Lebih 40 tahun bergaul, sejak 1969, memungkinkan saya mengetahui relatif banyak tentang Wisran Hadi. Setamat ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Jogjakarta, pada tahun 1969 itu Wisran Hadi balik ke kampung, menjadi guru di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) Negeri Padang. Dan saya adalah seorang murid yang setahun kemudian, 1970, tamat di sekolah itu. Wisran Hadi secara harfiah benar-benar pernah menjadi guru saya. Lalu Wisran Hadi jadi sahabat saya bahkan sampai dia wafat setelah diduga terkena serangan penyakit jantung pada 28 Juni 2011. Dia menghembuskan nafas terakhir di depan laptop setelah merampungkan kolom Stop ABSSBK. ABSSBK adalah kependekan Adat Bersendi Syarak Syarak Bersendi Kitabullah, pandangan dan pegangan hidup etnik Minangkabau sejak zaman Perang Paderi.
Dari Jogja, Wisran Hadi ingin melukis. Di Padang, ia kecewa. Untuk membeli cat, ketika itu, ia harus ke Medan. Itu sangat menyulitkan. Uang untuk beli cat yang mahal dan ongkos ke Medan yang juga mahal, mustahil bisa diatasi. Wisran Hadi mengurungkan niat melukis dan mulai menulis dua naskah lakon, Sumur Tua dan Dua Segi Tiga (1970-1971), untuk pementasan perpisahan sekolah. Wisran Hadi banting stir. Dia memilih menulis naskah lakon dan menjadi sutradara teater. Kebetulan, pada masa itu, kegiatan teater marak di Kota Padang tetapi alangkah sulit untuk mendapatkan naskah pribumi, kecuali naskah asing yang sudah diindonesiakan.
Menulis naskah lakon, itulah ”kerja” dan tantangan baru Wisran Hadi. Ia merasakan, struktur dan pola pikir dalam menulis beda dibanding struktur dan pola pikir dalam melukis. Sebagai anak Minangkabau yang akrab dengan kata-kata, tantangan itu benar-benar menggoda Wisran Hadi. Akrab dengan kata-kata, dengan kalimat, dengan bahasa, menurut Wisran Hadi, memungkinkan banyak orang Minang menjadi sastrawan, pemikir, politikus, penjual obat di tengah pasar atau penggalas kaki lima yang berteriak-teriak, sebagai contoh, di Tanah Abang, Jakarta.
Wisran Hadi pun studi, mengembang dan membaca buku-buku, naskah-naskah penting. Semua naskah teater dianggap Wisran Hadi perlu dibaca, sebutlah karya William Shakespeare, Jean Geredaux, Moliere, Albert Camus, Sophocles, M. Yamin, Asrul Sani. Ia menyimpulkan, menulis lakon itu mudah asal bersungguh-sungguh.
Penjungkirbalikan Fakta
Tahun 1971-1974, Wisran Hadi mengikat diri dengan bercita-cita melahirkan naskah-naskah penting, besar. Ia pun menulis lakon Puti Bungsu (Wanita Terakhir). Masa pengerjaan Puti Bungsu, seperti dulu diutarakan Wisran Hadi, makan waktu tiga tahun. Prinsip, menurut Wisran Hadi, naskah menjadi produk budaya dan intelek. Naskah bukan dunia awang-awang. Pengerjaannya pun lumayan ilmiah. Wisran Hadi melakukan observasi, membaca ulang dan mengritisi serta memelajari naskah-naskah cerita rakyat Malin Kundang, Malin Deman serta Sangkuriang. Dari situ ia memunculkan tafsir baru, ‘menggugat realitas’ ke arah pencerahan. Di sini, menurut Wisran Hadi, diperlukan kecerdasan kreatif, keharusan menguasai masalah dan penafsiran.
Setelah naskah rampung, Wisran Hadi berpikir untuk mementaskan. Pada 11 November 1976, Wisran Hadi mendirikan Grup Bumi Teater, bersama Raudha Thaib (Upita Agustine), Hamid Jabbar, A. Alin De dan Herisman Is. Setahun kemudian bergabung Harris Effendi Thahar dan Darman Moenir. Wisran Hadi menggarap Puti Bungsu, untuk dipentaskan pada Juni 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Puti Bungsu pernah ditayangkan TVRI.
