Oleh : Drs. Hermawan, M. Hum.
2. Pengarang dan Pembaca
Karya sastra akan selalu menarik perhatian karena mengungkap-kan penghayatan manusia yang paling dalam, dalam perjalanan hidup-nya di segala zaman di segala tempat di dunia ini. Melalui sastra sebagai hasil kesenian kita memasuki pengalaman bangsa dan bangsa-bangsa dalam sejarah dan masyarakatnya, menyelami apa yang pernah dipikirkan dan dirasakan. Dengan demikian menambah kearifan dan kebijaksanaan dalam kehidupan (Jassin, 1983: 4).
Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menyi-kapi hidup dalam kehidupan manusia. Dengan demikian novel sebagai bentuk sastra fiksi dapat memberikan alternatif menyikapi hidup secara artistik imajinatif. Hal ini dimungkinkan karena di dalam novel persoalan dibicarakan adalah persoalan tentang manusia dan kemanusiaan. Melalui tokoh-tokoh yang dipilih dan ditentukan pengarang dalam menyampaikan cerita, pengarang menyampaikan tema yang diinginkan dan amanat yang ingin dikemukakan.
Membaca novel Kemarau kita dihadapkan kembali dimasa zaman awal kemerdekaan. Pengarang mengajak kita melihat langsung tentang hidup dan kehidupan manusia saat itu. Pengarang dengan meyakinkan bahwa peristiwa itu telah benar-benar adanya, sehingga pembaca merasa yakin akan kejadian yang ada pada cerita dalam novel tersebut. Tokoh-tokoh dihidupkan sedemikian rupa dengan gaya bahasa dan setting yang cocok dimainkan tokoh. Pengalaman hidup pengarang yang dimasukkan dalam cerita membuat tokoh cerita dapat mengatasi permasalahan yang ada pada cerita. Peristiwa yang terjadi dalam cerita dengan permasalahannya telah berhasil diungkapkan pengarang dengan menemui jalan keluarnya. Pengetahuan pengarang akan permasalahan diuraikan pengarang melalui tokoh yang menye-babkan cerita hidup dan membuat pembaca menjadi betah.
Cerita yang mengkritik tentang kehidupan masyarakat di awal kemerdekaan dengan sindiran-sindiran melalui tokoh-tokoh yang ditampilkan menyebabkan pembaca terpaku. Misalnya untuk menyata-kan orang-orang malas saja berhasil dilukiskan pengerang seperti yang telah dikutip awal tulisan ini. Begitu juga, dengan keyakinan masyara-kat yang masih plin-plan. Suasana saat revolusi dilukiskan sebagai berikut.
Tapi pada suatu hari, ketika serdadu Belanda lagi mencoba kekuatan tenaga revolusi rakyat Indonesia dengan menduduki seluruh kota, banyaklah pimpinan mengungsi ke desa. Tidak pula kurang banyaknya yang mengungsi ke kampung tempat Sutan Duano tinggal (Navis, 192: 4).
Kemudian bagaimana saat revolusi selesai dilukiskan sebagai berikut.
Penduduk kampung itu adalah bangsa yang suka merantau. Tanahnya sempit karena terletak antara bukit dan danau yang vulkanis. Bidang-bidang tanah yang melandai telah dijadikan sawah atau ladang-ladang kelapa atau perumahan ... Maka itu, setelah serdadu Belanda betul-betul sudah angkat kaki dari Indonesia, lebih dari separuh laki-laki di situ kembali ke rantau. Laki-laki yang tinggal hanya orang-orang tua dan anak-anak, dan segelintir orang muda yang tak punya keberanian berjuang di kota. Dan mereka yang tinggal itu dihinggapi semacam mabok. Mabok seperti orang yang telah berpuasa sebulan, lalu mempunyai kebebasan melahapi penganan di hari raya. Ketika isi kemerdekaan itu ditumpahkan ke kampung itu, kehidupan lama telah lalu. Semua anak-anak harus bersekolah tapi guru-guru kurang, lalu didirikan kursus guru. Semua rakyat harus melek huruf, lalu didirikan kursus PBH (Navis, 1992: 4).
