Oleh Dasril Ahmad
Buku kumpulan cerpen Yetti A.KA berjudul “Satu Hari yang Ingin Kuingat” (UNSApress, Surabaya, cet. I Agustus 2014: v + 109 halaman), dipastikan tidak akan masuk ke perpustakaan saya, andai saja siang itu, Minggu (3/5) saya tak menemui rekan Endut Ahadiat di rumahnya. Minggu yang cerah itu saya ke rumah Endut –yang dosen dan kandidat doktor sastra ini, dengan maksud mengantarkan titipan dari pengarang/penyair Free Hearty/ Bundo Free yaitu dua buku sastra terbarunya. Saat itu, Endut bercerita bahwa dia mempunyai/menyimpan beberapa buku kumpulan cerpen Yetti A.KA berjudul, “Satu Hari yang Ingin Kuingat”. Mendengar judulnya yang puitis dan romantis, saya spontan menyatakan keinginan untuk memiliki buku itu. Endut tak keberatan. Saya serahkan dua buku sastra dari Free Hearty ke Endut dan sebaliknya Endut menyerahkan buku kumcer Yetti A.KA kepada saya. Jadilah, siang itu kami saling memberi dan menerima buku-buku sastra karya dua wanita pengarang Indonesia. Terima kasih Endut.
Bagi saya, Yetti A.KA yang lahir dan besar di Bengkulu, namun sejak tahun 1999 menetap dan beraktivitas di Padang, bukanlah nama yang asing lagi sebagai pengarang. Dari biodatanya diketahui, bahwa tulisannya berupa cerpen, puisi dan artikel pernah dimuat di beberapa media cetak, di antaranya; Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Tabloid Nova, Koran Jurnal Nasional, Suara Merdeka, Lampung Pos, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang, Riau Pos, Jurnal Cerpen Indonesia, Majalah Femina, dan Majalah Kartini. Begitu juga cerpennya sudah banyak yang diterbitkan dalam buku antologi cerpen di Indonesia. Sementara buku kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah “NUMI” (2004), “Musim yang Menggugurkan Daun (2004), “Satu Hari Bukan di Hari Minggu (2011), “Kinoli” (2012), dan “Satu Hari yang Ingin Kuingat” (2014). Menariknya, bukunya “Kinoli” masuk 10 besar nominasi penerima Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2013 kategori prosa.
Kumpulan cerpen Yetti A,KA |
Oleh karena itulah, membaca 13 cerpen Yetti A.KA dalam kumpulan ini sangatlah menarik, lebih menarik lagi kalau kita menyimak ungkapan pengarangnya dalam pengantar buku ini. “Aku ingin mengatakan, menjadi seorang penulis, bagiku, artinya aku telah membuka diri selebar-lebarnya untuk menerima rasa sakit. Rasa sakit itu bisa datang dari mana dan dalam bentuk apa saja; selembar daun yang jatuh, bunga mawar yang layu, kekasih yang berhenti mencintai, kebebasan yang hilang, hingga dalam bentuk paling mengerikan, yakni kekerasan. Dan aku seolah telah ditakdirkan untuk hidup dalam lingkaran mengerikan itu. Rasa sakit itu datang padaku dalam rupa seorang tua-renta yang tiba-tiba berdiri di pintu rumah atau teman yang tiba-tiba mengaku baru saja dipukuli suami atau sesuatu tampak sederhana saja; dalam suatu perjalanan santai mendadak selembar daun jatuh tepat di atas kepalaku. Begitulah. Aku pun akan memikul rasa sakit itu selama berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan sampai aku berhasil melepaskan diri; menuliskannya. Jadi, menulis, juga bagian dari caraku menyembuhkan diri sendiri dari apa-apa yang sudah menerobos masuk ke dalam pikiran dan tubuhkan.”