Fantastik! Naskah dan pertunjukan Puti Bungsu mendapat gugatan serius dari para tokoh adat dan agama di Sumatera Barat. Bahkan ada yang mengajukan protes ke gubernur. Karakter yang dipinjam Wisran Hadi (Malin Kundang, Malin Deman, Malin Duano dan Sangkuriang), dianggap berbeda dari yang asli. Padahal Umar Junus menganggap, Puti Bungsu versi Wisran Hadi sesungguhnya berbentuk naskah atau karya sebagai alat untuk melihat kenyataan sosio budaya masyarakat.
Menurut pendapat Wisran Hadi, apabila seorang kreator hanya menggambarkan kembali sesuatu sebagaimana apa adanya, itu pekerjaan sia-sia. Ia makin produktif menetaskan naskah-naskah kontroversial. Malin Kundang dalam naskah Wisran Hadi Malin Kundang tidak durhaka, tidak menjadi batu. Imam Bonjol adalah manusia, punya perasaan gamang, ragu, konyol, dan bahkan ikut menggunting pita dalam peresmian sebuah proyek dalam lakon Wisran Hadi Imam Bonjol. Hang Tuah dan Hang Jebat dalam Senadung Semenanjung dapat kecaman. Banyak naskahnya digugat bahkan ada para tokoh adat, ulama, dan pemerintah daerah menyidangkan Wisran Hadi, dianggap menjungkirbalikkan fakta sejarah yang, padahal, secara fanatik dianggap kekayaan budaya. Namun tidak satu pun jeratan mengungkung Wisran Hadi. Malah makin banyak saja ”kisah” yang diparodikannya. Karena itu, hampir seratusan naskah Wisran Hadi (drama, novel, cerpen, esei, cerita rakyat) bernuansa parodi, atau setidaknya mengejek dengan permainan kata atau perilaku unik tokoh yang diciptakannya.
Data dan Logika Artistik
Proses kreatif Wisran Hadi, sebagaimana dituturkan sendiri, bermula dari sejauh mana kreator memertanyakan sesuatu, baik dari sisi sosial, budaya, adat, kehidupan yang berkembang pada masyarakat. Kemudian, sejauh mana sesuatu bisa dimaknai dengan kata yang juga memertimbangkan pembaca atau audien sebuah pertunjukan? Atau sejauh mana kita mampu memarodikan dan memerolok-olokkan sesuatu dengan cerdas lagi indah? Seandainya memiliki kritik sosial, bagaimana membungkus kritikan itu dengan kata-kata sebagai busana, parodi sebagai permainan, dan ironi yang menyentil.
Pada drama, misalnya, Wisran Hadi menyadari ekspresi berakhir di pertunjukan. Berarti itu bukan semata pendeskripsian. Maka pertanyaan menjadi detil dan kompleks terhadap cerita dan tokoh. Misalnya, apakah Hang Tuah, Malin Kundang atau Cindua Mato itu banci, botak kepalanya? Apakah ia seorang yang pemarah atau ramah? Apakah yang menjadi kesenangan tiap tokoh? Bagaimana Sangkuriang, Gading Cempaka, Dara Jingga? Cantikkah? Keramatkah mereka seperti Nyi Roro Kidul? Atau mereka perempuan-perempuan biasa belaka?
Menemukan jawaban, kemudian itu menjadi tantangan baru. Sosok tokoh harus dijajaki kemungkinannya. Tidak kasat mata lagi, melainkan mengarah pada pendalaman. Misalnya, kalau diangkat menjadi tokoh, bagaimana cara berpikir tokoh itu, bagaimana watak, budaya yang melatari dan keyakinan yang menyemangati hidupnya. Wisran Hadi memertanyakan apakah Imam Bonjol itu hampir seperti nabi, apa bukti Cindua Mato sebagai orang Minang, Hang Tuah adakah benar orang Melayu? Kalau pertanyaan-pertanyaan kritis dan bertujuan positif tersebut tidak bisa dijawab, sebagai penulis naskah Wisran Hadi segera sadar, ia perlu menghentikan pekerjaannya. Ia kembali studi lanjutan untuk memosisikan tokoh. Ini dimaksudkan untuk mendapatkan argumen, tidak mengarang-ngarang sesuka hati. Pengarang harus memetakan masalah, pertanyaan butuh jawaban dan solusi yang pas untuk teks. Ia memahami, dari disiplin ilmu mana ia harus bergerak, harus sesuai dengan kebutuhan penulisan.