Hanya ada seorang tokoh bisa menghadapi suasana waktu karena ia bekerja keras. Tokoh tersebut adalah Sutan Duano.
Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah yang terlantar diminta izin pada yang punya untuk dikerjakannya. Sapi-sapi yang tak tergembalakan lagi, ditampungnya dengan perjanjian seperdua. Seekor beruk dibelinya, dan diambilnya upah menurunkan kelapa sebanyak tiga buah setiap sepuluh yang diturunkan. Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kursus, ia membanamkan dirinya mengikis lumut kulit manis sampai tengah malam. Di samping itu ia telah mulai sembahyang dan mempelajari agama melalui buku-buku. Dan ketika orang-orang sudah bosan pada kursus-kursus, baik karena uraian guru-guru tak menarik hati, harga-harga sudah mulai meningkat, uang pun sudah bertambah sulit memperolehnya. Tapi Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak (Navis, 1992: 5).
Pengarang juga melukiskan, bagaimana ambisinya masyarakat untuk mengadu-nasib di kota, di mana kota dianggap sesuatu yang memberikan harapan hidup besar di banding di desa. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil baik jika ke kota?” Tanyanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa tahu.” “Jangan bermain judi dengan nasib.”
“Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.”
“Di mana Sutan tahu rezeki lebih lapang di kota dari di sini?” Sutan Caniago terdiam dan kepalanya tertekur.
“Kalau Sutan jual padi itu, apa yang dimakan anak bini Sutan kelak?”
“Sebelum turun ke sawah dulu, kami sudah sepakat untuk menjual padi itu setelah disiangi. Hanya itu satu-satunya jalan untuk memperbaiki nasib.”
“Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau giat.” (Navis, 1992: 7)
...
“Apa yang menarik Sutan pergi merantau itu?” tanya Sutan Duano selanjutnya.
“Si Maraiman.”
“Si Maraiman?”
“Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia pergi merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?”
“Aku dengar si Maraiman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.”
Sutan Caniago terdiam.
“Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu meng-hiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Maraiman kepada istrinya.”
...
“Aku lama hidup di kota,” kata Sutan Duano melanjutkan.
“Kota tidak bisa menenteramkan hati. Itulah sebabnya aku ke kampung. Di sini aku tenteram dan bahagia. Mengapa pula Sutan yang sudah tinggal di kampung yang tenteram ini, lalu hendak ke kota yang riuh itu? Kota memang banyak pula kemewahan. Tapi bukan kemewahannya adalah sarang kelaknat-an. Pergi ke kota berarti kita memasukkan diri kita ke kancah yang laknat... (Navis, 1992: 9).
Walau dengan usaha demikian Sutan Duano belum juga berhasil merobah nasib orang-orang kampung tersebut. Malahan dia telah membantu ekonomi masyarakat dengan menghapuskan sistem ijon dan memberikan pinjaman tanpa bunga.
Akhirnya pada suratnya yang keempat, dikatakannya bahwa ia merasa sangat terharu karena Sutan Duano telah mengembalikan hasil padinya yang dijual dengan hanya memotong seharga uang yang diberikan dulu.
...
Berita Sutan Duano yang telah mengembalikan padi pada istri Sutan Caniago itu sangat menggemparkan seluruh isi kampung itu, seperti berita Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dan itulah mulanya Sutan Duano menjadi orang yang berarti di kampung itu (Navis, 1992: 12)
Pada kesempatan lain terjadi pada Haji Syamsiah yang berkekurangan untuk biaya naik hajinya.
Ketika Haji Samsiah mau ke Mekkah, ia kekurangan uang. Digadaikannya pohon kelapanya limabelas batang kepada Sutan Duano. Orang lain hanya mau memagangnya lima rupiah. Tapi Sutan Duano mau saja memagangnya seberapa diminta Haji Syamsiah ketika itu. Setelah setahun, pohon kelapa itu dipulang-kan kembali. Mulanya disangka Haji Syamsiah harus mengembalikan uang Sutan Duano. Maka tak menerimanya. Tapi tidak demikian halnya. Menurut Sutan Duano, selama kepala itu dipagangnya, ia telah memperoleh hasil lebih dari seratus lima puluh rupiah. Karena itu ia telah berlaba. Tapi yang pokok katanya, cara pagang gadai yang diadatkan oleh kampung kita ini, haram hukumnya (Navis, 1992: 28).
