Sejak dulu saya selalu memberi apresiasi kepada karya sastra yang ditulis teman, baik ia penulis yang sudah terkenal maupun yang baru belajar menulis, biarpun karyanya itu dimuat di koran lokal dan/atau telah diterbitkan dalam bentuk buku. Karya-karya teman itu kalau belum sempat saya baca dan bicarakan, akan selalu saya simpan rapi sebagai wujud apresiasi itu. Begitu juga dengan sajak-sajak dari Erison AW ini.
Saya mengenal Son, begitu ia akrab dipanggil, ketika dia kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta, Padang, mulai tahun 1982. Dia adik saya, baik dari segi usia hidup maupun dari usia kreativitas menulis. Di tahun 1980-an itu, Son mulai rajin menulis di koran-koran terbitan Padang dan Jakarta. Setahu saya di samping menulis puisi, cerpen, esei, dan resensi buku, Son juga termasuk penulis “gado-gado’, yakni juga menulis berbagai artikel yang non-sastra, seperti artikel artis dan film, laporan olahraga, dan lain-lain. Erison termasuk penulis yang punya kebiasaan selalu membuat konsep tulisannya terlebih dahulu dengan pulpen di kertas/buku, sebelum mengetiknya pakai mesin ketik. Jarang ia yang langsung menulisnya di mesin ketik, (waktu itu ia belum kenal komputer). Menariknya, ia dulu juga paling rajin menulis resensi/timbangan buku di koran, yang membuatnya banyak memperoleh kiriman buku gratis dari penerbit setelah kliping tulisan resensi itu dikirimkan ke penerbit, di samping ia juga mendapat imbalan honorarium dari koran.
Saya mengenal Son, begitu ia akrab dipanggil, ketika dia kuliah di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta, Padang, mulai tahun 1982. Dia adik saya, baik dari segi usia hidup maupun dari usia kreativitas menulis. Di tahun 1980-an itu, Son mulai rajin menulis di koran-koran terbitan Padang dan Jakarta. Setahu saya di samping menulis puisi, cerpen, esei, dan resensi buku, Son juga termasuk penulis “gado-gado’, yakni juga menulis berbagai artikel yang non-sastra, seperti artikel artis dan film, laporan olahraga, dan lain-lain. Erison termasuk penulis yang punya kebiasaan selalu membuat konsep tulisannya terlebih dahulu dengan pulpen di kertas/buku, sebelum mengetiknya pakai mesin ketik. Jarang ia yang langsung menulisnya di mesin ketik, (waktu itu ia belum kenal komputer). Menariknya, ia dulu juga paling rajin menulis resensi/timbangan buku di koran, yang membuatnya banyak memperoleh kiriman buku gratis dari penerbit setelah kliping tulisan resensi itu dikirimkan ke penerbit, di samping ia juga mendapat imbalan honorarium dari koran.
Ketika kuliah di Fakultas Sastra UBH itu, Erison menerbitkan puisinya dalam buku antologi berjudul “Gaga” (HIMA Sindo UBH, 1986, 70 halaman), bersama 8 penyair lainnya (sesama mahasiswa) yaitu, Free Hearty, Ilhamdi Sulaiman, Ermawati Amir, Endut Ahadiat, M. Zukirallah, Hermawan, Benny Johor, dan Yustinus Mendrofa. Di kampus, Erison termasuk aktivis yang aktif menggerakkan berbagai kegiatan seni dan sastra. Mungkin ini pula sebabnya ia jadi terlambat menyelesaikan studi, yaitu 10 tahun. Penampilan kesehariannya selalu penuh kesederhanaan, yang tak hanya tampak ketika selama kuliah, tapi juga ketika wisuda. Di hari bahagia itu, ia cuma datang sendirian ke tempat wisuda, naik bis kota sambil meneteng toga dengan kantong plastik hitam. “Upacara wisuda sarjana sudah hal yang biasa bagi keluarga ambo,” begitu kira-kira ucapannya waktu itu. Begitu juga kini, sebagai anggota majelis di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Padang, ia selalu tampil sederhana, meskipun ia sering berhasil menang menyelesaikan sengketa konsumen yang bernilai ratusan juta rupiah. Sebagai sarjana sastra, ia sama-sekali tak kalah gesit dengan sarjana hukum dalam menyelesaikan sengketa konsumen di pengadilan. “Malah banyak yang memuji penampilan ambo melebihi sarjana hukum, hapal pasal dan ayat-ayat yang berkaitan dengan sengketa, dan juga bersikap tegas. Barangkali sebagai orang yang berjiwa sastra, ambo bicara pakai hati nurani juga,” ujar Son suatu kali.
Kesederhanaan Erison AW juga tampak dalam sajak-sajak yang ditulisnya. Dalam buku “Gaga” saya temui 4 sajaknya, masing-masingnya berjudul, “Sajak Kaca”. “Duka”, “Resah”, dan “Bunga=Sampah”. Sambil menanti sajak-sajak terbarunya, kini kita nikmati saja dulu 4 sajak sederhana yang bertitimangsa tahun 1985 karya Erison AW ini. *** (catatan Dasril Ahmad)
SAJAK KACA
dalam kegelapan
kau bercermin ditipisnya kaca itu
wajahmu kelihatan
tapi bukan rupamu
kau gusar, menapis bayangan
dalam kehampaan
kau raih beribu angan-angan
yang berdiri di puncak kegagahanmu
dalam kegusaran
kau siarkan pada semua;
akulah kaca tempat mengaca
kaca dari kaca yang bertakhta dijagat raya.
DUKA
Masuklah kemari
Gemuruh hati yang ragu
Meloncat-loncat dalam duka
Ingin aku berlari dengan Du
Ingin aku bernyanyi dengan Ka
Meneguk tawa
Meneguk air mata
Ku lempar Du pada bulan
Ku lempar Ka pada matahari
Sinarnya padam
Mencengkram kelam
Duka yang meraja
Kelam yang merejam
Padang, 11-9-‘85
RESAH
Dalam Kedamaian
tiada keheningan
Hati yang resah
Di balik kabut biru
Ngarai Sianok, Juli ‘85
BUNGA = SAMPAH
Bunga di pinggir jalan
Berhembus ditiup angin jingga
Bertiup kencang
Memutar waktu
Menumpuk sampah
Yang kini diam dalam kebekuan
Memagut Kerinduan.