Wisran Hadi mengungkap, dalam proses penulisan kreatif ia bertolak dari data-data yang tersedia. Data-data itu dicari, dikumpulkan dari berbagai disiplin ilmu dan asumsi. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan terhadap data-data itu juga ditopang oleh logika artistik. Dalam menafsir, keselarasan peristiwa dengan kurun waktu dan manusianya, harus bisa dicerna logika. Begitu juga konflik-konflik yang terjadi di sekitar tokoh. Kemudian, bagaimana mengemas konflik dengan sugesti pada perjalanan kehidupan tokoh-tokoh, baik dengan dirinya, masyarakat, latar belakang budayanya sehingga ada sisi lain yang diharapkan dari sebuah naskah sebagai produk intelektual dan budaya: membantu peneliti memandang masalah-masalah tokoh yang diamati.
Membaca naskah, menonton pertunjukan Wisran Hadi, terlihat banyak hal diparodikan, ditukikkan secara ironik, kata dipermainkan secara liar. Kritik-kritik sosial disampaikan dalam bentuk cemooh, gurau dan bahkan dengan plesetan. Wisran Hadi benar-benar menyadari kekuatan kata. Dengan kata lain, kata adalah (sumber) kekuatan Wisran Hadi. Dan itu disiasati Wisran Hadi dari bacaan, dari permainan tradisi, dari kehidupan masyarakat adat kelas bawah, dari ota-ota di lepau, atau dari perilaku pemangku adat dan pejabat yang ia saksikan secara intens.
Wisran Hadi memiliki prinsip yang nyaris sama dengan Rene Descartes. Kalau Rene Descartes meragukan segala-galanya (cogito ergo sum), Wisran Hadi memiliki pengecualian. Bagi Wisran Hadi, seperti sering diungkapkannya, yang tidak boleh diragukan dan ditantang atau dijungkirbalikkan itu adalah ajaran-ajaran Allah SWT, Al-Quran, Nabi Muhammad dan hadis. Setelah itu, ayah dan ibu. Selain itu? Boleh! Asal, dengan cara yang cerdik dan tepat, serta bisa dipertanggungjawabkan secara intelektual.
Kecelakaan dalam Berlatih
Demikianlah, dalam menulis lakon, Wisran Hadi cerdas, punya rasa humor, bervisi dan bermisi serta dramatik. Dalam menyutradarai, Wisran Hadi berusaha menampilkan kebaruan bentuk panggung. Pengetahuan dan kemampuan menata kanvas dimanifestasikan Wisran Hadi untuk keperluan pentas teater. Kalau perlu Wisran Hadi membawa buaian keling atau batang pinang ke panggung. Banyak properti yang dianggap tidak berguna di tangan Wisran Hadi menjadi fungsional dan artistik. Setting Imam Bonjol alangkah menawan!
Beberapa kali saya, dalam Grup Bumi Teater, diberi tugas menjadi pemimpin produksi. Tidak soal apakah itu untuk pertunjukan di Kota Padang, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, di Jogjakarta, dan di luarnegeri, seperti di Kuala Lumpur dan Singapura. Dalam posisi berbagi, Wisran Hadi benar-benar tidak mau mengintervensi. Wisran Hadi sebagai penulis naskah lakon dan sutradara, dan saya menjadi pemimpin produksi, berada dalam kapling yang jelas.
”Kita berangkat ke Jakarta, kalau Darman Moenir menyatakan rombongan teater kita bisa diberangkatkan,” ujar Wisran Hadi, sebagai contoh, di awal masa latihan. Dan sejak itu Wisran Hadi konsentrasi penuh melatih para pemain, rata-rata berjumlah 30 orang anak muda untuk satu pementasan kolosal, paling tidak sebanyak 40 kali latihan. Sampai saat terakhir berlatih, Wisran Hadi tidak pernah lagi bertanya bagaimana soal pendanaan. Wisran Hadi hanya menjelaskan keperluan-keperluan panggung, keperluan-keperluan pemain. Ia tidak pernah bertanya berapa honorarium. Ia menerima ketika saya berhasil mendapatkan uang sekedar untuk penggantian biaya transportasi. Ia juga tidak pernah mengusut berapa dana yang saya peroleh biarpun saya selalu memberi tahu ketika saya berhasil mendapatkan bantuan uang.