Pengarang juga menghilangkan anggapan masyarakat terhadap orang tua yang tidur di surau “adalah untuk menghabiskan sisa umur-nya sambil berbuat ibadah melulu, sembahyang, zikir, dan membaca Quran sampai mata jadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini. “Namun, ternyata pengarang, lewat tokohnya Sutan Duano, berbuat lain. Ia menghabiskan waktunya dengan kerja keras.”
Kehidupan masyarakat terutama perempuan di kampung itu yang suka mengaji bukan lantaran ingin memperdalam pengetahuan agama, tetapi sekedar karena tertarik kepada si Guru. Hal itu jelas menunjuk-kan ketidakmatangan emosi, yang antara lain digambarkannya dalam perkelahian antara Gudam dan Saniah yang ternyata menaruh hati kepada Sutan Duano.
“Mestinya juga kukatakan rupanya pada Guru? Apa Guru kira, aku datang ke surau Guru karena aku ingin mempelajari agama? Guru lira, perempuan lain datang karena pelajaran Guru yang menarik hati? Aku, si Gudam, perempuan janda yang lain, perempuan-perempuan yang tua itu, sama saja. Kami datang hanya untuk memperintang waktu. Guru lihat, mana perempuan yang bersuami yang serajin kami mengikuti pelajaran di surau Guru (Navis, 1992: 89).
Bila pada bagian sebelumnya telah kita lihat bagaimana kritik tentang kemalasan masyarakat, maka dibagian lain sebagai jawaban dari hal tersebut dilukiskan pengarang bagaimana kerja keras itu yang baik lewat tokoh Sutan Duano ketika menghadapi kemarau di kampung itu.
Pada bagian lain pengarang berusaha mengkritik tentang penda-laman ilmu agama masyarakat yang kurang dalam. Sutan Duano berusaha untuk merubah hal-hal yang kurang baik itu terhadap pengalaman agama yang salah dan kebiasaan pria.
“Memang aneh. Pikirannyapun banyak pula yang aneh. Dulu zakat diberikan orang kepada setiap orang yang mau meminta. Tapi sekarang berkat ajarannya, zakat diberikan kepada yang betul-betul tidak mampu. Hingga zakat itu ia dapat memodali hidupnya agar lebih baik.”
“Diantaranya akulah yang telah merasakan nikmatnya,” kata yang berkarib dengan Mangkuto pula (Navis, 1992: 27).
Dan Sutan Duano menghentikan pekerjaannya. Ia berdiri dan menghadap pada perempuan itu.
“Engkau sudah tahu sejak dulu, aku tidak suka pada pesta-pesta yang berketentuan itu.”
“Aku tidak mengadakan pesta, aku membayar nazar karena Acin telah sembuh,” kata Gudam pula.
“Siapa-siapa yang kau undang makan ke rumah? Tentu Wali Negari juga ? Datuk Bebangso juga, bukan?
“Ya.”
“Itulah yang aku tidak setuju. Kau boleh membayar nazar mu mengundang orang makan enak-enak ke rumahmu. Tapi bukan mengundang orang kenyang, bukan mengundang orang-orang yang biasa makan enak. Itu ria namanya. Dilarang oleh agama. Yang dianjurkan hanyalah megundang anak-anak yatim atau orang-orang miskin yang kelaparan (Navis, 1992: 94).
Bagian akhir dari novel ini adalah kritikan terhadap orang-orang suka kawin cerai sehingga tidak tahu lagi bahwa anak sesama anak tidak saling mengenal dan akhirnya kawin.sindiran ini diberikan kepada masyarakat yang pada waktu itu menjadi kebanggaan bila beristri lebih dari satu.
Kau lihat nanti, betapa bahagianya mereka. Mereka sudah punya dua orang anak yang manis-manis.
Malah hampir tiga. Kalau mereka kau beritahukan, bahwa mereka bersaudara kandung, mereka mesti bercerai sebagai suami istri. Kalau mereka mengerti, kalau mereka beriman dan tawakal seperti kau katakan tadi, tidaklah sulit bagi masanya yang akan datang. Tapi kalau tidak, hancurlah hari kemudiannya. Ambruklah kehidupan-nya yang dulu tersebab kau. Kalau mereka bercerai, anak mereka hendak jadi apa? Tiga orang anak yang tak tahu menahu, cobalah kau pikir ... (Navis, 1992: 113).
