembali ke kamar dan telentang di atas balai-balai yang hanya beralaskan kasur tipis. Di sinilah dia dan adik-adiknya harus saling berbagi tempat, agar dapat tidur nyenyak. Muni mengeluh. Kenapa begitu susah Mak diberi pengertian? Atau benar seperti kata Mak, bahwa dia yang belum tahu apa-apa.
Kala malam merangkak semakin larut, sayup-sayup desau daun talang terdengar riuh di telinga Muni. Lalu suara berisik, kemudian diam. Tapi sejenak, kembali desau itu makin keras. Muni tak hendak bangun, mungkin di luar sedang badai, pikirnya. Muni menarik selimut, lalu memejamkan mata.
Dan kantuk itu berubah menjadi kekagetan luar biasa, kala malam dipecahkan oleh lolong kesakitan. Arahnya seperti dari rumpun talang. Tak lama kemudian, malam hingar bingar oleh hiruk suara orang kampung. Lunglai Muni keluar, setelah tak menjumpai Mak dalam kamar. Dia menyaksikan, kegelapan malam benderang oleh cahaya lampu petromak.
Tiba-tiba malam kembali dipecah oleh suara jerit. Kali ini jerit Muni. Di sana, di antara serakan batang-batang talang, terkapar tubuh Mak Adang, penuh darah. Sementara dalam jarak tiga depa berdiri Mak, dengan tangan masih memegang talang yang ujungnya diruncingkan. Talang itu berlumuran darah.***
* Pakasiah bininyo = guna-guna istrinya
* Bako = keluarga dari pihak ayah
* Basibagak = tidak peduli