Skip to main content
Gong Budaya

follow us

Sajak-sajak Dibuang Sayang: Kumpulan Puisi Muhammad Subhan

Oleh Dasril Ahmad

Sesuai janji yang telah disepakati, saya dan penulis Muhammad Subhan (35 tahun) bertemu di sebuah toko buku terkemuka di jantung kota Padang, Sabtu (23/5). Waktu itu, pengarang yang mencuat lewat novelnya “Rinai Kabut Singgalang” (2011) itu, menyerahkan (baca, menghadiahi) saya buku kumpulan puisi tunggal pertamanya berjudul “Sajak-Sajak Dibuang Sayang” (Fam Publishing, Pere, Kediri, cet. I, April 2015, 164 halaman). “Mohon dikritisi, pak Dasril. Sebagai penulis. saya membutuhkan kritik, karena kritik adalah ruang ekspresi yang dibutuhkan untuk mematangkan proses kreatif saya selanjutnya. Saya tak menolak kritikan, sebab tak ada karya yang sempurna, semua memiliki kelebihan dan kekurangan,” tutur Subhan membalas ucapan terima kasih saya di ambang senja berkabut itu.

Buku kumpulan puisi, “Sajak-Sajak Dibuang Sayang” memuat 117 puisi Muhammad Subhan, yaitu puisi yang ditulisnya dari 1998 sampai 2014, dan umumnya (puisi-puisi itu) telah pernah dimuat di berbagai media cetak (koran) terbitan daerah dan Jakarta. “Buku “Sajak-Sajak Dibuang Sayang” adalah kumpulan puisi yang saya tulis ketika awal-awal proses kreatif saya menulis puisi. Puisi-puisi di buku ini sangat sederhana, bahkan beberapa di antaranya bergaya klasik. Tapi semua puisi itu, telah melalui proses kontemplasi yang panjang, sebab ia lahir dari beragam peristiwa bernilai sejarah, yang hadir dan berkelindan dalam hidup saya. Sebagian besar, puisi-puisi di buku ini telah terbit di sejumlah media massa (koran, majalah, portal online), dan sedikit yang belum dipublikasikan. Sebelum menjadi buku, puisi-puisi ini berserakan di sejumlah tempat; disket, flasdisk, kliping koran yang kertasnya telah menguning, dan beberapa puisi saya ketik ulang dengan perbaikan EYD, serta tersimpan di sejumlah folder yang susunannya tak rapi di komputer.”tulis Muhammad Subhan dalam pengantar singkatnya di buku ini.

Muhammad Subhan bukanlah nama yang asing lagi, baik di dunia jurnalistik maupun sastra di Sumatera Barat. Pria yang lahir di Medan, 3 Desember 1980 yang berdarah Aceh- Minang ini,sejak 2000 telah menggeluti dunia jusnalistik sebagai jurnalis di berbagai koran, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004 – 2010), Editor Harian Online Kabar Indonesia yang berpusat di Belanda (2007-2010), Majalah Islam SABILI (2008-1012), dan Redaktur Budaya Harian Rakyat Sumbar (2012-sekarang). Di samping itu, ia juga pernah bekerja dan studi sastra di Rumah Puisi Taufiq Ismail sekaligus menjadi instruktur Sanggar Sastra Siswa di sana (2009-2012), dan sekarang juga memimpin Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, sebuah Komunitas Kepenulisan Nasional yang berpusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Oleh karena itulah, meski dalam struktur yang sederhana, sajak-sajak Muhammad Subhan dalam buku “Sajak-Sajak Dibuang Sayang” ini, dominan mengungkapkan sketsa kehidupan masyarakat kita sehari-hari yang disaksikan dan dihayatinya sepenuh diri, dan setelah melalui kontemplasi mendalam, hal-hal itu kemudian diungkapkannya ke dalam sajak sebagai bentuk ekspresi pengalaman intuitifnya, dengan bahasa ucap yang lugas, namun suasananya cukup menyentuh. Sketsa kehidupan masyarakat di dalam sajak-sajak Subhan tidak hanya dipetiknya di sebuah tempat, tapi di banyak tempat yang dilaluinya, seperti di Pasaman, Aceh, Padang, Melaka, Bukittinggi, dan Padangpanjang tempat dia berdomisili sekarang. Bagi saya, keindahan sebuah sajak tidak hanya terletak pada bahasa ucapnya yang indah, beralun-alun, namun juga pada sentuhan pesan yang dikandungnya. Mengandalkan keindahan bahasa saja untuk menilai sebuah sajak itu bagus adalah sebuah keniscayaan yang artifisial, kalau sajak itu ternyata mengungkapkan hal-hal yang tak menyentuh nurani kita sama-sekali.
Beberapa sajak Muhammad Subhan dalam buku ini, meskipun struktur dan bahasa ucapnya sederhana dalam mengungkapkan sketsa kehidupan masyarakat kita sehari-hari, namun pesan sajak itu cukup menyentuh, karena ia mengandung dan spontan mengundang keharuan kita, di antaranya adalah sajak : “uban” (hal. 22), “Kota di Selembar Kuarto” (hal. 28), “Rakyat Adalah Kita” (hal. 35), “Sepotong Senyum” (hal. 64), “Dan, Kita pun Menuju Tua” (hal. 79), “Gumam Banjir” (hal. 122), dan “Rinai di Kotamu” (hal. 126). Berikut kita nikmati sebuah di antaranya yaitu sajak “Sepotong Senyum” (hal. 64) ini.

SEPOTONG SENYUM
aku menemukan sepotong senyummu di jalan
di antara kaki pejalan kaki dan roda sepeda motor
yang melintasi kota ini siang dan malam
senyum itu bercitarasa tinggi, penuh gairah
dan membuat detak jantungku berdegup kencang
seperti kedua bola matamu yang teduh
menembus masuk ke pori hatiku paling sudut
sepotong senyummu berhias lipstik merah
semerah darah, tetapi bukan darah kita.
(2013)

* Dasril Ahmad, kritikus sastra, tinggal di Padang

You Might Also Like:

Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.
Buka Komentar