Dan mencari dana atau sponsor untuk pertunjukan teater di Kota Padang, di Provinsi Sumatera Barat? Susahnya minta ampun! Di Sumbar tidak ada perusahaan-perusahaan besar. PT Semen Padang selalu menjadi andalan, satu dan satu-satunya. Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) membantu, memang. Tetapi bantuan itu, setelah digabung dan dijumlah, tak pernah cukup. Pilihan melewati jalan darat dari Padang ke Jakarta, dan sebaliknya, harus diambil ketika rombongan tak mungkin diberangkatkan dengan pesawat-udara. Dan maesenas kesenian seperti Roestam Anwar dan Basril Djabar sering habis-habisan membantu Wisran Hadi. Juga Ali Akbar Navis yang di Sumbar suaranya didengar.
Selain seorang pekerja keras dan tidak mau main-main, dalam berlatih dan melatih Wisran Hadi punya disiplin waktu yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam berteater, demikian Wisran Hadi menekankan kepada para pemain yang berusia relatif muda, disiplin benar-benar harus ditegakkan. Dan dengan berteater seseorang tidak harus meninggalkan sekolah dan ibadat!
”Teater takkan mengantarkan orang ke surga,” ujar Wisran Hadi dengan nada berkelakar.
Pernah, dua hari sebelum diberangkatkan ke TIM, rombongan Bumi Teater berlatih di Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat di Padang. Jadwal latihan bermula pukul 15.00 WIB. Seorang pemain utama benar-benar ditunggu. Sudah 15 menit bahkan sampai setengah jam kemudian yang bersangkutan belum juga terlihat.
”Ini tidak bisa ditoleransi. Pemain utama itu tidak usah ikut ke Jakarta. Saya ganti! Darman, beri uang transportasinya selama latihan,” ujar Wisran Hadi mengambil kesimpulan, dan menyampaikan kesimpulan itu kepada yang bersangkutan. Tidak bisa saya membayangkan bagaimana pertunjukan kemudian digelar. Wisran Hadi memang mencari pengganti. Ternyata pertunjukan berjalan sukses, mendapat pujian.
Paling mencemaskan saya adalah ketika ada pemain mendapat kecelakaan dalam berlatih. Upita Agustine alias Raudha Thaib yang adalah istri Wisran Hadi pernah terjatuh di pentas saat berlatih Wayang Padang. Kejatuhan itu menyebabkan tulang pangkal lengan Upita Agustine patah. Masya Allah! Bagaimana saya harus memertanggung-jawabkan musibah itu. Dari mana saya harus mendapatkan biaya pengobatan. Pada saat peristiwa terjadi, pemain belum sempat saya asuransikan. Baik Wisran Hadi maupun Raudha Thaib tidak pernah mengusut. Mereka menerima ketika saya berhasil mendapatkan sedikit biaya pengobatan. Dan di TIM, Jakarta, Raudha Thaib tampil dengan tangan digips.
Jujur dan Lurus
Selain punya keyakinan beragama secara kuat dan menjalankan perintah Islam secara taat, Wisran Hadi juga sangat erat memegang prinsip (baginya hitam itu hitam), jujur dan lurus, sangat jujur dan sangat lurus. Beralasan, Wisran Hadi adalah anak ulama garis keras, Haji Darwas Idris, yang disingkat Wisran untuk nama keluarga, Hadi. Buya Darwas adalah imam besar Masjid Taqwa di Kota Padang, penah bertahun-tahun studi agama di Timur Tengah.
Wisran Hadi juga seorang pemikir kebudayaan Minangkabau yang jeli, tajam, produktif sesudah Navis yang meninggal-dunia pada 2003. Wisran Hadi adalah induak angkang (figur utama) yang menolak penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang 2010. Dan kongres itu memang urung terlaksana. Dan sebagaimana Navis, selama hidupnya Wisran Hadi memilih untuk menetap dan berbuat di kampung-halaman. Ia yakin, untuk besar seorang seniman tidak harus merantau ke Jakarta atau ke mana pun.
Wisran Hadi mengikuti International Writing Progam di Iowa City, Amerika Serikat, 1977, dan 1978 melakukan observasi teater modern Amerika Serikat di New York. Dan 1987 ia kembali melakukan observasi teater modern Amerika dan Jepang di Amerika Serikat dan di Jepang. Wisran Hadi ke Mekah untuk umrah 1977, dan naik haji 1994 atas undangan Menteri Agama RI, menjadi dosen tamu di Akademi Seni Kebangsaan Kuala Lumpur 2000-1005 dan melakukan bengkel kerja teater pada grup-grup teater dan perguruan tinggi di seluruh negara bagian se-Malaysia.
