Sastrawan dan budayawan Mochtar Lubis (68) menyatakan bahwa sistem birokrasi yang meningkat luas dewasa ini, baik di kalangan pegawai negeri maupun swasta, merupakan salah satu faktor yang membuat orang kehilangan minat terhadap dunia sastra. Ia mencontohkan, lulusan universitas dalam bidang sastra di Indonesia sekarang baru beberapa ribulah, sedikit sekali. Dari jumlah itu, menurutnya, 80 persen telah diserap oleh birokrasi. Nah, inilah sebabnya mereka tak punya minat yang penuh lagi terhadap sastra. Ditegaskanya, kalau sudah jadi birokrat satu kali, maka sudah hilang minatnya kepada dunia sastra, karena macam-macam service yang harus diberikan kepada atasannya, dan kepada tempat bekerjanya.
Muchtar Lubis |
Mochtar Lubis menyatakan hal itu ketika diminta pendapatnya tentang keterpencilan dunia sastra Indonesia dewasa ini, dalam suatu omong-omong waktu dia berkunjung ke Padang awal bulan Pebruari lalu. Menurut sastrawan Pelopor Angkatan ’45 yang mencuat lewat novelnya “Jalan Tak Ada Ujung” ini, terpencilnya sastra Indonesia itu sebetulnya dalam arti bila dibandingkan dengan sastra di negara-negara lain, seperti Belanda, Rusia dan lain-lain, di mana seorang penyair mempunyai syair dibaca oleh berjuta-juta orang. Maka peminat-peminat sastra Indonesia modern itu jumlahnya masih sangat sedikit sekali. Jadi yang membaca sastra Indonesia jumlahnya bisa dihitung dengan jari, kalau dibandingkan dengan pembaca sastra di negara lain itu. Tapi hal ini tidak berarti bahwa kita harus berputus-asa, tandasnya. Malah, ia pun merasa optimistis bahwa dalam masa sepuluh dan duapuluh tahun mendatang, peminat sastra Indonesia akan jauh lebih besar lagi. Ini ditilik dari betapa besarnya laju pertumbuhan penulis, pembaca dan peminat sastra Indonesia dari kalangan generasi muda dewasa ini.
Kritikus
Mengaitkan keterpencilan sastra Indonesia dengan peranan kritikus yang seyogianya dapat berperan mengatasinya, Mochtar Lubis menilai bahwa kritikus belum ada yang baik di Indonesia. “Tapi kritikus-kritikusan ada,” selorohnya yang diiringi senyum renyah. “Dulu memang ada kritikus yang baik, yaitu H.B. Jassin. Tapi sayang, kini Pak Jassin nggak bisa lagi menulis karena terlalu tua, membaca juga nggak kuat lagi dia. Ia berharap agar yang muda-mudalah lagi yang tampil. Tapi jangan pengarang sendiri yang jadi kritikus. Nggak boleh diborong itu kerja, karena bisa mengundang kecurigaan dalam segi keobyektifan karya kritik itu,” katanya.
Muchtar Lubis dalam sebuah perbincangan dengan Dasril Ahmad dan Asril Koto di tahun 80-an (foto.dok.da.) |
Begitu juga, Mochtar Lubis kurang setuju kalau seorang ilmuwan sastra yang selain mengajar di universitas juga sebagai kritikus. Sebab, seorang guru cenderung selalu mau menggurui. Jadi sastrawan dan pembaca kelak akan diguruinya. “Ini tak baik. Ilmuwan sastra sebagusnya lebih baik mengajar sastra saja.” tukasnya. Hal ini pulalah yang membuat Mochtar Lubis belum puas dengan perkembangan kritik sastra Indonesia dewasa ini. Sebab kebanyakan kritikus sastra Indonesia mengambil dan melakukan kritik itu sebagai seorang ilmuwan yang selalu berpegang pada teori-teori. Menurutnya, seorang kritikus yang pandai, mempunyai bakat besar, mempunyai pengertian cukup baik mengenai masyarakat dan manusia. Sering dia bisa melakukan timbangan buku yang jauh lebih menyeluruh, lebih mengena daripada seorang ilmuwan yang selalu berpegang pada dalil-dalil teori. Dalam hubungan ini, ia berpendapat bahwa teori itu cuma sebagai pegangan, tapi tidak menentukan. Apalagi ini ekspresi seni, yang sebetulnya sebahagian terbesar harus diserahkan kepada sang seniman. Tidak kepada teori-teori. “Teori-teori itu semua, ya, menolong saja. Justru itu, seorang kritikus bekerjalah secara profesional. Seperti di Amerika dan Inggris, kritikus telah masuk kerja profesional. Jadi yang menjadi kritikus sastra itu, itulah profesinya, pengeritik sastra. Kalau tidak demikian, maka Indonesia tak akan punya kritikus sastra yang baik, selain cuma kritikus-kritikusan,”tegasnya.
Absurditas
Kemungkinan timbulnya keterpencilan sastra Indonesia sebagai akibat dari kemunculan karya-karya absurd seperti karya Putu Wijaya, Danarto, Budi Darma dan lain-lain, Mochtar Lubis juga tidak menolak. Tetapi menurutnya, aliran absurditas itu bagi sastra Indonesia (yang tengah berkembang) belum pada tempatnya. Alasannya karena manusia Indonesia masih hidup dan menghadapi berbagai tantangan yang ‘realistik’, yang sungguh-sungguh nyata. “Yang absurd itu ‘kan sesudah hidup nggak lagi berarti bagi manusia. Artinya kita sudah terlepas dari ikatan masyarakat, dan kita jadi bingung; apa yang mesti dibuat lagi serta untuk apa kita hidup di dunia ini,” katanya.
Menurut Mochtar, kalau di dalam kehidupan masyarakat industri maju seperti di Eropa Barat, Jerman dan Jepang, timbul bentuk (sastra) absurd itu kita bisa mengerti. Karena orang di sana sudah bisa jadi sekrup dalam mesin-mesin raksasa, ekonomi dan keuangan. Jadi seakan-akan hidup ini bagi mereka sudah penuh absurditas saja. Tapi di Indonesia nggak. Masalah hidup kita lain dengan masalah mereka itu. (Pewawancara Dasril Ahmad) –Padang, April 1990. ***
Catatan :
- Tulisan ini pernah dimuat di Harian Haluan (Padang) dan Tabloid Mingguan MUTIARA (Jakarta) edisi Minggu III, April 1990, Halaman VI
- Mochtar Lubis lahir di Padang, 7 Maret 1922, wafat di Jakarta, 2 Juli 2004. Wawancara ini dilakukan di Padang, awal Pebruari 1990. (D.A)