Catatan Pinto Janir
Kepariwisataan bagi Sumatera Barat adalah mata gelas. Ia adalah pokok galeh yang membuat gelas kita penuh dan bila perlu melimpah. Limpahan kesejahteraan untuk semua , tentunya!
Bertahun yang lalu saya sering menulis tentang wisata dan membuat filem dokumenter batapa cantiknya alam Sumatera Barat . Dalam pandangan saya, ada tiga daya tarik wisata. Alam yang cantik, budaya yang memikat, dan berbagai acara atau even wisata.
Tour de Singkarak adalah acara besar yang memaklumatkan keindahan alam Sumatera Barat. Kegiatan Pusat itu adalah berkah bagi kita. Acara wisata sebaiknya tak musiman. Ia harus rutinan. Ia harus teragenda. Agenda wisata yang padat akan mengundang banyak wisatawan.
Perserta Tour De Singkarak di Kelok 44 Maninjau |
Semestinya, kalau kita sepakati bersama, ujung dari pembangunan di Sumatera Barat, muaranya adalah pariwisata. Pembangunan pertanian misalnya; harus berlabuh pada pertanian wisata, atau dalam istilah agrowisata. Harus banyak berdiri kawasan-kawasan agrowisata yang benar-benar “100% agrowisata”.
Jalan yang dibangunpun harus jalan wisata. Tiap objek wisata, prioritaskan membangun jalan rancak. Tata lampu jalan dalam konsep indah, yang tak hanya sekedar terang. Coba bayangkan, sekiranya lampu jalan yang berdiri di sepanjang jalan utama bercorak “keminangan” alangkah luar biasanya. Catnya saja, cat tiga warna. Hitam, merah dan kuning. Jembatannya berhias seperti gonjong.
Bicara tentang jembatan mengingatkan saya pada sebuah dialog dengan Pak hediyanto yang masa itu menjadi kepala Dinas PU Sumbar. Kala itu sedang dirancang pembangunan jembatan layang kelok 9. Ketika Pak Hediyanto memperlihatkan pada saya animasi
jembatan itu; saya spontan langsung bersaran pada beliau.
Saran saya kala itu adalah, bila di tiap sisi jembatan tersebut diberi speaker yang menyuarakan bunyi saluang, rebab, bansi atau talempong. Maka Jembatan Layang kelok 9 akan menjadi jembatan terunik dan jembatan Musik pertama di dunia. Dalam teknologi sekarang, segala sesuatu mudah. Sekedar hanya menciptakan suara musik tradisi itu, bukanlah hal yang sulit. Bisa saja diprogram dengan menggunakan energi matahari, sehingga musik terus menyala selama 24 jam.
Mengapa saya menyarankan itu? Gunanya adalah, begitu orang masuk atau berada di jembatan layang, nuansa keminangan sudah kental adanya. Dan pada dinding-ding beton, diukir nama-nama pahlawan bangsa asala Sumatera Barat. Maka jadilah dinding beton jembatan layang menjadi dinding “sejarah bangsa”.
Sayang, ide itu belum terwujud. Mudah-mudahan nanti; gagasan tersebut didengar oleh Pak Gubernur dan Pak Wakil Gubernur kita. Harapan saya, tak hanya sekedar didengar, tapi dibahas untuk diwujudkan.
Sama halnya ketika dulu pernah saya menuliskan, begitu orang masuk ke Sumbar yang terasa atau kesan pertama adalah masuk ke “alam wisata Minangkabau”. Mendarat di bandara International Minangkabau, sudah tampak gonjong. Perasaan mulai terseret.
Kalau dapat perasaan itu harus terpupuk dan terjaga hingga sampai ke tujuan. Dulu saya tulis, sebaiknya di bandara itu corak keminangan harus kental. Dan instrumen musik di bandara tersebut wajib dalam instrumen lagu bernuansa Minang.
Syukur alhamdulillah, ternyata di BIM sudah ada pertunjukan live music tradisi Minang. Tinggal lagi, bagaimana caranya mewajibkan para “karyawan” di BIM mengenakan pakaian bercorak tradisi?
Sudah lama saya mendesak Pemerintah propinsi dan kota serta kabupaten se Sumatera Barat supaya mewajibkan semua hotel memperdengarkan instrumen lagu-lagu Minang di hotel mereka. Tiap-tiap hotel juga wajib mempertunjukkan seni tradisi, seperti tarian, rebab,saluang, randai dan lain-lain.
Jika itu menjadi kewajiban yang diperdakan, saya yakin; wisata Sumbar akan makin bermagnit kuat bagi wisatawan.
Tak saja, sanggar seni dan budaya akan makin hidup di tengah kehidupan kita yang mengaku sebagai “nagari budaya”.
Tapi, bagaimana pula akan menciptakan “Nagari Wisata dan Berbudaya” bila pelaku budaya itu diabaikan? Para penggiat seni dan penggiat budaya harus mendapat perhatian dan berbagai pembinaan. Penggiat seni banyak. Dari pemusik,penari, peteater, pelukis, dan pembuat seni souvenir. Binalah mereka. Jadikan karya mereka sebagai pendukung wisata.
Jangan sampai pula souvenir yang banyak beredar di pasar wisata kita itu ternyata adalah hasil kerajinan tangan dari luar Sumbar. Rugi awak.
Produk seni dan budaya harus tumbuh dengan semarak. Bila perlu, tiap nagari atau kelurahan yang tentu umumnya memiliki “ Balai Pemuda” diisi dengan kegiatan seni dan budaya. Bila tiap balai pemuda tersulap menjadi “taman budaya nagari” saya yakin nafas wisata kita akan makin wangi.
Tentu saja menciptakan hal demikian tidaklah mudah. Tapi juga tidaklah sulit. Kesungguhan akan melabrak kesulitan. Kalau pemerintah kota/kabupaten benar-benar bersungguh-sungguh mewujudkannya, maka hal demikian akan menjadi sesuatu yang tak sulit.
Siapa pelatihnya?
Tiap tahun ISSI Padangpanjang dan UNP (Sendratasik) melahirkan sarjana-sarjana seni. Para sarjana seni tersebut kita berdayakan, seperti program “sarjana masuk desa”. Tiap balai pemuda, kita tempatkan mereka dua orang. Honornya, dibiayai oleh APBD.
Untuk tahap pertama, dijadikan salah satu kota menjadi pilot proyeknya. Misalnya kota Padang, Kota Bukittinggi dan lain sebagainya. Kita ambil satu kota saja dulu. Bukittinggi misalnya.
Bayangkan pada tiap kelurahan berdiri berbagai sanggar seni. Lalu, sanggar-sanggar seni ini siap untuk tampil di berbagai hotel dan pertunjukan lain. Dan, pentas pertunjukan mereka juga didirikan di kelurahan masing-masing. Alhasil, di berbagai sudut kota Bukittinggi, sekali seminggu dapat disaksikan berbagai acara seni dan budaya. Tersebar!
Jadi, sebelum kita membangun “gedung” lebih bagus kita bangun dulu “manusianya”. Untuk apa membangun gedung taman budaya super canggih, kalau kegiatan seni dan kebudayaan tidak menyebar?
Saya mencintai Minangkabau. Cinta kita mungkin sama besar. Yang saya sedihkan, bila cinta ini hanya ada dalam pikiran dan hayalan. Adalah sangat getir bila rasa cinta ini tak terwujudkan dalam laku dan perbuatan!