Karya-karya Wisran Hadi yang sudah terbit adalah novel: Tamu, Orang-orang Blanti, Imam, Negeri Perempuan, Dari Tanah Tepi, dan (segera terbit) Persiden, drama: Empat Sandiwara Orang Melayu, Empat Lakon Perang Paderi, Wanita Terakhir (Puti Bungsu), Anggun Nan Tongga, Mandi Angin, Baeram (10 Naskah Drama), Jalan Lurus, Titian, Pewaris, Perguruan, cerita-pendek: Daun-daun Mahoni Gugur Lagi (22 cerpen) dan Guru Berkepala Tiga (22 cerpen). Satu kumpulan puisi, Simalakama. Dalam bentuk kumpulan bersama: Nyonya-nyoya (dalam kumpulan 5 naskah drama Pemenang Sayembara DKJ), Roh (dalam kumpulan 5 naskah drama Pemenang Sayembara DKJ), Wanita Terakhir (dalam kumpulan Antologi Drama Indonesia 1969-2000) dan Pembisik (dalam kumpulan 10 cerpen terbaik Republika). Ada satu biografi ditulis Wisran Hadi: Haji Amran Sutan Sidi Sulaiman (Pendiri Yayasan Pendidikan Baiturrahmah di Padang). Lima tahun terakhir Wisran Hadi juga tiap pekan menulis kolom parodi di harian Padang Ekspres dan kemudian juga di Haluan.
Sepanjang hidupnya Wisran Hadi menulis 78 naskah lakon (sangat beralasan Rustandi Kartakusuma menyebut Wisran Hadi gudang naskah), 9 judul novel, 44 cerpen, satu kumpulan puisi, lebih dari 100 makalah, 18 kali menjadi sutradara, 19 kali menjadi penata artistik, 11 kali menjadi pemain/aktor. Karya-karya Wisran Hadi yang sudah difilmkan adalah Anggun Nan Tongga oleh TVRI Studio Medan, Nilonali oleh TVRI Sumatera Barat, dan Empat Sandiwara Orang Melayu oleh TVRI Pusat dan TVRI Sumbar dalam paket bertajuk Perang Paderi.
Selain jadi guru SSRI, Wisran Hadi pernah bekerja di Ruang Pendidik INS Kayu Tanam, menjadi Staf Redaksi Harian Singgalang, Sekretaris Eksekutif dan Dosen Akademi Pariwisata Bunda, Redaktur Majalah Adat dan Kebudayaan Minangkabau Limbago, dosen luar biasa Universitas Bung Hatta, Wakil Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Pembimbing Kelompok Pengkajian dan Dokumentasi Teater Indonesia Fakultas Sastra Universitas Andalas, dosen luar biasa untuk mata kuliah Adat dan Kebudayaan Minangkabau di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Pemimpin dan Pengasuh Bumi Teater, anggota Dewan Pertimbangan Kesenian Sumatera Barat, pensyarah tamu pada Akademi Seni Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan, Kesenian dan Pelancongan Malaysia, Kuala Lumpur.
Sejumlah penghargaan diterima Wisran Hadi: dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2000, South Eeast Asia Write Award 2000 dari Kerajaan Thailand, Hadiah Buku Utama Yayasan IKAPI dan Departemen Pendidikan Nasional 1998, Hadiah Buku Sastra Terbaik Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Anugerah Kebudayaan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono 2009, Penghargaann Plakat Tuah Sakato Gubernur Sumbar 2008, Hadiah Seni Presiden RI Megawati Soekarno Putri 2004, Penghargaan Seni Walikota Padang 1997 dan 1978. Wisran Hadi memenangkan Sayembara Penulisan Drama Indonesia oleh Dewan Kesenian Jakarta 1976, 1977, 1978, 1979, 1980, 1987, dan 1992. Terakhir novel Wisran Hadi Persiden meraih posisi unggulan Lomba Roman DKJ 2010. Dia pun meraih Anugerah Federasi Teater Indonesia 2010 yang diserahkan di Kota Padang.
Wisran Hadi meninggalkan istri Prof. Dr. Ir. Raudha Thaib, M.P. (Upita Agustine) dan anak-anak Ikhwan Arif, Hafiz Rahman dan Wizarmi Hakim (alm.) dari istri pertama, Mislaini, dan Sutan Ahmad Riyadh, Sutan Mhd. Ridha (alm.), dan Sutan Mhd. Thariq dari Upita Agustine dan beberapa orang cucu. Selamat jalan, tenanglah di alam akhir, Wisran Hadi. (*)
Darman Moenir,Sastrawan tinggal di Padang.
( tulisan ini pernah Dimuat Horison edisi Agustus 2011)