Bila pengarang pada cerpen Datangnya dan Perginya mengambil keputusan terhadap persoalan ini dengan membiarkan perkawinan anaknya itu demi rasa kemanusiaan, maka pada novel Kemarau persoalan ini diselesaikan dengan berpedoman kepada ajaran Islam. Pekerjaan itu adalah dosa, maka Masri dan Arni bercerai dengan keinsafan dan kesadaran sebagai umat Tuhan yang tawakal dan beriman.
Banyak lagi sindiran-sindiran tentang kehidupan masyarakat yang diungkapkan pengarang, seperti tingkah laku para janda di kampung yang mau berkelahi untuk memperebutkan pria yang diidamkannya. Mempergunakan guna-guna untuk mencelakakan sese-orang seperti yang dilakukan Saniah terhadap Gudam, namun cepat diketahui Sutan Duano. Kebobrokan kehidupan masyarakat inilah yang diungkapkan pengarang melalui novel Kemarau ini. Melalui renungan implied author mau pun narrator-nya dituangkan semua sindiran-sindiran itu. Pengarang mengungkapkan semua kejadian ber-dasarkan situasi saat itu. Kita bisa melihat bagaimana kehidupan munafiknya seorang tokoh pejuang. Ketika mereka diserang, semua lari ke desa dan berdiam untuk sementara. Kemudian manakala keadaan aman mereka keluar dan telah dianggap atau mengaku sebagai pahlawan. Dari hal-hal yang tersebut di atas mugkin dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengarang sebenarnya ingin mengungkapkan tentang keyakinan atas kodrat Tuhan yang menentukan hidup manusia. Meskipun seorang telah tobat, namun Tuhan akan tetap menguji dan menuntut amal-saleh yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga akan sampai pada suatu pilihan antara kemanusiaan dan keyakinan beragama.
Suatu hal lagi yang belum terungkapkan oleh pengarang adalah tentang masa lampau Sutan Duano, meskipun hal itu sebenarnya bisa dikembangkan. Entah berapa kali ia kawin cerai sehingga keluarganya berantakan, hidupnya tidak karuan, dan tentunya kerja kerasnya di kampung itu bisa saja ditafsirkan sebagai usaha untuk melarikan diri dari masa lampau yang kelam itu. Ini bisa merupakan landasan bagi keadaan dan perkembangan kejiwaannya, tetapi karena tidak digarap secara khusus, tokoh-tokoh itu seolah-olah tidak memiliki masa lampau yang jelas. Hanya di akhir novel digambarkan betapa jauh jarak termasuk dari segi martabat antara masa lampau dan kehidupan-nya di kampung itu. Lelaki setengah baya yang di kampungnya mendapat penghargaan dari warga lantaran kerja keras, kekayaan dan sikap tolong-menolong, ternyata sama sekali tidak ada harganya di mata bekas istrinya yang tentunya melambangkan masa lampau. (bagian tulisan sebelumnya klik disini)
Kemarau: Pengarang dan Pembaca Suatu Komunikasi (Bagian Kedua)
Jika Anda merasa bahwa artikel-artikel di blog ini bermanfaat, Anda bisa memberikan donasi melalui Share atau bagikan Dunia Hukum Sebagai cara berbagi ilmu dari blog ini - Terima kasih.
Tambahkan aplikasi Gong Budaya di smartphone tanpa install, buka Gong Budaya dengan browser Chrome di smartphone lalu klik ikon 3 titikdi browser kemudian pilih "Tambahkan ke layar utama". Selanjutnya klik aplikasi Gong Budaya dari layar utama smartphone Anda.
Tambahkan aplikasi Gong Budaya di smartphone tanpa install, buka Gong Budaya dengan browser Chrome di smartphone lalu klik ikon 3 titikdi browser kemudian pilih "Tambahkan ke layar utama". Selanjutnya klik aplikasi Gong Budaya dari layar utama smartphone Anda.