Dalam cerpen “Satu Hari yang Ingin Kuingat” (halaman 33), misalnya, Yetti menceritakan betapa rasa sakit dan mengerikan itu melanda tokoh “aku”, yang pada suatu hari, seorang diri ia minum orange juice di kafe X, meja nomor 19, cuma karena (pagi itu) ia belum menerima telepon atau pesan dari seseorang yang kemaren masih pacarnya, dan pagi itu ia ingin mendengar lagi kepastian, “Masihkah kau pacarku hari ini?”. Hal itu tampak dalam ungkapan; “Hari ini aku sendirian saja –seperti hari-hari sebelumnya, memang—bedanya saat ini aku belum menerima telepon atau pesan dari seseorang yang kemarin masih pacarku. Berulang kali aku merasa telepon genggam itu berbunyi, hidup, berkedip. Berkali-kali aku memelototi layarnya untuk memastikan memang tidak ada SMS atau panggilan yang masuk.” (halaman 33).
Kemudian lebih tegas kegelisahan si “aku” dinyatakan. “Ini tidak biasa. Ia tidak pernah lupa menelepon lewat dari pukul 10 pagi. Kalau sangat sibuk, ia sempatkan kirim pesan. Apa ia lebih dari sekadar sibuk? Apa ia jangan-jangan sedang tidak sibuk, tapi belajar melupakanku. Ia tengah menyiapkan kejutan: meninggalkanku. Rencana yang sangat jahat. Pertama-tama, ia membersihkan semua tentangku di ponselnya; kutipan-kutipan sajak romantis seorang penyair yang sengaja kutulis dan kusimpan di ponselnya saat kami kencan, pesan-pesan tengah malam kami yang nakal, foto pribadiku saat mengenakan lingerie ungu muda motif floral atau foto kami berdua di pantai pada minggu ketiga bulan Maret dan hari itu aku ulang tahun. Setelah membersihkan semuanya, pagi-pagi sekali ia menelepon, mengucapkan selamat tinggal. Suaranya dingin. Lebih dingin dari dinding-dinding toilet hotel tempat kami pernah menginap. Sanggupkah aku?”(halaman 35).
Berbagai ungkapan puitis dan “nakal’ juga mewarnai kekalutan pikiran tokoh “aku” dalam kengeriannya menanti seseorang yang kemaren masih pacarnya itu. “Aku menghembuskan napas keras-keras. Sepasang lesbi sudah pergi tanpa aku tahu kapan tepatnya. Mungkin mereka pergi ke lantai atas. Di sana ada tempat karaoke. Banyak orang memilih kamar karaoke sebagai tempat kencan. Paling tidak bisa ciuman. Di kota ini orang tidak bisa sembarang berciuman. Di kota ini semua orang sibuk mengurusi orang lain”. (halaman 38).
Namun demikian si “aku” tetap setia menunggu. “Selamanya aku akan tetap menunggu telepon atau pesan darinya. Aku harus percaya, dan ini memang sungguh-sungguh harus kupercayai, sebab aku sendirian, sebab aku tidak punya siapa-siapa yang mendukungku, bahwa ia masih pacarku yang kemaren pagi bertanya: Masihkah kau pacarku hari ini?” Selanjutnya, “Karena itu aku masih di kafe X, di meja nomor 19 dengan segala sesuatu yang ingin kuingat. Dengan mengingat maka aku tidak akan kehilangan apa-apa. Seharusnya begitu. Seharusnya aku tenang dan tidak perlu berpikir hal-hal mengerikan yang bisa saja kulakukan.” Namun cerita diakhiri pengarang dengan sebuah kejadian tragis. “Tapi siang itu aku mendengar orang-orang menjerit saat seorang perempuan menabrakkan diri ke mobil yang sedang melaju kencang di jalan raya –tepat di depan kafe X. Aku tidak tahu siapa perempuan itu sampai kulihat meja nomor 19 sudah kosong dan begitu sunyi.” (halaman 39).
Cerpen ini bersifat monolog –dan umumnya cerpen-cerpen Yetti A.KA demikian, yang dengan banyak ungkapan puitis, pengarang berhasil menggiring perhatian pembaca (dan tanpa sadar juga diseret masuk) ke persoalan-persoalan yang berkecamuk dalam diri tokoh “aku” --seseorang yang boleh jadi orang lain atau pengarangnya sendiri, yang sedang dililit dilema hidup (dari persoalan yang kelihatannya sepele) dengan pacarnya, lalu ia bermonolog dalam beragam nuansa tentang sosok pacarnya itu. *** (Padang, 5 Mei 2015)
* Dasril Ahmad, Kritikus sastra, tinggal di Padang