Tiga buku karya sastra masing-masing berjudul “Ziarah Kemerdekaan”: sejumlah puisi Muhammad Ibrahim Ilyas (ARIFHA, Padang, 2015, 116 halaman), “Dalam Tubuh Waktu” : tiga lakon Muhammad Ibrahim Ilyas (ARIFHA, Padang, 2015, 92 halaman), dan “Enam Kuntum Imaji”: sejumlah cerita pendek (ARIFHA, Padang, 2015, 92 halaman) saya terima dari rekan Endut Ahadiat sebagai bingkisan dari rekan Hermawan, Kamis (19/03/2015) pagi. Kepada rekan Hermawan dan Endut Ahadiat, saya menyampaikan terima kasih atas hadiahnya. Kepada Muhamad Ibrahim Ilyas, saya mohon maaf karena tak bisa datang menyaksikan pertunjukan musikalisasi puisi bertajuk “Lagu Kehilangan” --sekaligus peluncuran ketiga buku ini, di teater utama Taman Budaya Sumbar, Sabtu, 7 Pebruari 2015 lalu.
Saya mengapresiasi terbitnya tiga buku sastra di atas, menandai bahwa minat penulis untuk menerbitkan karyanya dalam bentuk buku di Padang dewasa ini mulai meningkat. Khusus buku puisi “Ziarah Kemerdekaan” berisi 52 puisi karya M. Ibrahim Ilyas dengan titimangsa 1979 sampai 2014. Puisi-puisi dalam buku ini memperlihatkan kematangan puitika dan estetika Bram (panggilan akrab M. Ibrahim Ilyas) sebagai penyair.
Bahasa puisinya meluncur lewat diksi yang kuat dan indah, menandai matangnya kreativitas Bram menguasai estetika bahasa di dalam menulis puisi. Namun, dari 52 puisi dalam buku ini, saya tidak menemukan puisi ”Lagu Kehilangan” (yang dimusikalisasikan pada malam peluncuran itu), dan di daftar isi pun puisi itu tak tercantum. Karena penasaran, saya langsung tilpon penyair Bram, yang ternyata dalam kondisi kurang sehat di mess Taman Budaya Sumbar. “Ya, itulah sebuah ‘kecelakaan’ malam itu, kenapa puisi “Lagu Kehilangan” sampai luput di buku itu, tapi segera akan disusul penerbitannya yang lengkap,” kata Bram sedih, dan berjanji akan mengirimkan puisi itu lewat inbox ke saya. Tapi saya menyarankan untuk diposting saja bersama komentar di status facebook ini, biar semua teman facebook kita bisa membaca –dan tidak berlama-lama kehilangan, puisi “Lagu Kehilangan” itu.
Muhammad Ibrahim Ilyas |
Bahasa puisinya meluncur lewat diksi yang kuat dan indah, menandai matangnya kreativitas Bram menguasai estetika bahasa di dalam menulis puisi. Namun, dari 52 puisi dalam buku ini, saya tidak menemukan puisi ”Lagu Kehilangan” (yang dimusikalisasikan pada malam peluncuran itu), dan di daftar isi pun puisi itu tak tercantum. Karena penasaran, saya langsung tilpon penyair Bram, yang ternyata dalam kondisi kurang sehat di mess Taman Budaya Sumbar. “Ya, itulah sebuah ‘kecelakaan’ malam itu, kenapa puisi “Lagu Kehilangan” sampai luput di buku itu, tapi segera akan disusul penerbitannya yang lengkap,” kata Bram sedih, dan berjanji akan mengirimkan puisi itu lewat inbox ke saya. Tapi saya menyarankan untuk diposting saja bersama komentar di status facebook ini, biar semua teman facebook kita bisa membaca –dan tidak berlama-lama kehilangan, puisi “Lagu Kehilangan” itu.
Begitu juga saya mengapresiasi kata pengantar buku “Ziarah Kemerdekaan” yang ditulis Indra Nara Persada berjudul “Memahami Puisi-Puisi Muhammad Ibrahim Ilyas : Tradisi Tak Dapat Diraih Modernisasi Tak Dapat Ditolak” . Tulisan pengantar dari Indra Nara Persada ini sangat bagus, isinya sudah melampaui perannya sebagai pengantar untuk penerbitan buku, tetapi sekaligus --dengan bahasa sederhana, jernih dan lugas, juga telah berusaha mengantarkan pembaca untuk memahami kandungan makna yang diungkapkan puisi-puisi Bram. Namun, sedikit koreksian, saya jadi heran kok tulisan bertitimangsa (seperti tertulis di akhir tulisan), Kota Depok, 31 Desember 2015, bisa dimuat di buku yang diluncurkan, Sabtu, 7 Pebruari 2015? Apakah ini disengaja sebagai sebuah ‘suprise’ atau juga sebuah ‘kecelakaan’ lagi? Hehehe. (Catatan Dasril Ahmad)